PELAKITA.ID – Perikanan skala kecil (small-scale fisheries / SSF) bukanlah sekadar “sisa” dari industrialisasi laut.
Di Indonesia, lebih dari 80 persen armada penangkapan ikan adalah kapal di bawah 10 GT, dioperasikan oleh nelayan dengan modal terbatas, alat tangkap sederhana, serta pengetahuan ekologis lokal yang diwariskan lintas generasi.
Mereka adalah pilar ketahanan pangan maritim. Namun ironisnya, di mata kebijakan dan statistik resmi, SSF sering dipandang kecil, pinggiran, dan sekadar pelengkap industri besar.
Kategori yang Terlalu Sederhana
Selama ini, label “skala kecil” direduksi hanya pada ukuran kapal, kapasitas mesin, atau jenis alat tangkap. Padahal SSF adalah lanskap sosial-ekologis yang jauh lebih kompleks: mencakup keragaman budaya, sistem kerja, pola pemasaran, strategi adaptasi iklim, hingga relasi kuasa dengan industri besar.
Mengkategorikannya secara sempit bukan hanya keliru secara teknis, tetapi juga mencerminkan hegemoni pengetahuan—meminjam istilah Antonio Gramsci—di mana definisi yang lahir dari pusat kekuasaan mengabaikan kenyataan lapangan.
Smith & Basurto (2019) menunjukkan bahwa klasifikasi SSF di banyak negara, termasuk Indonesia, sering mengabaikan keragaman tersebut.
Misalnya, UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 mendefinisikan nelayan kecil hanya sebagai mereka yang menangkap ikan “untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.” Definisi ini menutup mata terhadap kontribusi SSF pada pasar domestik, ekspor, dan ketahanan pangan nasional.
Keterbatasan definisi ini mencerminkan ketimpangan modal simbolik (Bourdieu): nelayan kecil tidak memiliki kuasa untuk mengukuhkan makna dirinya di mata negara.
Tanpa partisipasi mereka, kebijakan cenderung bias terhadap industri besar dan mengulang ketidakadilan struktural yang sudah lama berlangsung.
Beban Administrasi dan Regulasi
Instrumen seperti Log Book Penangkapan Ikan penting untuk pencatatan lokasi, waktu, jenis, dan jumlah tangkapan—data yang menjadi dasar pengelolaan stok ikan, kuota, dan akses pasar internasional.
Namun, penerapannya pada SSF menemui hambatan: formulir dirancang untuk kapal besar, membutuhkan literasi administratif, akses internet, dan enumerator, sementara manfaatnya jarang dirasakan langsung oleh nelayan kecil.
Permen KKP No. 36 Tahun 2023 menambah lapisan kompleksitas dengan pengaturan zonasi alat tangkap di WPPNRI. Prinsipnya baik untuk keberlanjutan sumber daya, tetapi tanpa pendampingan memadai, nelayan skala kecil terjebak pada persyaratan teknis rumit dan risiko kriminalisasi jika salah menempatkan alat.
Dalam perspektif Habermas, proses seperti ini mencerminkan “ruang publik” yang tidak inklusif, di mana suara nelayan kecil jarang terdengar.
Karakter Teknis dan Ekologis
SSF umumnya beroperasi di wilayah pesisir dengan kapal di bawah 10 GT, menggunakan multigear dan menangkap multispecies. Sistem ini sulit dikelola dengan pendekatan single species ala manajemen perikanan modern. Sebagian besar hasil dijual di pasar lokal, menopang pangan dan ekonomi pesisir.
Penelitian menunjukkan ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil, sementara biaya operasi meningkat. Fenomena ini adalah potret ekologi politik yang kompleks—tekanan eksploitasi datang dari berbagai arah: ekspansi industri besar, kebijakan ekspor agresif, dan lemahnya pengawasan terhadap overfishing. Dalam situasi ini, nelayan kecil menjadi aktor sekaligus korban dari relasi kuasa timpang.
Dimensi Sosial dan Infrastruktur
Solidaritas komunitas adalah tulang punggung SSF. Perempuan memegang peran vital di pasca-panen—membersihkan, mengolah, memasarkan—tetapi kontribusi ini jarang masuk statistik resmi, mencerminkan bias gender dalam pencatatan.
Infrastruktur desa pesisir umumnya tertinggal: jalan dan pelabuhan buruk, listrik tidak stabil, air bersih dan sinyal terbatas, sekolah dan puskesmas kekurangan tenaga. Ini adalah bentuk ketidakadilan distribusi manfaat pembangunan—daerah penghasil sumber daya justru tidak menikmati fasilitas publik memadai.
Ekonomi dalam Rantai Nilai Timpang
Ketergantungan pada tengkulak membuat nelayan kecil hanya mendapat margin tipis. Tengkulak memberikan jaminan pasar dengan harga rendah, sementara pedagang besar dan eksportir menikmati keuntungan lebih besar. Koperasi nelayan bisa menjadi solusi, tetapi sering gagal karena lemahnya modal sosial (Bourdieu): jaringan, kepercayaan, dan kapasitas manajerial.
Tanpa penguatan modal sosial, bantuan fisik seperti kapal atau mesin tidak cukup. Diperlukan pendampingan dan penguatan kapasitas organisasi agar nelayan kecil bisa bersaing di pasar global.
Jalan Pembaruan
FAO mendorong definisi SSF yang fleksibel dan inklusif, mencakup seluruh rantai nilai—dari pra-produksi hingga pasca-produksi—serta mengakui peran gender. Dalam kerangka keadilan Rawls, kebijakan harus berpihak terlebih dahulu pada yang paling rentan: nelayan skala kecil dengan keterbatasan modal, infrastruktur, dan akses pasar.
Perumusan ulang kategori SSF perlu mempertimbangkan aspek teknis, sosial, budaya, kapasitas administratif, dan kerangka regulasi seperti Permen KKP No. 36/2023. Kewajiban Log Book dan aturan zonasi harus relevan, sederhana, dan memberi manfaat nyata bagi nelayan kecil.
Selain itu, diperlukan pembangunan infrastruktur sosial, penguatan posisi tawar ekonomi melalui kelembagaan profesional, serta ruang partisipasi politik yang setara.
Mengabaikan kompleksitas SSF berarti mengulang kesalahan konseptual dan politis. Definisi sempit bukan hanya menyesatkan, tetapi juga memperpanjang peminggiran jutaan nelayan, melemahkan ketahanan pangan maritim, dan mengabaikan keadilan sosial-ekologis.
Penutup
Jika SSF terus dipandang dari lensa sempit, kebijakan akan cacat sejak lahir. Dominasi SSF di laut Indonesia bukan sekadar data statistik, tetapi soal siapa yang berhak mendefinisikan, mengatur, dan mengambil manfaat dari sumber daya laut. Salah kategorisasi bukan hanya kesalahan ilmiah, melainkan tindakan politik yang membungkam klaim jutaan nelayan atas ruang hidup dan lautnya.
Bagi sosiologi perikanan, mendefinisikan ulang SSF adalah perlawanan epistemik terhadap hegemoni pengetahuan yang menguntungkan industri besar. Keberlanjutan laut tidak akan tercapai tanpa keberlanjutan kehidupan nelayan—dan itu hanya mungkin jika mereka dipandang sebagai pusat masa depan perikanan Indonesia.
Jika negara berani keluar dari jebakan definisi sempit, merevisi kebijakan berdasarkan realitas lapangan, dan menempatkan nelayan kecil sebagai subjek penuh, maka “skala kecil” akan berubah dari label pinggiran menjadi identitas strategis yang menjaga keberlanjutan pangan, budaya, dan kedaulatan maritim. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa kita gagal melihat luasnya laut hanya karena memilih kacamata yang terlalu sempit.
Editor: K. Azis