Resensi Buku PETANI PERBATASAN | Prof Darmawan Salman: Belajar dari Petani di Program READ-SI

  • Whatsapp
Buku 'Petani Perbatasan' sesaat sebelum diskusi buku di Plazgozz Yusuf Dg Ngawing (dok: Istimewa)

DPRD Makassar

Informasi buku

Penulis, Wahyuddin Kessa              

Penerbit: Akar Indonesia (Bantul)

Jumlah Halaman: 164

PELAKITA.ID – Tidak banyak buku yang bercerita lengkap tentang implementasi sebuah program. Tidak banyak penulis yang menuliskan dengan lugas pengalamannya mengelola sebuah program.

Buku ini mengatasi keterbatasan itu. Buku ini adalah cerita tentang implementasi program Rural Empowerment and Agricultural Development Scalling-up Initiative (READ-SI) dengan dana  dari International Fund for Agriculture Development (IFAD).

Penulisnya adalah Tim Leader Pemberdayaan Masyarakat pada program itu. Apa yang dia tulis adalah apa yang dia lakukan, apa yang dia fasilitasi, apa yang di dalamnya ia terlibat.

Sering kali akhir sebuah program ditandai oleh laporan evaluasi formal untuk menjadi “konsumsi internal”.

Sering kali akhir sebuah program disajikan evaluasinya oleh lembaga atau individu yang sengaja direkrut dengan alasan agar laporannya “obyektif”. Buku ini “melanggar” berbagai “keseringkalian” itu.

Buku ini dengan indah menceritakan bagaimana ‘fasilitator pemberdayaan masyarakat’ yang direkrut oleh program berinteraksi dengan ‘aktor-aktor pemerintah pada urusan pertanian’.

READ-SI tidak berproses dalam ruang yang hampa pelaku pembangunan, ia beroperasi di tengah bekerjanya penyuluh pertanian, kepala dinas pertanian daerah, hingga badan pengembangan SDM Kementerian Pertanian.

Terbayangkan betapa nafas pemberdayaan masyarakat yang filosofinya adalah ‘social learning’ harus berkawin dengan nafas teknokrasi pembangunan yang filosofinya adalah ‘social enginering’.

Terbayangkan betapa napas ‘pengorganisasian komunitas’ sebagai inti pemberdayaan masyarakat harus berkawin dengan nafas ‘pengelompokan petani’ yang sejak Orde Baru hingga kini lebih disiapkan sebagai wahana untuk penyerapan bantuan pemerintah dibanding sebagai wahana keberdayaan komunitas petani.

Terbayangkan betapa petani yang telah terbiasa dengan penghantaran bantuan sumberdaya dari luar harus berkawin dengan penyadaran kritis menuju keswadayaan sebagaimana menjadi judul program ini.

Tidak heran bila Amal Alba, tenaga ahli Kabupaten Luwu Utara, terpana ketika seorang perempuan anggota kelompok marah dan menangis demi usulannya diterima sementara ada norma keswadayaan yang hendak diresapkannya sebagai aktor pemberdaya.

Tidak heran bila beberapa pendamping terkendala dengan upaya mentranformasikan kolektiva petani untuk sebuah kelembagaan ekonomi yang lebih berkekuatan untuk suatu literasi keuangan misalnya lembaga koperasi petani di tengah keterbiasaan penguatan kolektiva petani selama ini yang terbatas sebagai kelompok tani.

READ-SI diimplementasikan pada 2020-2024. Pada periode itu Indonesia dan dunia bergulat dengan pandemi Covid-19. Pada periode itu sebagian besar kita tercekam dalam kecemasan untuk tidak tertular virus menakutkan itu.

Saya tidak atau belum menemukan pada bagian mana buku ini mengilustrasikan: sampai mana keharusan bekerja dari rumah, pembatasan pergerakan penduduk, dan cekaman berita kematian setiap hari, mempengaruhi petani di lapangan dan mempengaruhi konsultan dan pendamping program ini pada masa-masa itu?

Andainya buku ini menceritakan dinamika program pada fase cekaman Covid (2020-2021) dan fase keluar dari cekaman Covid (2021-2022), maka pertanyaan ini terjawab.

‘Petani Perbatasan’ yang memiliki makna simbolik dan harfiah sebagai judul buku ini cukup menarik dan orisinil.

Saya akan menanggapi makna simboliknya. Sebagian besar petani kita memang tengah di persimpangan: bertahan sebagai petani dengan penghasilan yang tidak menjamin kelayakan hidup, atau keluar dari pertanian dengan nasib yang tidak jelas juga.

Apakah ini merupakan penanda akan kematian ‘petani kecil’ atau ‘pertanian keluarga’ lalu akan digantikan oleh ‘korporasi pertanian’ berteknologi canggih dan bermodal besar dan merupakan pemain-pemain utama rantai pangan global? Ini telah lama menjadi diskusi hangat di kalangan sosiolog pertanian.

Saya sendiri masih terpesona dengan optimisme Chayanovian bahwa akan selalu ada manusia yang bersetia eksis sebagai petani kecil, menjalankan cocok tanam dalam basis rumah tangga/keluarga, dengan memelihara berbagai keseimbangan.

Mereka adalah petani yang menjaga keseimbangan antara jumlah tangan yang bekerja menghasilkan bahan pangan dengan sejumlah mulut yang butuh makan dalam rumah tangganya.

Mereka adalah rumah tangga yang terus mencari keseimbangan antara jerih payah yang memeras keringat dengan faedah yang mereka nikmati sedikit demi sedikit.

Mereka inilah yang menginspirasi Soekarno dengan pemikiran Marhaenisian, yakni petani kecil dengan penguasaan lahan di bawah 0,5 hektar. Atau apakah pada bangsa agraris ini semua tanah pertanian akan dikuasai oleh perusahaan besar dan petani sebagai pencocok tanam akan terdeprivasi statusnya menjadi buruh tani tanpa kepemilikan lahan? Kita tidak tahu bagaimana sejarah akan menuliskannya.

Saya teringat ketika menjadi dosen muda di Fakultas Pertanian UMI medio 1987-1988. Dalam rangka milad, saya menangani kegiatan lomba tulis mahasiswa. Pesertanya dari semua fakultas dan saya juri tunggal.

Sebuah tulisan sangat memesona saya, sehingga tulisan itu saya anggap layak sebagai juara satu. Mahasiwa pemenang lomba tulis itu adalah penulis buku  ini.

Selamat untuk adinda Wahyuddin Kessa untuk bukunya yang kedua ini.

Related posts