Marxisme dalam Wacana Pembangunan: Perspektif untuk Pembangunan Pesisir dan Laut di Indonesia

  • Whatsapp
Nelayan sebagai pekerja di perairan Galesong, Takalar (dok: Pelakita.ID)

Tulisan ini sebagai bagian dari agenda penulis untuk membaca sejumlah paradigma pembangunan dari berbagai sumber dan era pemikiran. 

PELAKITA.ID – Wacana pembangunan sejak lama dipengaruhi oleh berbagai paradigma yang menawarkan interpretasi berbeda tentang makna kemajuan, kekuasaan, dan perubahan sosial.

Salah satu paradigma yang tetap relevan hingga kini adalah paradigma Marxis, yang berangkat dari kritik Karl Marx terhadap kapitalisme sebagai sistem yang mendasarkan diri pada eksploitasi tenaga kerja, akumulasi kapital, dan ketimpangan kelas.

Bagi Marx, pembangunan dalam kerangka kapitalisme bukanlah proses netral, melainkan sarana untuk memperkuat dominasi kelas borjuis atas proletariat melalui mekanisme produksi dan distribusi yang tidak adil.

Pemikiran Marx kemudian dikembangkan oleh para pemikir Neo-Marxis yang menyoroti dinamika kapitalisme dalam skala global. Andre Gunder Frank, melalui dependency theory, menekankan bahwa negara-negara berkembang mengalami development of underdevelopment karena struktur ekonomi mereka diposisikan untuk melayani kebutuhan negara maju.

Immanuel Wallerstein, dengan world-systems theory, memperjelas relasi ketidaksetaraan ini melalui pembagian dunia ke dalam kategori inti (core), semi-periferi, dan periferi.

Samir Amin menambahkan kritik terhadap imperialisme dan logika akumulasi kapital global yang terus meminggirkan negara-negara Selatan.

Antonio Gramsci menawarkan perspektif tentang hegemoni, yakni bagaimana dominasi kapitalisme tidak hanya berlangsung dalam ranah ekonomi, tetapi juga melalui produksi ideologi dan budaya yang membuat ketimpangan tampak wajar.

Lebih kontemporer, David Harvey mengembangkan konsep accumulation by dispossession, yakni praktik kapitalisme yang memperluas akumulasi modal melalui privatisasi ruang publik, perampasan lahan, dan komodifikasi sumber daya alam—sebuah konsep yang relevan untuk menganalisis pembangunan pesisir dan laut.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, paradigma Marxis dan Neo-Marxis memberikan kerangka analisis penting.

Program ekonomi biru, modernisasi perikanan, ekspansi akuakultur, hingga investasi pariwisata bahari sering ditampilkan sebagai jalan menuju pertumbuhan dan kesejahteraan. Namun, pengalaman panjang pembangunan menunjukkan bahwa komunitas pesisir masih menghadapi kerentanan.

Di Sulawesi Selatan, misalnya, program besar seperti Coral Reef Rehabilitation and Management Program yang berlangsung sejak 1998 belum mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan pesisir.

Proyek lain seperti Coastal Community Development Project (CCDP) atau Pandawa 1000 untuk budidaya udang windu skala luas juga memunculkan persoalan baru. Bahkan, konflik antarnelayan sering terjadi, baik dalam skala lokal seperti antara nelayan parere di Bantaeng dan nelayan purse seine di Bulukumba, maupun skala besar seperti konflik antara kapal cantrang dan nelayan pancing di Sumatera Barat.

Dari perspektif Marxis, semua itu menimbulkan pertanyaan kritis: siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Apakah nelayan kecil benar-benar diberdayakan, ataukah semakin terpinggirkan oleh kapital besar dan penetrasi pasar global?

Hasil dan Pembahasan

1. Paradigma Marxis dalam Wacana Pembangunan

Marxisme memandang pembangunan bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, melainkan proses historis yang digerakkan oleh perjuangan kelas.

Kapitalisme ditandai oleh eksploitasi, di mana kaum borjuis mengakumulasi kekayaan melalui kerja surplus proletar. Dalam wacana pembangunan, paradigma ini menyoroti bagaimana modernisasi kapitalis sering mereproduksi ketidaksetaraan alih-alih mengatasinya.

Dalam konteks pesisir Indonesia, kebijakan pembangunan kerap mengutamakan akumulasi modal—melalui perikanan skala besar, industri maritim, dan tambak intensif—dibanding pemenuhan hak hidup nelayan kecil. Akibatnya, pembangunan cenderung menjadi instrumen integrasi sumber daya alam ke pasar global, bukan alat pemberdayaan komunitas lokal.

2. Pemikiran Neo-Marxis dan Teori Ketergantungan

Pemikir Neo-Marxis memperluas analisis Marx dengan menyoroti struktur global kapitalisme. Andre Gunder Frank menyatakan bahwa negara berkembang tetap bergantung karena ekonominya dikonstruksi untuk kepentingan negara maju.

Immanuel Wallerstein menggambarkan sistem ini dalam kategori inti, semi-periferi, dan periferi. Samir Amin menambahkan kritik terhadap imperialisme yang menjerat negara Selatan dalam logika akumulasi kapital.

Diterapkan pada pembangunan kelautan Indonesia, teori ini menjelaskan bagaimana investasi asing di sektor perikanan, pariwisata bahari, atau infrastruktur pesisir sering lebih menguntungkan modal global dan elit domestik dibanding komunitas lokal. Indonesia, sebagai negara periferi, berperan sebagai pemasok sumber daya laut, sementara menghadapi degradasi ekologi dan dislokasi sosial.

3. Penerapan Paradigma Marxis pada Pembangunan Pesisir dan Laut

Visi “ekonomi biru” pemerintah mendorong modernisasi perikanan, ekspansi akuakultur, dan pariwisata bahari. Namun, paradigma Marxis menyoroti beberapa kontradiksi mendasar:

  • Nelayan kecil vs kapital industri. Kapal industri dan perusahaan tambak besar mendominasi sumber daya laut, meminggirkan nelayan tradisional. Contoh nyata adalah konflik nelayan cantrang di Jawa Tengah, atau ekspansi tambak udang vaname di Sulawesi Selatan yang membuat nelayan kecil terjerat utang.

  • Privatisasi dan komodifikasi pesisir. Mangrove, pantai, dan teluk dikomodifikasi untuk pariwisata, pelabuhan, atau reklamasi. Proyek reklamasi Teluk Jakarta dan Teluk Benoa menunjukkan bagaimana ruang hidup masyarakat pesisir berubah menjadi aset privat, mengurangi akses masyarakat lokal terhadap sumber daya.

  • Kontradiksi lingkungan. Kapitalisme pesisir memicu krisis ekologis seperti overfishing, kerusakan terumbu karang, dan pencemaran. Kasus tumpahan minyak Montara (2009) di Laut Timor yang merugikan ribuan nelayan kecil di NTT adalah contoh jelas dampak eksploitatif ini.

  • Integrasi ke pasar global. Ekspor tuna, udang, dan rumput laut ke Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa menunjukkan bagaimana keuntungan lebih banyak dinikmati perusahaan besar. Nelayan kecil hanya menjadi pemasok murah, memperkuat relasi ketergantungan sebagaimana digambarkan Wallerstein.

4. Menuju Paradigma Alternatif

Kritik Marxis dan Neo-Marxis membuka jalan bagi paradigma alternatif pembangunan pesisir. Alih-alih mengejar “pertumbuhan biru” yang berorientasi pasar, pembangunan perlu menekankan keadilan distributif, penguatan komunitas, serta keberlanjutan ekologi. Model pengelolaan berbasis komunitas, koperasi nelayan, dan perlindungan ruang hidup tradisional menjadi kunci. Selain itu, keberlanjutan pembangunan harus mengakui peran perempuan dan pemuda pesisir sebagai aktor penting, bukan sekadar penerima manfaat.

Kesimpulan

Paradigma Marxis dan Neo-Marxis menawarkan lensa tajam untuk memahami kontradiksi pembangunan pesisir di Indonesia.

Analisis ini menunjukkan bahwa pembangunan berbasis kapital sering mereproduksi ketidaksetaraan, meminggirkan nelayan kecil, dan lebih mementingkan integrasi pasar global dibanding kesejahteraan lokal.

Dengan menempatkan isu pesisir dalam kerangka kelas, ketergantungan, dan kapitalisme global, kita dapat melihat pentingnya pendekatan transformatif. Pembangunan pesisir yang berkelanjutan harus berani menantang dominasi kapital, memprioritaskan hak komunitas lokal, dan menjaga keseimbangan ekologi.

Akhirnya, penerapan pemikiran Marxis dan Neo-Marxis pada konteks Indonesia memperlihatkan bahwa kebijakan pembangunan kontemporer sering sarat kontradiksi. Namun, justru di situlah terbuka ruang untuk merancang strategi pembangunan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada komunitas pesisir.