Teruslah Menulis, Kawan!

  • Whatsapp
Buku-buku di ruang perpustakaan dan penulisan Bung Hatta di Banda Neira (dok: Kamaruddin Azis)

Menulis bukan sekadar ekspresi, melainkan sebuah tindakan moral untuk tidak diam.

Oleh: Muliadi Saleh
Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi & Kebudayaan

PELAKITA.ID – Ada sebuah pesan yang sampai kepada saya melalui ruang sederhana WhatsApp, dari seorang sahabat penulis, Yacobus K. Mayong Padang.

Pesan itu singkat, namun bergetar dalam hati: ajakan untuk tidak berhenti menulis, tidak berhenti bersuara, dan tidak berhenti melangkah—meski mungkin kata-kata ini jatuh di tanah yang tandus.

Pesan itu berbunyi:

“Teruslah menulis kawan, teruslah berucap, teruslah melangkah menyehatkan bangsa ini yang sedang sakit, menyadarkan bangsa ini yang sedang dibodohi, mengingatkan bangsa ini yang amnesia tentang cita-cita indah para pendiri bangsa.”

Sekilas, kalimat tersebut terdengar seperti nasihat pribadi. Namun sejatinya, ia adalah seruan kebangsaan. Di tengah derasnya arus media sosial yang sering dipenuhi ujaran kebencian, kabar palsu, dan retorika kosong, tulisan yang jernih menjadi oase.

Menulis bukan sekadar melahirkan kata, tetapi juga menghadirkan kesadaran, merawat ingatan, bahkan menyulam harapan bagi mereka yang hampir kehilangan arah.

Ilustrasi Pelakita.ID

Menulis sebagai Tindakan Moral

Dalam sejarah bangsa, tulisan selalu hadir sebagai saksi sekaligus penggerak. Kita masih mengingat bagaimana Soekarno merumuskan gagasan kemerdekaan dalam teks pidatonya; bagaimana Mohammad Hatta menuliskan arah ekonomi kerakyatan; atau bagaimana sastrawan angkatan Balai Pustaka hingga Pujangga Baru menjadikan sastra sebagai ruang kritik sosial.

Menulis bukan sekadar ekspresi, melainkan sebuah tindakan moral untuk tidak diam.

Bangsa yang sedang sakit memang membutuhkan penyembuh. Namun penyembuh itu tidak selalu hadir dengan obat fisik; kadang ia datang melalui kata-kata yang menggugah nurani. Tulisan yang jujur bisa menjadi cermin, menampakkan wajah bangsa apa adanya: luka, duka, sekaligus asa.

Pramoedya Ananta Toer pernah mengingatkan: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Dengan demikian, menulis adalah jejak. Sebuah penegasan bahwa kita pernah hadir dan berbuat sesuatu bagi zaman kita.

Menulis di Tengah Sunyi

Sahabat saya menulis:

“Teruslah menulis walaupun mungkin tak ada lagi yang membaca, tak ada lagi yang mendengar, tak ada lagi yang melihat…”

Inilah realitas yang kerap kita hadapi: tulisan sering kali terasa tak bergema. Pejabat sibuk dengan kekuasaan, rakyat larut dalam kemiskinan, sementara suara penulis seolah hilang ditelan riuh.

Namun justru di situlah letak keikhlasan menulis: ketika kata-kata lahir bukan demi tepuk tangan, bukan demi sorak sorai, melainkan demi panggilan nurani. Menulis menjadi semacam doa yang dititipkan ke langit, keyakinan bahwa suatu hari nanti akan ada jawaban pada saat yang tepat.

Paulo Freire, pendidik besar asal Brasil, pernah berkata: “Membaca dunia selalu mendahului membaca kata.” Dengan menulis, kita bukan sekadar merangkai huruf, tetapi juga menafsir realitas, mengubah luka sosial menjadi bahasa yang bisa dipahami bersama.

Fungsi Sosial Tulisan

Dalam kajian komunikasi dan sosiologi pengetahuan, tulisan adalah media transformasi sosial. Ia mampu menggerakkan pikiran, membangun opini publik, bahkan menggiring arah kebijakan.

Satu tulisan memang tak serta-merta mengubah bangsa. Namun tulisan adalah benih. Ia jatuh ke tanah—ada yang tandus, ada yang subur. Di tanah subur, benih itu akan tumbuh, menjelma pohon yang memberi teduh. Setiap kata yang kita tulis adalah investasi peradaban.

Albert Camus, filsuf Prancis, menyebut menulis sebagai bentuk perlawanan halus terhadap absurditas hidup. Tulisan mampu mengubah keputusasaan menjadi harapan, sekaligus mengabadikan perjuangan manusia melawan kelupaan.

Kalah, tapi Tidak Menyerah

Di akhir pesannya, sahabat saya menulis:

“Itu saja harapan kita, kita yang sedang kalah. Kalah tapi tidak menyerah.”

Kalah bukanlah tanda akhir. Kalah hanyalah posisi sementara, bagian dari dinamika perjuangan. Yang berbahaya adalah menyerah, sebab menyerah berarti memutus harapan, menutup jalan perubahan.

Di tengah zaman penuh paradoks—kemajuan teknologi yang luar biasa di satu sisi, krisis moral di sisi lain—menulis menjadi bentuk perlawanan kecil yang tenang namun abadi. Kata-kata yang lahir dari hati akan tetap menemukan jalannya, meski harus menembus kabut tebal ketidakpedulian.

Dari pesan itu saya belajar kembali: menulis bukan sekadar kegiatan intelektual, melainkan ziarah batin. Menulis adalah cara menjaga kewarasan di tengah bangsa yang letih. Menulis adalah napas panjang untuk generasi mendatang—agar mereka tahu, pernah ada orang-orang yang mencoba melawan lupa.

Maka, seperti seruan sahabat saya Yacobus K. Mayong Padang: biarlah kita terus menulis, terus berucap, terus melangkah—meski sunyi, meski sepi. Karena tulisan sejati bukan ditujukan untuk kemeriahan sesaat, melainkan untuk kesetiaan pada nurani, dan pada akhirnya, untuk menjawab panggilan sejarah.

Motto:

“Menulis untuk menginspirasi, mencerahkan, dan menggerakkan.”