Momen-Momen Tak Terlupakan Bersama Aswar Hasan

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Oleh: Rusdin Tompo (Komisioner KPID Sulawesi Selatan, periode 2007-2010 & 2011-2014)

PELAKITA.ID – “Selamat milad Pak Aswar Hasan.” Ucapan selamat ulang tahun selalu saya kirimkan buat Pak Aswar Hasan, setiap tanggal 17 Agustus.

Saya ingat angka keramat ini, bukan cuma karena diperingati sebagai HUT Proklamasi Kemerdekaan RI, tetapi juga karena persis dengan tanggal kelahiran istri saya, Gita Nurul Ramadhani.

Dr. H. Aswar Hasan, M.Si. lahir di Palopo, 17 Agustus 1963. Beliau merupakan dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Hasanuddin (Unhas).

Aswar Hasan merupakan seorang perintis. Kepeloporannya bisa dilihat pada dua lembaga quasi-negara yang pernah dinakhodai, masing-masing Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan dan Komisi Informasi Publik (KIP) Sulawesi Selatan.

Aswar Hasan merupakan Ketua KPID Sulawesi Selatan, pertama dan kedua (2004-2007 dan 2007-2010). Beliau pernah pula memangku jabatan sebagai Ketua KIP Sulawesi Selatan, pertama dan kedua (2011-2015 dan 2015-2019).

Bersama Pak Aswar Hasan dan Gubernur Sulsel di masanya, Suyahrul Yasin Limpo Daeng Kawang (dok: Istimewa)

Selanjutnya, lelaki berkacamata yang jika bertutur sangat runtut itu berkiprah di ranah nasional sebagai Komisioner KPI Pusat periode 2019-2022.

Interaksi saya dengan Aswar Hasan sudah terbangun jauh sebelum saya menjadi Komisioner KPID Sulawesi Selatan periode 2007-2010. Kami punya pertalian minat yang sama: media. Saya kemudian menggantikan beliau sebagai Ketua KPID Sulawesi Selatan periode 2011-2014.

Aswar Hasan merupakan seorang akademisi, orang kampus, yang ketika melontarkan pernyataannya tidak dengan suara lantang, tetapi kritis dan reflektif. Tulisan dan pandangan-pandangan beliau di media massa kerap menjadi sumber rujukan kami.

Saya, pada awal tahun 2000-an, mengembangkan sebuah Non-Governmental Organization (NGO) yang fokus pada isu hak dan perlindungan anak.

Salah satu program kami di Lembaga Studi Advokasi Media dan Anak (LISAN), yakni media watch.

Dengan keterbatasan ilmu yang kami peroleh lewat buku-buku dan bacaan artikel di media cetak, kami melakukan analisis wacana kritis atas pemberitaan koran.

4 Kriteria

Ada empat koran yang kami jadikan sampel, yakni harian Fajar, Pedoman Rakyat, Berita Kota Makassar (BKM), dan Kompas.

Pilihan atas surat kabar yang berbeda untuk program media watch itu punya pertimbangan tersendiri. Intinya, ada koran yang sebarannya luas ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan, ada koran yang banyak meliput persoalan urban, dan ada koran yang kuat secara nasional.

Dengan begitu, kami berharap bisa mendapat berita yang beragam seputar isu hak dan perlindungan anak di Tanah Air, khususnya Sulawesi Selatan.

Berinteraksi dan berlatih bersama anak-anak. salah satu kenangan bersama Pak Aswar Hasan

Kami berlangganan keempat koran itu. Ada staf yang kerjanya setiap hari membuat kliping dan melakukan tabulasi kasus-kasus anak yang diberitakan pada hari itu.

Misalnya, kalau beritanya terkait Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH), ada kolom untuk waktu dan tempat kejadian, kolom untuk gambaran ringkas apa yang terjadi, dan kolom untuk siapa saja yang dikutip sebagai narasumber.

Bagian siapa yang dominan dikutip ini penting. Bukan saja soal keberimbangan berita (cover both sides), tetapi juga mencermati siapa yang akan memengaruhi wacana publik. Kalau polisi yang dominan dikutip oleh media, maka sudut pandang polisi yang bakal dominan.

Lembaga kami, LISAN, rutin mempublikasikan temuan-temuan data ini. Kami setiap tiga bulan merilis beritanya. Data hasil tabulasi dari program yang dikembangkan atas dukungan PLAN Indonesia ini banyak digunakan orang dan lembaga untuk kepentingan penelitian.

LISAN yang saat itu beralamat di Jalan Monumen Emmy Saelan Lorong 2 bahkan dikunjungi staf dari Kementerian Hukum dan HAM untuk keperluan data, termasuk dari kalangan mahasiswa untuk kebutuhan skripsi hingga disertasi.

Pada pengujung 2005, kami melakukan ekspose akhir tahun yang diadakan di Restoran Pualam, Pantai Losari. Tiga narasumber kami undang untuk membahas hasil monitoring yang dilakukan LISAN.

Ketiga pembicara itu punya latar belakang berbeda. Tenri A. Palallo, kala itu Humas Pemkot Makassar, Magbul Halim dari eLSIM (Lembaga Studi Informasi dan Media Massa), dan Aswar Hasan, pengamat media dan akademisi Unhas.

Sayangnya, saya tidak bisa membersamai narasumber pada hari itu dan mendengarkan penjelasan mereka. Saya hanya datang memberikan sambutan selaku ketua lembaga, lalu pamit pulang. Pasalnya, kakak saya, Rustam Tompo, wafat.

Jadi, saat memberikan sambutan pun air mata saya tak henti menetes. Saya meminta maaf dan izin mesti pulang untuk mengurus jenazah kakak saya itu, yang rumahnya hanya beberapa meter dari rumah saya dan kantor LISAN.

Makassar hari itu diguyur hujan lebat. Air menggenangi kota di banyak tempat. Ini momen yang saya tidak bisa lupakan. Karena pada saat bersamaan, kami tidak bisa mengambil rapor anak yang bersekolah di SD Negeri Sudirman III. Banjir dan kedukaan menjadi alasannya.

Bersama anak-anak

Kisah lain dengan Pak Aswar Hasan terjadi pada tahun 2006. Kala itu, kami mengadakan Pelatihan Peliputan Isu-Isu Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (Children in Need of Special Protection/CNSP), atas kerja sama dengan PLAN Indonesia.

Pelatihan ini menghadirkan Aswar Hasan sebagai Ketua KPID Sulawesi Selatan, Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), dan Ibrahim Saleh sebagai Kepala Dinas Sosial Kota Makassar.

Untuk pertama kalinya, anak-anak dampingan kami yang tinggal di sekitar Pasar Pannampu diajak ke hotel untuk berkegiatan. Mereka rata-rata merupakan pekerja anak. Bahkan aktivitas mereka ada yang masuk kategori bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Anak-anak yang biasanya jadi kuli angkut di Pasar Pannampu dan di TPI Paotere, pada hari itu tampil bernyanyi dan bermain musik atas bimbingan Romo dan Muhlis.

Saat itu, kami punya Rumah Belajar LISAN, tempat anak-anak mendapatkan pendampingan berbagai kegiatan dari staf kami: Rokiah, Ani, Dewi Sartika, dan Abd Hakim. Di sini ada kegiatan literasi dan pengembangan seni.

Kenangan bersama Pak Aswar Hasan

Kami juga membentuk Kelompok Keluarga Peduli Anak (KKPA) untuk orang tua mereka. Sehingga kami menyasar anak-anak, orang tua, komunitas, dan pemerintah setempat.

Pada saat pelatihan CNSP itu, teman-teman jurnalis didampingi Lurah Pannampu melihat aktivitas pekerja anak yang jadi bagian dari program kami.

Pernah pula, saya dan Pak Aswar Hasan diajak beberapa teman jurnalis ke RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo di Tamalanrea. Saya ingat, salah seorang di antara teman itu adalah Anggi S. Ugart, wartawan harian Fajar.

Rupanya, ada pasien, seorang anak kecil, bernama Rangga, yang mengalami penumpukan cairan di rongga otaknya. Akibatnya, kepalanya terlihat membesar.

Anak penderita hidrosefalus itu terkendala biaya. Dia tidak bisa dioperasi. Sedih melihatnya hari itu.

Saya dan Pak Aswar diminta memberikan pernyataan untuk menggugah sekaligus menggugat sistem asuransi atau jaminan kesehatan yang pelik dan birokratis.

Namun, Pak Aswar Hasan lebih mendorong saya untuk membuat pernyataan. Alasannya, karena saya aktivis peduli anak.

Kamera TV pun dinyalakan. Saya diwawancarai. Sementara anak kecil itu tetap berbaring di tempat tidurnya.

Beberapa hari kemudian, harian Fajar membuka dompet kemanusiaan untuk anak itu.

Pasien tadi akhirnya bisa dioperasi. Belakangan, Anggi menyampaikan kalau anak malang itu telah meninggal.

Tentang pemotongan anggaran

Salah satu momen terbaik bersama Aswar Hasan, ketika saya sudah menjadi Komisioner KPID Sulawesi Selatan.

Saat itu, anggaran KPID terancam bakal dipangkas. Saya lupa berapa besarannya, tetapi yang pasti akan berpengaruh terhadap sejumlah program yang kami sudah susun.

“Pemotongan anggaran” ini terjadi di sejumlah instansi.

Apa penyebabnya? Kala itu, Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang baru terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan periode 2008-2013. Pasangan Sayang—demikian tagline keduanya—mau melaksanakan janji politiknya, berupa pendidikan dan kesehatan gratis.

Nah, demi memenuhi janji politik mereka, KPID ikut terkena imbasnya. Maka dicarilah jalan bagaimana agar anggaran kami tidak ikut dipotong. Kami membuat strategi sesuai potensi dan akses yang masing-masing kami punya.

Suatu hari, rencana anggaran ini akan dibicarakan dalam rapat di Komisi A DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Komisi ini membidangi pemerintahan, termasuk KPID.

Saya dihubungi Andi Tadampali, Wakil Ketua KPID Sulawesi Selatan, untuk membersamai Pak Aswar Hasan. Saat tiba di gedung DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, sudah ada Pak Aswar dan kepala sekretariat kami, H. Banoding.

Setelah rapat, saya keluar dan bertemu sejumlah wartawan. Mereka bertanya, apakah anggaran KPID juga akan dikurangi? Saya jawab, iya.

Saya jelaskan, pemotongan anggaran ini sama saja membuat negara menggaji kami hanya untuk menonton TV dan mendengarkan radio. Karena hanya itu yang bisa dilakukan dengan anggaran yang ada, yakni monitoring isi siaran.

Rupanya, keesokan harinya, pernyataan saya ini dikutip jadi judul berita di Tribun Timur: “Negara Bayar KPID Hanya Untuk Nonton TV”.

Alhamdulillah, berita ini ternyata berdampak positif. Saya ditelepon untuk pagi itu ke kantor KPID.

Katanya, ada pesan dari sebelah yang menyampaikan agar tidak perlu lagi menyoal pemotongan anggaran KPID. Sebab, anggaran kami akan dikembalikan sesuai pengajuan semula.

Dengan pendekatan advokasi, berjejaring dengan teman-teman jurnalis, terbukti media efektif menjalankan fungsi kontrol dan membangun empati demi kemanusiaan.

Dan Pak Aswar Hasan menjadi bagian dari success story itu. (*)