PELAKITA.ID – Kasus penyegelan pabrik pengolahan timbal di Kabupaten Serang yang berujung pengeroyokan wartawan dan staf Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bukan sekadar insiden kriminal biasa.
Ia adalah gambar telanjang paras penegakan hukum lingkungan di Indonesia: rapuh, penuh celah, dan rawan dilawan oleh kepentingan ekonomi yang jauh lebih beringas daripada hukum itu sendiri.
Sebuah pabrik yang sudah disegel, seharusnya berhenti beroperasi. Namun fakta menunjukkan sebaliknya: segel dirusak, aktivitas berjalan, dan negara seolah kehilangan wibawa di hadapan perusahaan.
Penyegelan dilakukan karena pabrik dinilai melanggar aturan lingkungan dan tetap beroperasi meski sudah disegel sebelumnya.
Dikuitp dari DetikNews, Deputi Penindakan Hukum Lingkungan Hidup, Irjen Rizal Irawan, menjelaskan bahwa pabrik PT Genesis hanya memiliki SPPL—izin untuk usaha kecil—namun beroperasi layaknya industri besar. Bahkan, impor bahan baku yang diklaim konsentrat timbal ternyata hanya mengandung 6%, jauh di bawah batas minimal 56%, sehingga diduga merupakan limbah B3.
Insiden berujung kekerasan ketika wartawan meliput dan staf KLH menjalankan tugas. Dua sekuriti pabrik ditangkap polisi, sementara pelaku lain masih diburu.
Ironi hukum lingkungan
Peristiwa ini mempertegas bahwa hukum lingkungan seringkali berhenti di atas kertas, sementara di lapangan, perusahaan dengan modal besar bisa menertawakan aturan yang ada.
Lebih ironis lagi, pabrik sebesar itu hanya berbekal SPPL—dokumen yang sebenarnya ditujukan untuk usaha kecil-menengah. Tidak ada persetujuan teknis, tidak ada persetujuan lingkungan, tidak ada kepatuhan terhadap prosedur dasar.
Celah birokrasi ini dimanfaatkan secara serampangan dan brutal. Apa artinya jika industri besar bisa beroperasi seolah-olah warung kecil di pinggir jalan? Inilah bukti betapa urgennya reformasi perizinan yang lebih transparan, akuntabel, dan kebal dari manipulasi.
Namun, tragedi terbesar dari kasus ini bukan hanya pencemaran atau manipulasi izin, melainkan kekerasan terhadap mereka yang mencoba menegakkan hukum dan melaporkannya. Wartawan dan staf KLH dikeroyok oleh sekuriti dan diduga didukung ormas.
Artinya, penegakan hukum tidak hanya menghadapi korporasi, tetapi juga “premanisasi” kepentingan. Negara didefinisikan ulang oleh siapa yang paling berani menggunakan otot, bukan oleh siapa yang paling taat hukum.
Lebih jauh, dugaan impor limbah B3 berkedok bahan baku timbal menyingkap dimensi transnasional dari kasus ini. Indonesia kerap menjadi “tong sampah global” bagi limbah berbahaya.
Ketika hasil uji laboratorium menemukan kandungan timbal hanya 6%—jauh di bawah standar 56%—yang sesungguhnya masuk ke negeri ini bukanlah bahan baku, melainkan sampah beracun. Apakah ini hanya kelengahan, atau ada jaringan sistemik yang dengan sengaja membiarkan negara kita menjadi halaman belakang bagi limbah dunia?
Di tengah semua kegelapan itu, kita masih melihat secercah terang. KLH tidak gentar. Meski diintimidasi, meski dipukul, mereka tetap menjalankan tugas. Ini adalah pesan moral penting: keberanian dan integritas aparat lingkungan hidup harus menjadi benteng terakhir di tengah serbuan kepentingan ekonomi yang kerap mengabaikan kelestarian bumi dan keselamatan manusia.
Kasus Serang adalah peringatan keras: tanpa keberanian politik yang tegas, tanpa perlindungan hukum bagi jurnalis dan aparat, dan tanpa dukungan publik yang kuat, hukum lingkungan akan terus menjadi bahan tertawaan.
Kita tidak hanya sedang membicarakan pencemaran atau limbah berbahaya, tetapi juga soal masa depan generasi yang bisa dirampas oleh kerakusan hari ini.
Di balik segel yang dirusak itu, kita sesungguhnya melihat segel yang lebih besar ikut terkoyak: segel kewibawaan negara, segel perlindungan terhadap rakyat, segel komitmen kita terhadap keberlanjutan. Dan jika segel itu dibiarkan hancur, maka yang sedang disegel bukan lagi pabrik, melainkan masa depan kita sendiri.
Gowa, 22 Agustus 2025