Catatan Denun | Boge Bertemu Dua Maestro

  • Whatsapp
Abd Madjid Sallatu, Abdul Rahman Farisi, Taslim Arifin, Eka Sastra (dok: Boge)

PELAKITA.ID – Reuni dengan dua maestro FE Unhas, Kak Taslim Arifin dan Kak Madjid Sallatu. Demikian kutipan Abdul Rahman Farisi tentang dua dosen senior tersebut.

Boge—begitu sapaan Rahman—menuliskan itu menyertai beberapa frame foto yang memang nampak istimewa.

Saya setuju dengan sebutan maestro itu. Dua sosok yang dimaksud Boge adalah “begawan Ekonomi” Unhas yang sedari mahasiswa, sebagai dosen, sebagai pentolan HMI, dan bahkan penasehat ekonomi bagi pemerintahan, merupakan sosok kharismatik.

Penulis merasakan bagaimana kedua sosok itu terus bersinar, terus memesona, dan terus menginspirasi.

Taslim Arifin, yang setiap bicara terlihat calm, menelisik, mendengar, lalu merespons dengan terukur, selalu nampak mengasyikkan kalau diajak benam pada isu-isu sosial, ekonomi, atau secara spesifik leadership.

Simpulan ini sesuai setelah mendengarkan dan mengamati saat bertemu Taslim Arifin di resepsi pernikahan anak Hermansyah Edi tahun lalu. Kesan itu melengkapi pengalaman penulis saat beberapa kali menemaninya main tenis di tahun 90-an. Pengalaman bermain tenis itu pula yang selalu penulis boyong dan kenang saat melihat Pak Taslim. Bersamanya kala itu hadir pula beberapa dosen FE Unhas yang memang semuanya nampak kharismatik: Tadjuddin Parenta, Pak Herry, Abd. Hamid Paddu, Hermansyah Edi—hingga almarhum Yansor.

Bagaimana dengan Madjid Sallatu? Di pandangan penulis, beliau—yang selalu disapa Tetta (ayah)—adalah sosok yang juga kharismatik. Dan bagi yang doyan diskusi, pasti akan betah. Intonasi dan pilihan diksinya enak didengar jika sedang bicara atau menyampaikan pendapatnya.

Pertemuan terakhir dengannya adalah saat sama-sama menikmati sajian ikan bakar bersama Anies Baswedan, pun tahun lalu. Dari medsos, Tetta Madjid beberapa kali menyapa penulis, membagikan insight, atau minimal tautan-tautan berita yang relevan dengan isu maritim. Dia peduli, dia terhubung dengan adik atau anak-anak Unhas.

Foto-foto yang dikirimkan Boge di atas seakan menyempurnakan penilaian penulis. Keduanya duduk manis dengan Eka Sastra—semobil. Eka adalah sosok humble, aktif di organisasi kealumnian terutama HMI dan IKA FE Unhas.

Menyaksikan Eka, Boge, dan kedua maestro itu membuat kita bersemangat.

Ada spirit kolektivitas, penghormatan, dan tentu saja “ruang dan waktu” untuk berbagi dari seorang Eka yang supersibuk, aktif berbisnis dan berjejaring, tapi memilih berbahagia bersama dosen-dosen senior atau tokoh panutan Unhas bahkan nasional itu.

Di foto lain, dengan mengenakan topi Scotland style yang ujungnya lancip, Taslim Arifin dan Tetta Madjid duduk mewakafkan senyum kepada adik-adiknya: Boge, Acha Araksa, Syarkawi Rauf, Eka Sastra, dan jurnalis “1300 Watt” di usia gaek, Mulawarman—sosok yang terus menginspirasi tentang pentingnya daya kritis.

Melihat Eka Sastra di frame ini, penulis lega. Membayangkan kepedulian, empati, dan tentu jamuan berkelas dari seorang Eka.

Penulis menyukai momen itu. Seakan memanggil-manggil siapa saja alumni yang punya “ruang, uang” untuk mengajak para senior mereka—di fakultas apa pun, atau di organisasi apa pun—untuk terus terhubung.

Jangan juga mentang-mentang sudah jadi pejabat atau tokoh kunci, kunci itu tidak pernah dipakai membuka ruang silaturahmi. Selalu mengklaim diri aktivis HMI, IMM, atau pengurus senat dan organisatoris di kampus. Giliran dapat jabatan pemberian rezim, susah sekali diajak komunikasi.

Tamarunang, 9 Juli 2025