Simulakra: Cermin yang Menggandakan Dunia

  • Whatsapp
Ilustrasi

PELAKITA.ID – Di sebuah taman kota, seorang anak kecil berdiri di depan etalase toko mainan. Di dalamnya terpajang robot-robot berkilau dengan lampu warna-warni.

Ia menatap kagum, lalu berkata kepada ibunya, “Bu, aku ingin jadi seperti robot itu, keren sekali.” Sang ibu tersenyum getir: robot yang dimaksud bukanlah mesin canggih, melainkan hanya mainan plastik—tiruan dari imajinasi film. Namun bagi si anak, tiruan itu sudah cukup nyata untuk membentuk hasrat, mimpi, bahkan identitas.

Kisah sederhana ini membuka jalan untuk memahami simulakra: dunia tiruan yang tidak sekadar mencerminkan realitas, melainkan menciptakan realitasnya sendiri. Jean Baudrillard, filsuf Prancis, menyebut simulakra sebagai “dunia bayangan” di mana tanda dan citra lebih berkuasa daripada kenyataan.

Di era digital, kita hidup dalam lautan simulakra—gambar, iklan, film, media sosial—yang membentuk persepsi kita sebelum kita bersentuhan langsung dengan realitas.

Ambil contoh makanan cepat saji. Burger di iklan selalu tampak tebal, segar, dan menggiurkan, jauh berbeda dari yang tiba di meja. Foto pariwisata di brosur menampilkan laut sebening kaca, padahal saat kita datang, airnya keruh dan penuh sampah. Inilah simulakra: citra yang tidak lagi mewakili kenyataan, melainkan menciptakan dunia tandingan yang sering kali lebih dipercaya.

Baudrillard membagi simulakra ke dalam tiga tahap. Pertama, ketika tanda masih berfungsi sebagai cermin realitas—lukisan wajah yang menggambarkan orang nyata.

Kedua, ketika tanda mendistorsi realitas—misalnya propaganda yang memperindah fakta. Ketiga, tahap hiperrealitas—ketika tanda sepenuhnya berdiri sendiri, tak lagi merujuk pada realitas, tetapi justru menciptakan kenyataan baru. Dunia media sosial kita hari ini nyaris sepenuhnya berada di tahap ketiga.

Mari lihat contoh sehari-hari. Seorang influencer membagikan foto liburan dengan latar laut biru Bali, tersenyum dengan gaun pastel, seolah dunia tanpa beban.

Padahal mungkin ia sedang menghadapi masalah pribadi, atau foto itu penuh filter. Publik percaya, meniru gaya hidup itu, lalu menjadikannya aspirasi. Akhirnya, bukan realitas yang kita kejar, melainkan citra yang diciptakan simulakra.

Fenomena ini mudah ditemukan di Indonesia. Lihat baliho politik menjelang pemilu: wajah para kandidat selalu tampak segar, penuh senyum, dengan slogan sederhana: “Dekat dengan rakyat”, “Kerja nyata”, “Bersih dan peduli.” Pertanyaannya: apakah itu realitas atau sekadar konstruksi citra? Tak jarang, rakyat memilih bukan berdasarkan rekam jejak, melainkan berdasarkan simulakra yang terpampang di pinggir jalan.

Pariwisata pun sama. Kampanye Wonderful Indonesia menampilkan Raja Ampat, Borobudur, atau Ubud dengan citra nyaris sempurna.

Semua itu nyata, tetapi brosur dan iklan sering menutupi sisi lain: kemacetan, sampah, atau harga selangit. Meski demikian, simulakra tetap bekerja: mimpi yang dijual citra jauh lebih kuat daripada kenyataan sehari-hari.

Budaya populer juga sarat simulakra. Sinetron dan konten media sosial menampilkan gaya hidup mewah, pesta, rumah megah, dan kisah cinta dramatis. Banyak penonton lalu menganggap itulah standar kebahagiaan. Padahal semua itu rekayasa, produk kamera. Akibatnya, muncul rasa minder, kecemasan, bahkan krisis identitas di kalangan mereka yang merasa hidupnya tak seindah layar kaca.

Namun, simulakra tidak selalu buruk. Ia bisa menjadi ruang kreativitas, tempat manusia menciptakan makna baru. Film, seni digital, atau dunia virtual memberi ruang imajinasi.

Kita tahu film fiksi bukan kenyataan, tetapi melalui simulakra itu kita bisa merenungkan nilai, merasakan empati, bahkan menyampaikan kritik sosial. Dalam hal ini, simulakra justru menjadi cermin alternatif untuk memahami kehidupan.

Masalah muncul ketika kita lupa membedakan simulakra dengan realitas. Ketika iklan kecantikan meyakinkan banyak orang bahwa kulit harus seputih porselen, atau ketika unggahan Instagram menggiring orang untuk percaya bahwa hidup bahagia harus selalu tampak glamor. Inilah jebakan simulakra: manusia menjadi tawanan citra dan kehilangan otentisitas dirinya.

Di sinilah pelajaran pentingnya: hidup di era simulakra menuntut kesadaran kritis. Kita boleh menikmati tayangan, iklan, atau citra indah, tetapi kita harus sadar bahwa di balik itu ada konstruksi. Kita perlu berani kembali ke realitas—merayakan kehidupan apa adanya, yang mungkin tidak sempurna, tetapi nyata.

Kembali ke anak kecil di depan etalase tadi. Ia bermimpi jadi robot mainan yang dilihatnya. Sang ibu bisa saja tertawa atau khawatir. Namun yang terpenting adalah mendidiknya untuk membedakan: bahwa robot itu hanyalah plastik, bukan mesin hidup.

Meski demikian, mimpi yang lahir darinya tetap bisa menjadi bahan bakar untuk belajar sains, teknologi, dan kreativitas. Simulakra, pada akhirnya, bisa menjadi pintu menuju realitas—asal kita tak terjebak tinggal di balik etalase.

Maka, marilah kita belajar menari di antara realitas dan simulakra. Menikmati citra, tetapi tidak menuhankannya. Mengagumi pantai di brosur, tetapi siap menerima ombak, pasir, dan sampahnya. Karena sejatinya, simulakra hanyalah cermin: ia bisa menipu, tapi juga bisa mengingatkan bahwa dunia selalu lebih luas daripada sekadar pantulan.