PELAKITA.ID – Setiap kali bangsa ini merayakan kemerdekaan, kita selalu mendengar jargon “kemerdekaan untuk seluruh rakyat Indonesia.” Namun, bila kita jujur, pertanyaan sederhana muncul: apakah kemerdekaan itu benar-benar sudah hadir di tepi laut, di desa-desa pesisir, atau masih sebatas harapan yang tak kunjung tiba?
Laut yang Dipagari: Privatisasi Ruang Hidup
Beberapa waktu lalu publik dikejutkan oleh kasus pemagaran laut di Tangerang dan sejumlah wilayah lain. Laut—ruang hidup bersama bagi nelayan—tiba-tiba diperlakukan seolah bisa dimiliki segelintir investor. Praktik ini bukan hanya pelanggaran ekologi, tetapi juga pelanggaran konstitusi.
Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk segelintir orang.
David Harvey menyebut praktik ini accumulation by dispossession—akumulasi modal dengan merampas ruang komunal. Karl Polanyi bahkan menyebut laut telah diperlakukan sebagai komoditas fiktif, padahal jelas bukan hasil produksi manusia.
Pemagaran laut adalah wajah kolonialisme baru: penguasaan ruang publik demi keuntungan elit, dengan mengorbankan masyarakat pesisir.
Pengusiran di Pulau Rempang: Pembangunan atau Kekerasan Struktural?
Kasus Pulau Rempang menyingkap wajah lain pembangunan. Warga adat yang sudah turun-temurun hidup di 16 kampung Melayu dipaksa angkat kaki demi proyek Rempang Eco-City. Tidak ada partisipasi, suara masyarakat diabaikan.
Konsep primitive accumulation Marx relevan di sini: rakyat diusir dari ruang hidupnya untuk membuka jalan bagi akumulasi kapital baru. Antonio Gramsci menambahkan, negara membungkus penggusuran itu dengan hegemoni wacana: proyek strategis nasional, demi rakyat banyak. Padahal yang sebenarnya diuntungkan adalah modal besar. Kemerdekaan masyarakat pesisir, sekali lagi, hanya jadi retorika.
Tambang Pasir Laut: Kekerasan Ekologis yang Sistematis
Rencana tambang pasir laut juga menimbulkan pertanyaan mendasar: untuk siapa laut dikelola? Nelayan kecil jelas akan kehilangan tangkapan, sementara perusahaan besar meraup untung.
Tambang pasir laut bahkan lebih berbahaya dari tambang darat—menyebabkan erosi, merusak ekosistem, menghancurkan rumah-rumah pesisir, seperti yang sudah dialami warga Galesong.
Michel Foucault membantu membaca ini dengan konsep biopolitics: tubuh nelayan dan ruang hidup mereka diatur, dikontrol, bahkan dikorbankan demi kapital.
Pierre Bourdieu menambahkan, modal ekonomi korporasi menyingkirkan modal sosial dan budaya masyarakat pesisir. Tambang pasir laut bukan sekadar kebijakan ekonomi; ia adalah bentuk kekerasan ekologis yang dilegalkan.
Keramba Jaring Apung Pangandaran: Pertarungan Hegemoni
Kasus penolakan Keramba Jaring Apung (KJA) di Pangandaran menambah daftar panjang tarik-menarik kepentingan. Negara mengklaim ini bagian dari “ekonomi biru” untuk meningkatkan produksi perikanan, sementara nelayan tradisional melihat ruang tangkap mereka hilang, ekosistem rusak, bahkan kawasan konservasi dilanggar.
Gramsci menyebut ini pertarungan hegemoni: negara dan pasar membangun narasi bahwa proyek industri adalah kemajuan, sementara masyarakat mencoba melawan dengan menegaskan pentingnya keberlanjutan ekologi dan kedaulatan nelayan.
Realitas Sehari-hari: Kemerdekaan yang Dipinggirkan
Namun, di luar kasus-kasus besar, realitas sehari-hari masyarakat pesisir justru lebih getir. Ribuan desa pesisir belum tersentuh aspal: jalan tanah berdebu saat kemarau, berlumpur saat hujan. Listrik redup dan tidak stabil, air bersih harus diangkut dengan jerigen, sinyal komunikasi lebih sering hilang.
Sekolah dasar berdinding papan rapuh, guru datang dan pergi, sementara Puskesmas kerap hanya papan nama tanpa tenaga kesehatan tetap.
Inilah wajah kemerdekaan yang timpang: rakyat yang hidup di tapal batas kedaulatan, tapi juga di tapal batas nasib. BPS (2022) mencatat lebih dari 16 juta jiwa masyarakat pesisir hidup di bawah garis kemiskinan, tersebar di lebih dari 10 ribu desa.
Angka itu bukan sekadar statistik—ia adalah bukti konkret dari apa yang disebut Andre Gunder Frank sebagai dependency: pinggiran terus mengalirkan hasil ke pusat, tetapi kesejahteraan tak pernah kembali.
Membangun Jalan Pulang: Pentahelix untuk Kemerdekaan Pesisir
Kemerdekaan masyarakat pesisir bukan hanya tugas negara. Ia harus menjadi proyek kolektif. Pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat, dan media (pentahelix) harus bekerja bersama.
-
Negara wajib kembali pada amanat Pasal 33, menempatkan masyarakat pesisir sebagai subjek, bukan korban.
-
Akademisi perlu menurunkan menara gading, mengintegrasikan sains modern dengan pengetahuan lokal: filosofi rumah panggung, ritual laut, kearifan musim.
-
Dunia usaha harus menggeser logika akumulasi menjadi keberlanjutan: bukan accumulation by dispossession, melainkan accumulation by restoration.
-
Masyarakat pesisir perlu memperkuat organisasi kolektif, membangun solidaritas lintas desa, melawan hegemoni dengan kontra-hegemoni.
-
Media harus menjadi corong publik yang adil, memperlihatkan kontradiksi pembangunan, bukan sekadar menjual eksotisme wisata atau angka kemiskinan.
Penutup: Dari Harapan ke Realitas
Kemerdekaan masyarakat pesisir tidak boleh berhenti sebagai slogan 17 Agustus atau pasal dalam konstitusi. Ia harus diperjuangkan nyata: dengan menolak privatisasi laut, melawan penggusuran, dan menegakkan kedaulatan nelayan atas ruang hidupnya.
Pertanyaannya kini: apakah kita rela membiarkan kemerdekaan masyarakat pesisir terus jadi harapan yang tertunda, ataukah kita berani menjadikannya realitas—dengan perlawanan, solidaritas, dan keberanian politik?
Editor Denun