Kritik Pembangunan (1970–1990), Meninjau Ulang Makna Kemajuan dari Pinggiran

  • Whatsapp
Gayatri Spivak (source:https://www.getbengal.com/)
  • Shiva, seorang fisikawan dan aktivis lingkungan, mengecam pembangunan modern yang merusak keanekaragaman hayati, menyingkirkan peran perempuan, dan mengabaikan pengetahuan lokal. Ia mendorong alternatif pembangunan berbasis ekologi, kearifan lokal, dan otonomi komunitas.
  • Spivak mempertanyakan: ketika orang-orang Barat berbicara atas nama “orang miskin”, apakah mereka benar-benar mewakili—atau justru semakin membungkam? Ia memperkenalkan konsep subaltern—kelompok paling marjinal yang suaranya tidak terdengar dalam sistem dominan.

PELAKITA.ID – Antara tahun 1970 hingga 1990, muncul gelombang kritik tajam dari para intelektual Global Selatan dan akademisi kritis dari negara-negara maju terhadap narasi dominan tentang pembangunan.

Kekecewaan terhadap hasil pembangunan pascakemerdekaan—yang justru tetap menyisakan kemiskinan dan ketimpangan—mendorong lahirnya pertanyaan mendasar: Bagaimana jika “pembangunan” itu sendiri justru bagian dari masalah?

Inilah awal munculnya teori pascakolonial dan kritik pembangunan—suatu cara berpikir yang menantang bagaimana kita memahami kemajuan, siapa yang berhak mendefinisikannya, dan apa konsekuensi dari menjadikan pembangunan sebagai proyek global.

Pembangunan: Wajah Baru dari Penjajahan?

Pasca Perang Dunia II, pembangunan menjadi paradigma utama dalam kebijakan dan bantuan internasional untuk negara-negara baru merdeka. Gagasan utamanya sederhana: negara-negara “terbelakang” harus mengikuti jejak negara-negara industri di Barat, melalui teknologi, sains, investasi, dan perencanaan modern.

Namun bagi para pemikir kritis, paradigma ini terasa seperti kelanjutan kolonialisme.

Ia membawa asumsi yang sama: bahwa Barat lebih maju dan sisanya harus mengejar. Para teoritikus pascakolonial melihat bahwa pembangunan bukan hanya soal teknis, tetapi juga bentuk baru dari dominasi budaya dan kekuasaan.

Tokoh-Tokoh Kunci: Suara dari Pinggiran

Edward Said – Orientalism (1978)

Dalam karya penting ini, Edward Said mengungkap bagaimana dunia Barat menggambarkan “Timur” secara stereotipikal: eksotik, irasional, dan tertinggal.

Representasi ini bukan netral—melainkan alat kekuasaan yang melegitimasi penjajahan. Dalam konteks pembangunan, negara-negara berkembang sering digambarkan sebagai tidak mampu, sehingga perlu “dibantu”.

Arturo Escobar – Encountering Development (1995)

Meski diterbitkan agak belakangan, karya Escobar merupakan puncak dari kritik tahun 1970–1990. Ia menyatakan bahwa pembangunan adalah sebuah wacana—cara berpikir dan berbicara—yang secara aktif membentuk “Dunia Ketiga” sebagai wilayah kekurangan.

Menurutnya, lembaga pembangunan (seperti PBB, Bank Dunia, LSM) secara tidak sadar mereproduksi relasi kekuasaan kolonial.

James Ferguson – The Anti-Politics Machine (1990)

Ferguson mengkaji bantuan pembangunan di Lesotho dan menemukan bahwa proyek-proyek sering menghilangkan dimensi politik dari kemiskinan. Mereka fokus pada solusi teknis—pelatihan, bendungan, jalan—tanpa menyentuh akar ketimpangan. Akibatnya, proyek justru memperluas birokrasi negara tanpa menyelesaikan masalah struktural.

Gayatri Spivak – Can the Subaltern Speak? (1988)

Spivak mempertanyakan: ketika orang-orang Barat berbicara atas nama “orang miskin”, apakah mereka benar-benar mewakili—atau justru semakin membungkam?

Ia memperkenalkan konsep subaltern—kelompok paling marjinal yang suaranya tidak terdengar dalam sistem dominan.

Vandana Shiva – Staying Alive (1988)

Shiva, seorang fisikawan dan aktivis lingkungan, mengecam pembangunan modern yang merusak keanekaragaman hayati, menyingkirkan peran perempuan, dan mengabaikan pengetahuan lokal. Ia mendorong alternatif pembangunan berbasis ekologi, kearifan lokal, dan otonomi komunitas.

Ashis Nandy – The Intimate Enemy (1983)

Nandy berpendapat bahwa kolonialisme bukan hanya menjajah tanah, tapi juga pikiran. Ia menyebut pembangunan sebagai lanjutan dari kolonisasi mental, yang membuat orang merasa malu terhadap budayanya sendiri. Ia menyerukan pemulihan nilai-nilai dan pengetahuan non-Barat.

Meninjau Ulang Proyek Pembangunan

Kritik pascakolonial menyentuh beberapa gagasan utama:

  • Pembangunan tidak netral. Ia sarat sejarah penjajahan dan relasi kuasa.

  • Pengetahuan itu politis. Dominasi model Barat menyingkirkan perspektif lokal.

  • Kemajuan itu majemuk. Tidak ada satu jalan tunggal menuju masa depan.

  • Pembangunan bisa membungkam. Dengan dalih membantu, ia sering meniadakan suara masyarakat.

Peran Ekonom: Pergeseran yang Halus

Walau kritik pascakolonial lebih banyak berasal dari antropologi, sastra, dan teori sosial, beberapa ekonom juga ikut menyuarakan perubahan.

Amartya Sen, meski pendekatannya lebih moderat, menolak ukuran pembangunan berbasis PDB. Ia mengusulkan pendekatan kapabilitas, yang menekankan kebebasan, kesehatan, dan pendidikan.

Sementara itu, Samir Amin mengusulkan strategi “delinking” dari sistem kapitalisme global agar negara-negara perifer bisa menentukan jalannya sendiri.

Indonesia: Sebuah Contoh Nyata

Pembangunan di era Orde Baru menunjukkan banyak sisi dari kritik ini. Dengan perencanaan teknokratis, proyek infrastruktur besar, dan bantuan asing, pembangunan tampak sukses. Tapi banyak komunitas terusir, suara lokal dibungkam, dan lingkungan rusak.

Para pemikir pascakolonial akan bertanya: Siapa yang diuntungkan? Pengetahuan siapa yang dihargai? Masa depan siapa yang dibayangkan?

Warisan dan Alternatif

Kritik pascakolonial telah melahirkan:

  • Pembangunan partisipatif: warga ikut merancang solusi.

  • Pendekatan berbasis hak: pembangunan dikaitkan dengan keadilan dan martabat.

  • Gerakan pasca-pembangunan: menolak pembangunan sebagai fantasi Barat dan mencari alternatif berbasis budaya lokal.

Kini, gagasan untuk “mendekolonisasi pembangunan” kembali menggema—mengajak kita mendengar, bukan menggurui; menghormati, bukan menggantikan.

Pembaca sekalian, kritik pascakolonial bukan sekadar wacana akademik. Ia adalah panggilan untuk bersikap rendah hati, untuk mendengar sebelum bertindak, dan untuk mengakui martabat dan kearifan setiap komunitas.

Dalam dunia yang masih dihantui oleh ketimpangan dan krisis ekologi, pertanyaan yang diajukan para pemikir ini tetap relevan:
Apakah tugas kita benar-benar membangun orang lain—atau justru membongkar asumsi kita sendiri tentang apa itu “kemajuan”?

(Dari berbagi sumber)