PELAKITA.ID – TIBA-TIBA saya ingat seorang kawan. Ia biasa dipanggil “Pak Dewan”. Seorang anggota DPR-RI yang bertugas di komisi III. Yang membidangi hukum, PPATK dan HAM.
Gara-gara sebelumnya Ketua Komisi III Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul mengungkap fakta, tak sedikit anggota komisi III yang selama ini dikenal “vocal” dan “kuat” tak lolos ke parlemen saat Pileg 2024.
Nama kawan itu: Supriansa.
Dia seorang anak petani dari pelosok desa di kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Aktivis saat mahasiswa dan NGO saat sarjana hukum.
Di Makassar. Belum lama ini ia menuntaskan studi S-3 di FH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dan resmi menyandang gelar doktor.
Saya sempat hadir diacara sidang terbuka promosinya. Banyak undangan yang hadir. Dan jadi saksi di akhir acara itu terjadi “banjir air mata”. Terharu dan sedih mendengar cerita perjuangannya sampai ke titik itu.
Mula-mula Pacul mengatakan bahwa perjuangan anggota dan pimpinan Komisi III untuk kembali lolos ke parlemen amat berat.
“Jujur berat, Pak. Dan izin, anggota komisi tiga yang jumlahnya 54 itu, 21 gagal bertempur Pak. Tumbang, Pak,” kata Pacul di tengah-tengah rapat pandangan terkait RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), di Gedung DPR, Selasa (11/6/2024).
Selain Supriansa yang masuk dalam daftar 21 nama yang diungkapkan Pacul, sejumlah politisi vokal lainnya terancam tidak lolos pada periode 2024-2029 di antaranya Masinton Pasaribu, Trimedya Panjaitan, Arteria Dahlan, Johan Budi, Taufik Basari, bahkan Lodewijk F Paulus yang notabene Wakil Ketua DPR-RI.
Trimedya disebut Pacul sampai menangis karena tidak lolos parlemen.
“Itu Pak Trimedya itu sampai nangis-nangis, Pak. Tumbang. Kalau tumbang itu kayak raksasa. Pak Trimedya raksasa, Pak. Tumbang berdengung,” ujar Pacul.
“Seluruh Senayan membicarakan, anggota kita di Senayan, siapa yang tumbang, semua dimasukkan catatan,” sambungnya, seperti dikutip Kompas.com.
Di kepengurusan DPP Partai Golkar Supriansa tercatat sebagai Ketua Badan Advokasi Hukum dan HAM (2020–2024) dan menjadi Hakim Mahkamah Partai Golkar.
Dalam daftar calon kemarin Supriansa menempati nomor urut lima. Di dapil Sulawesi Selatan-2 Supriansa mendapat suara yang cukup signifikan.
Diprediksi bakal terpilih kembali untuk kedua kali ke Senayan. Namun takdir berkata lain.
Ia pasrah dan iklhas. Tidak sampai nangis-nangis seperti Trimedya yang diceritakan Pacul.
Sebenarnya bagi Supriansa saya lebih suka mengunakan istilah belum beruntung. Karena semua sudah ia lakukan dalam Pileg yang lalu.
Turun ke bawah, membangun jejaring, menyapa warga, dan relawannya pun aktif dan responsif membantu masyarakat yang kesulitan atau terkena musibah. Hanya satu tak dilakukan: serangan fajar.
Menurut beberapa warga dan timsesnya, waktu kampanye Supriansa tidak sulit memperkenalkan diri.
Ia sudah pernah jadi Wakil Bupati di kampungnya. Dan selama duduk di DPR, wajahnya sering nongol di layar kaca memperjuangkan aspirasi masyarakat, terutama di dapilnya.
Orang dan banyak warga yang simpati pada Supriansa.
Ia sudah membuktikan diri bukan tipe orang yang gila jabatan. Apalagi sampai harus membeli suara.
Meskipun peluang itu ada dan banyak sponsor yang bersedia membantunya ‘”mengguyur” lembaran rupiah.
“Serangan fajar dan sebangsanya itu sama dengan merendahkan harkat diri warga,” katanya.
Himbauan moral itu dipatuhi timsesnya. Ternyata banyak juga rakyat yang tidak tergiur serangan fajar.
Dan Supriansa lebih memilih tak terpilih dibanding harus melakukan praktek “money poltic” itu kepada masyarakat.
“Karena membeli suara masyarakat adalah wujud merusak demokrasi bangsa,” tegasnya. *
Editor: Denun