- Nancy Peluso (1992) dalam karyanya yang berpengaruh menunjukkan bagaimana negara kerap menggunakan bahasa “perusakan” untuk mendelegitimasi praktik lokal sekaligus melegitimasi intervensi eksternal.
- Hal serupa berlaku di sektor perikanan: seorang nelayan kecil yang menggunakan dinamit segera dicap merusak, sementara kapal trawl industri yang menggaruk habis dasar laut hanya dianggap perlu diatur, jarang sekali distigma dengan bahasa moral yang sama.
- Dalam tata kelola perikanan, label “merusak” kerap lebih mencerminkan kepentingan aktor kuat yang ingin mengendalikan komunitas lokal, ketimbang tekad menyelesaikan problem sistemik.
PELAKITA.ID – Kerusakan ekosistem pesisir dan laut sejak lama dikaitkan dengan apa yang disebut praktik penangkapan ikan merusak (Destructive Fishing Practices/DFPs)—seperti pengeboman ikan, penggunaan racun sianida, trawl dasar, atau jaring bermata terlalu rapat.
Praktik-praktik ini lazim diceritakan sebagai wujud nyata dari irasionalitas ekologi: nelayan yang didorong oleh keuntungan sesaat dianggap merusak sumber daya yang justru menjadi sandaran hidup mereka sendiri.
Pada dimensi lain, bila dilihat dari lensa ekologi politik, wacana tentang praktik merusak bukan semata hubungan sebab-akibat ekologis. Ia sesungguhnya berakar pada pertanyaan tentang kuasa, pengetahuan, dan representasi.
Apa yang dimaknai sebagai “merusak,” siapa yang berhak mendefinisikannya, serta kepentingan siapa yang dilayani oleh definisi tersebut, adalah persoalan yang sarat muatan politik.
Narasi Arus Utama tentang Penangkapan Ikan Merusak
Pengelolaan lingkungan konvensional kerap mengadopsi bingkai teknis dan moral dalam menilai DFPs. Organisasi internasional, pemerintah, hingga LSM lazim menggambarkan nelayan skala kecil sebagai aktor utama perusakan, baik di Asia Tenggara, Afrika, maupun Amerika Latin.
Dokumen kebijakan secara rutin mengaitkan DFPs dengan kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan keterbelakangan budaya. Solusi yang ditawarkan biasanya berupa regulasi yang lebih ketat, penegakan hukum, dan penyediaan alternatif mata pencaharian.
Kendati tampak masuk akal, pendekatan ini juga mereproduksi narasi menyalahkan yang justru lebih banyak diarahkan kepada komunitas termarjinalkan.
Sebagaimana diingatkan oleh Bryant dan Bailey (1997), kerangka semacam ini berisiko menutupi pendorong struktural kerusakan lingkungan—mulai dari pasar global hasil laut, armada besar yang padat modal, hingga konsesi negara kepada industri ekstraktif berskala raksasa.
Ekologi Politik dan Bias Representasi
Ekologi politik menekankan bahwa problem lingkungan tidak pernah semata ekologis. Ia selalu bersifat politis, melibatkan perebutan akses, hak, dan makna. Dalam kasus penangkapan ikan merusak, bias tampak nyata dalam cara wacana dominan membagi tanggung jawab.
Nancy Peluso (1992) dalam karyanya yang berpengaruh menunjukkan bagaimana negara kerap menggunakan bahasa “perusakan” untuk mendelegitimasi praktik lokal sekaligus melegitimasi intervensi eksternal.
Hal serupa berlaku di sektor perikanan: seorang nelayan kecil yang menggunakan dinamit segera dicap merusak, sementara kapal trawl industri yang menggaruk habis dasar laut hanya dianggap perlu diatur, jarang sekali distigma dengan bahasa moral yang sama.
Ketimpangan ini mencerminkan perbedaan kuasa dan visibilitas. Kaum miskin, yang beroperasi di ruang terbuka di kampung pesisir, menjadi sasaran empuk pengawasan dan kriminalisasi. Sebaliknya, aktor industri beroperasi dengan lisensi negara dan menyumbang devisa ekspor, sehingga dampak ekologis mereka jarang dilabeli sebagai “merusak.”
Rob Neumann (2005) mengingatkan bahwa kategori seperti “merusak” atau “berkelanjutan” bukanlah istilah netral, melainkan konstruksi sosial yang sarat kontestasi politik.
Dalam tata kelola perikanan, label “merusak” kerap lebih mencerminkan kepentingan aktor kuat yang ingin mengendalikan komunitas lokal, ketimbang tekad menyelesaikan problem sistemik.
Kuasa, Pengetahuan, dan Tata Kelola Lingkungan
Wacana penangkapan ikan merusak juga memperlihatkan bagaimana produksi pengetahuan berpadu dengan mekanisme tata kelola. Survei ilmiah, laporan LSM, hingga kampanye media kerap menonjolkan kerusakan terumbu karang yang dibom atau ikan yang diracuni, menciptakan citra krisis ekologi yang kuat.
Gambaran ini memang tidak keliru, tetapi ia bekerja dalam perangkat yang lebih luas—melegitimasi intervensi tertentu seperti patroli laut, pengetatan hukum, atau zonasi konservasi.
Sebagaimana ditunjukkan Fabinyi (2007) melalui etnografi di Filipina, praktik yang disebut merusak perlu dipahami dalam konteks identitas sosial, kerentanan ekonomi, dan makna budaya.
Nelayan tidak serta-merta irasional; keputusan mereka tertanam dalam sejarah lokal dan struktur ketidaksetaraan.
Hal serupa ditegaskan oleh Béné (2003), bahwa kaitan antara kemiskinan dan penangkapan ikan merusak kerap menyesatkan kecuali kita memahami bagaimana kemiskinan itu sendiri lahir dari keterpinggiran, ketidakamanan hak, dan ketergantungan pada pasar yang tak menentu.
Wawasan ini menantang anggapan bahwa penangkapan ikan merusak bisa diselesaikan hanya dengan mengubah perilaku atau memberi alternatif usaha.
Eder (2005) menekankan bahwa kriminalisasi nelayan justru memperlemah posisi mereka, sementara kekuatan struktural yang lebih besar—seperti permintaan pasar global, subsidi negara bagi armada industri, atau korupsi dalam lisensi—tetap tak tersentuh.
Menuju Pemahaman yang Lebih Jernih
Mengakui adanya bias dalam ekologi politik bukan berarti menafikan kerusakan nyata akibat praktik merusak. Pengeboman memang menghancurkan terumbu karang, racun sianida memang membunuh polip, dan trawl memang merusak dasar laut.
Di sisi lain, inti persoalan adalah menempatkan praktik-praktik itu dalam konteks ekonomi politik perikanan yang lebih luas. Siapa yang mendefinisikan “merusak”? Siapa yang diuntungkan oleh definisi itu? Dan siapa pula yang menanggung biaya penegakan hukum?
Perspektif ekologi politik mendorong akademisi dan pembuat kebijakan untuk melampaui dikotomi dangkal antara “rasional/irasional” atau “tradisional/merusak.”
Ia mengajarkan bahwa degradasi lingkungan lebih banyak berakar pada ketidaksetaraan sejarah dalam akses, pasar, dan pengambilan keputusan. Maka, solusi sejati tidak cukup dengan mengawasi nelayan; ia harus menyentuh kegagalan tata kelola, tekanan pasar, dan jalur pembangunan itu sendiri.
Penutup
Wacana tentang penangkapan ikan merusak membuka jendela bagi bias yang coba diungkapkan ekologi politik. Ia memperlihatkan bagaimana nelayan kecil sering kali menjadi kambing hitam kemerosotan ekologi, sementara kekuatan struktural yang lebih besar jarang disorot.
Dengan mengajukan pertanyaan siapa yang mendefinisikan, siapa yang bersuara, dan siapa yang diuntungkan, ekologi politik memberi koreksi penting bagi narasi teknokratis.
Pada akhirnya, tata kelola perikanan yang berkelanjutan menuntut lebih dari sekadar solusi teknis. Ia menuntut kejujuran untuk menghadapi kenyataan kuasa, ketidaksetaraan, dan politik representasi.
Dalam arti ini, praktik merusak bukan hanya kategori ekologi, melainkan juga kategori politik—dibentuk oleh visi yang saling bersaing tentang keadilan, penghidupan, dan lautan.
Referensi
-
Bryant, R. L., & Bailey, S. (1997). Third World Political Ecology. Routledge.
→ A classic introduction to political ecology, emphasizing how environmental narratives often serve political and economic interests. -
Peluso, N. L. (1992). Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. University of California Press.
→ Foundational in showing how discourses of “destruction” are used to delegitimize local practices while legitimizing state or corporate control. -
Neumann, R. P. (2005). Making Political Ecology. Hodder Arnold.
→ Explores how categories like “destructive” or “sustainable” are socially constructed and politically contested. -
Fabinyi, M. (2007). “Illegal fishing and masculinity in the Philippines: a look at the Calamianes Islands in Palawan.” Philippine Studies, 55(4), 509–529.
→ Discusses how destructive fishing is embedded in social, economic, and cultural contexts rather than being mere “irrational” behavior. -
Eder, J. F. (2005). “Coastal resource management and social differences in Philippine fishing communities.” Human Ecology, 33(2), 147–169.
→ Examines how policies targeting “illegal” or “destructive” fishing disproportionately affect marginalized fishers. -
Béné, C. (2003). “When fishery rhymes with poverty: a first step beyond the old paradigm on poverty in small-scale fisheries.” World Development, 31(6), 949–975.
→ Links poverty, vulnerability, and the rationality behind practices often labeled as destructive. -
Pomeroy, R. S., & Andrew, N. (2011). Small-scale fisheries management: frameworks and approaches for the developing world. CABI.
→ Provides a wider fisheries governance context, showing how small fishers are often blamed without addressing structural drivers. -
Spijkers, J., & Boonstra, W. J. (2017). “Environmental change and social conflict: the northeast Atlantic mackerel dispute.” Regional Environmental Change, 17(6), 1835–1851.
→ Illustrates how power and politics shape fisheries conflicts, resonating with political ecology concerns.
