PELAKITA.ID – Pengalaman adalah guru paling berharga. Lantaran itu pula IKA Unhas Makassar yang saat ini dipimpin legislator Senayar Rudianto Lallo menggelar Diskusi Quo Vadis BEM Unhas, dengan mengundang tokoh aktivis Unhas pada masanya seperti Prof Andi Arsunan Arsin, Ni’matullah Rahim Bone, wakil ketua Senat Mahasiswa Universitas Hasanuddin tahun 90-aN.
Kegiatan digelar di Warkop Aspirasi Makassar, di Jalan Andi Pangerang Pettarani, Sabtu, 23 Agustus 2025
Refleksi Prof Arsunan
“Bagi saya, prinsip sederhana tapi penting ketika menjadi pejabat kampus adalah: kalau berhadapan dengan rektor, saya pembantunya mahasiswa; kalau berhadapan dengan mahasiswa, saya pembantunya rektor,” ucap pria yang akrab disapa Kak Chunank yang dilantik jadi Wakil Rektor 3 Unhas pada 2018 ini.
Baginya, posisi ini memang tidak selalu membuat saya populer di mata rektor, tapi justru membuat saya dekat dengan mahasiswa.
“Inilah fungsi sejati seorang penjembatan: bukan sekadar mengikuti arus, tetapi menghadirkan komunikasi dua arah di tengah potensi konflik. Tugas itu tidak mudah. Mahasiswa punya karakter yang sangat beragam—ada yang idealis, pragmatis, organisatoris, kutu buku, hingga sekadar kuliah-pulang (kupu-kupu),” kata pria bernama lengkap Prof. Dr. drg. A. Arsunan Arsin, M.Kes., CWM ini.
Menurut Chunank, ada pula yang cenderung mengambil posisi kiri, pemain tengah, sayap, penyerang layaknya permainan sepakbola, ada yang netral, ada yang konservatif.
“Semua harus dipetakan dengan cermat, bukan diintervensi,” kata dia.
“Saya sering mengalami sendiri bagaimana seorang mahasiswa mengkritik keras kebijakan kampus, bahkan mencaci saya di forum, tetapi keesokan harinya datang membawa proposal pengabdian masyarakat. Apakah saya menolak? Tidak. Karena kritik itu untuk kebijakan, bukan untuk pribadi. Dan di situ, kita belajar menahan diri,” ucapnya tegas.
Selama menjabat, Prif Arsunan bersama rekan-rekan merumuskan tiga pilar penting pembinaan mahasiswa di Unhas.
“Pertama, peningkatan prestasi. Alhamdulillah, capaian mahasiswa Unhas meningkat, bahkan bisa menembus level nasional—sesuatu yang sebelumnya jarang terjadi. Kedua, pembinaan leadership. BEM dan organisasi mahasiswa harus menjadi wahana melahirkan pemimpin, bukan sekadar pengelola acara,” paparnya.
Sayangnya, kata Chunank, kecenderungan mahasiswa hari ini sering cepat berdebat tanpa bekal literasi yang memadai.
“Karena itu, saya selalu mengingatkan: kembali ke buku. Jangan biarkan waktu habis hanya di layar HP,” tambahnya.
Ketiga, ungkapnya, pembinaan spiritual. Saat itu, Unhas mulai membuka diri menerima mahasiswa dengan basis prestasi non-akademik, seperti penghafal Al-Qur’an maupun mantan ketua OSIS.
Hal ini memberi warna baru dalam keberagaman mahasiswa dan penguatan karakter.
“Namun, tantangan selalu ada. Masih ada segelintir mahasiswa dengan paham tertentu yang cenderung menolak dialog. Bagi saya, kelompok ini tidak bisa dihadapi dengan konfrontasi, melainkan harus diajak berdiskusi,” sebutnya.
“Justru kelemahan literasi sering membuat mereka enggan berdialog terbuka. Karena itu, saya menitipkan pesan: mari mencari format terbaik agar lembaga mahasiswa tingkat universitas benar-benar mampu merangkul semua, bukan justru memecah,” tutupnya.
Penulis Denun