Banyak warga Indonesia menempuh pendidikan di universitas-universitas Australia, sementara warga Australia juga belajar dan bekerja di Indonesia. Pertukaran ini memperkuat saling pengertian kedua bangsa.
PELAKITA.ID – Kemerdekaan Indonesia ke-80 tahun yang kita syukuri hari ini merupakan hasil perjuangan panjang banyak orang, baik di dalam maupun di luar negeri.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa warga Australia juga ikut mendukung perjuangan bangsa Indonesia dalam revolusi fisik melawan Belanda—yang berusaha kembali menguasai Nusantara setelah Perang Dunia II. Dukungan itu terutama datang dari kalangan masyarakat Australia berhaluan kiri.
Salah satu bentuk dukungan paling fenomenal adalah boikot para buruh di Brisbane, Queensland, pada 1947, tak lama setelah Agresi Militer Belanda I.
Mereka menolak memuat senjata ke kapal Belanda yang diperuntukkan bagi tentara NICA. Peristiwa ini kemudian dikenal luas sebagai Black Armada. Selain itu, berbagai demonstrasi juga digelar oleh serikat buruh dan organisasi warga Australia untuk menyuarakan dukungan bagi kemerdekaan Indonesia.
Tidak sedikit warga Australia yang secara langsung terlibat dalam perjuangan, seperti Molly Bondan. Ia menikah dengan pejuang kemerdekaan Mohammad Bondan, menetap di Indonesia, dan menulis buku berjudul In Love with a Nation yang mengenang perjuangan kemerdekaan.
Perdana Menteri Sutan Syahrir secara terbuka menghargai dukungan itu. Dalam salah satu pidatonya ia berkata:
“Friends in Australia, I’m unknown to most of you and yet I call you my friends … the workers who refused to load the Dutch ships with arms and munitions which would be used against our republic… the thousands holding demonstrations to protest against the onslaught on our independence, you are all my friends.”
Syahrir menegaskan bahwa para pekerja yang menolak mengangkut senjata ke kapal Belanda, serta ribuan orang yang berdemo mendukung kemerdekaan, adalah sahabat sejati Indonesia.
Apresiasi serupa juga disampaikan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Bahkan Dr. Soebandrio menyebut Australia sebagai “bidan” yang membantu lahirnya kemerdekaan Indonesia.
Tidak heran, ketika dibentuk Commission for Good Offices untuk memfasilitasi gencatan senjata, Indonesia memilih Australia sebagai wakilnya.
Diplomat Australia Thomas Kingston (T.K.) Critchley ikut terlibat dalam perundingan tersebut dan menjalin persahabatan dekat dengan Hatta. Critchley mengenang Hatta sebagai sosok berwibawa namun humoris, sehingga ia merasa nyaman berada di dekatnya meskipun berbeda latar belakang.
Critchley kemudian menjadi Duta Besar Australia untuk Indonesia (1978–1981) dan menjadi saksi penting perjalanan persahabatan kedua bangsa.
Kini, delapan dekade setelah kemerdekaan, hubungan Indonesia–Australia tetap terjaga meski sesekali diwarnai perbedaan pandangan. Mobilitas mahasiswa, peneliti, dan tenaga kerja dari kedua negara turut mempererat ikatan ini.
Banyak warga Indonesia menempuh pendidikan di universitas-universitas Australia, sementara warga Australia juga belajar dan bekerja di Indonesia. Pertukaran ini memperkuat saling pengertian kedua bangsa.
Hubungan baik hanya bisa bertahan bila ada saling mengenal. Konflik sering muncul bukan karena clash of civilizations seperti dikatakan Samuel Huntington, melainkan karena clash of ignorance—benturan akibat ketidaktahuan. Dengan saling mengenal, konflik dapat dikelola, tidak meluas, dan tidak mengorbankan kepentingan utama kedua bangsa: maju bersama.
___
Sudirman Nasir
Dosen/peneliti Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
Alumnus Master & Doktoral Universitas Melbourne, Australia
Pengurus Ikatan Alumni Australia (IKAMA) Sulsel