Elaborasi Yuval Noah Hahari, Manusia Bikin Dewa, Lalu Jadi Dewa

  • Whatsapp
Yuval Noah Harari (source:fity.club)

Sejarah bermula ketika manusia menciptakan para dewa—dan akan berakhir ketika manusia sendiri menjadi dewa.

PELAKITA.ID – Yuval Noah Harari – seorang sejarawan, filsuf, sekaligus penulis asal Israel yang dalam beberapa dekade terakhir telah memberi jejak mendalam pada percakapan global tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan umat manusia.

Harari lahir pada 24 Februari 1976 di Kiryat Ata, Israel, dan kini menjabat sebagai profesor sejarah di Universitas Ibrani, Yerusalem.

Namanya mendunia lewat tiga karya besar yang meraih jutaan pembaca lintas benua: Sapiens: A Brief History of Humankind (2011), sebuah perjalanan panjang menelusuri jejak Homo sapiens sejak awal kemunculannya hingga dunia modern; Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2015), sebuah refleksi futuristik tentang kemungkinan arah peradaban yang dibentuk teknologi, kecerdasan buatan, dan bioteknologi.

Lalu ada buku 21 Lessons for the 21st Century (2018), yang menyigi berbagai tantangan besar abad ini seperti perubahan iklim, berita palsu, terorisme, hingga bangkitnya kembali nasionalisme.

Keistimewaan Harari terletak pada kemampuannya merajut sejarah, ilmu pengetahuan, filsafat, dan visi masa depan menjadi narasi yang hidup, mudah dicerna, sekaligus menggugah.

Tak heran, karyanya telah diterjemahkan ke lebih dari 60 bahasa dan terjual jutaan eksemplar, sebuah tanda betapa luas gaung pemikirannya di seluruh dunia.

Namun, apa sesungguhnya warisan gagasan yang ditinggalkan Harari—dan mungkin akan membentuk jejak intelektualnya di masa depan?

Bagi Harari, manusia pada hakikatnya adalah makhluk pencerita. Bukan kekuatan fisik atau kecerdasan otak semata yang menjadikan Homo sapiens unggul, melainkan kemampuannya menciptakan dan mempercayai kisah-kisah bersama—tentang agama, bangsa, uang, hingga perusahaan.

Kisah-kisah inilah yang memungkinkan jutaan orang asing saling percaya, bekerja sama, dan mendirikan peradaban. “Kita menguasai dunia karena kita satu-satunya spesies yang mampu bekerja sama secara fleksibel dalam jumlah besar,” tulisnya.

Di sisi lain, Harari mengingatkan rapuhnya masa depan manusia.

Dalam Homo Deus, ia menyoroti bagaimana teknologi, kecerdasan buatan, dan bioteknologi perlahan mengubah makna dasar tentang apa itu manusia.

Ia menulis: “Sejarah bermula ketika manusia menciptakan para dewa—dan akan berakhir ketika manusia sendiri menjadi dewa.”

Ia juga memperkenalkan gagasan tentang Dataisme—sebuah kemungkinan cara pandang baru di abad ke-21. Dalam kerangka ini, aliran data dianggap sebagai nilai tertinggi, sementara manusia dipandang bukan lagi sebagai individu dengan kehendak bebas, melainkan sebagai sistem yang memproses informasi.

Lebih jauh, Harari menekankan bahwa tantangan terbesar umat manusia—perubahan iklim, senjata nuklir, hingga revolusi teknologi—hanya bisa dijawab lewat kerja sama global.

Tak satu negara pun mampu memikul beban itu sendirian; manusia harus belajar berpikir lintas batas, sebagai satu spesies yang berbagi nasib di bumi yang sama.

Dan yang tak kalah penting, Harari mengingatkan tentang kerendahan hati. Banyak hal yang kita anggap sebagai kebebasan, makna, atau identitas, sejatinya hanyalah cerita-cerita yang kita karang sendiri. Kesadaran akan hal ini membuat kita lebih lentur, lebih siap menghadapi perubahan.

Seperti kata Harari: “Manusia percaya bahwa merekalah pencipta sejarah, padahal sering kali sejarahlah yang menciptakan manusia.”

Warisan Harari tentu belum selesai—ia masih aktif menulis dan berbicara, terus menggugah wacana publik. Namun, bahkan hari ini, ia telah mengajarkan kita untuk melihat dunia melalui lensa yang berbeda: bahwa kita adalah makhluk yang hidup dari cerita, bahwa masa depan kita sarat janji sekaligus bahaya, dan bahwa kemampuan kita untuk bekerja sama melampaui batas-batas sempit akan menjadi kunci bagi kelangsungan hidup umat manusia.

Redaksi