PELAKITA.ID – Kawasan Fort Rotterdam di Kota Makassar di antara tahun 1883 hingga 1889 dalam litograf Josias Cornelis Rappard dikesankan sebagai tatanan teratur.
Pemandangan pelabuhan Makassar, antara 1899 hingga 1900 dari Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures disebut ruas sejarah maritim yang terus berdenyut.
Di abad 17, kala Bandar Melaka dikuasai Portugis. Bandar Aceh, Banten dan sejumlah titik di timur Jawa dikuasai VOC Belanda sejumlah pedagang seperti asal Inggris, China, Denmark hingga Timur Tengah mencari pelabuhan yang jauh dari kendali VOC, dan itu Makassar.
Meilink-Roeloefz menulisnya dalam buku Asian Trade and European Influence (1962). “Satu-satunya wilayah yang memenuhi kriteria tersebut adalah sebuah bandar di wilayah Kesultanan Gowa.” Sultan Alauddin, penguasa pertama Gowalah yang membuka pintu pelabuhan selebar-lebarnya.
J.C. van Leur dalam buku Indonesia Trade and Society menulis, para pedagang lokal mengganti peran Melayu dan Jawa. Ekonomi membaik, orang kaya baru bertambah, pendidikan tumbuh, ada mekanisme dagang yang efisien dan praktis di Gowa kala itu (kini Makassar).
Pada masterpiece Suma Oriental Tomé Pires pada abad ke-16, ditulilskan, para pedagang dari jazirah selatan Sulawesi sebagai ‘memahami dan mengusai’ setiap jengkal lautan dunia. Mereka ada di Madagaskar, Papua, Filipina, Siam (sekarang Thailand) sampai pesisir utara Australia.
Serbuan Jon Speelman yang dibantu Arung Palakka kala itu menjadikan Gowa-Tallo takluk. Bandar dan atase perdagangan bertekuk lutut pada hasrat kuasa VOC Belanda. Penaklukan itu didasari ketidaksukaan VOC atas supremasi maritim Gowa-Tallo sebagai hub perdagangan dunia.
Sumber pangan
Rempah-rempah dari Maluku dan Papua, hasil bumi dari Buton dan pesisir timur Sulawesi sebagian besar transit di kawasan ini sebelum dibawa ke Tanah Jawa lalu diteruskan ke Temasek, berpendar ke seluruh penjuru global.
Beras asal Sulawesi bagian selatan dipasarkan dari Makassar. Dilayarkan ke Kalimantan, Sumatera, pulau Jawa hingga Singapura. Berikut jagung, kakao, kopi, merica hingga komoditi perikanan seperti udang, rumput laut, hingga ikan tenggiri dan tuna.
Saat menaiki KM Dharma Kencana VII dari Makassar tujuan Surabaya, penulis bertemu sejumlah sopir truk asal Sulawesi Tenggara yang mengaku membawa berton-ton kakao dari Kolaka dan Konawe.
Mereka meliuk dengan truk doyong naik ke fery Kolaka – Bajoe, lalu melintas Pantai Timur masuk Camba Maros dan tiba di Makassar menunggu kapal tujuan Pulau Jawa. Jalur dan moda seperti ini lebih efisien.
Di Makassar, sejumlah operator perdagangan hadir dan menjadi penyedia.
Realitas dan keuntungan posisional seperti itu sungguh penting di tengah anggapan bahwa pangan adalah arena ‘battle of the nations’ untuk unggul, dominan, dan menguasai jalur dan sumber pasokannya. Pangan, pilar kekuatan negara, sama pentingnya energi. Menguasai pangan dan energi berarti menguasai masa depan dunia.
Pada konteks regional, ada kompetisi domestik. Kota-kota menawarkan diri sebagai hub ekonomi atau pangan, Jakarta dan Surabaya adalah kompetitor yang mesti jadi atensi jika ingin menjadikan Makassar sebagai Global Food Hub yang efekti dan efisien, basis peradaban kota.
Perlu mengantisipasi dengan solusi strategis dengan adanya Ibu Kota Negara baru di Kalimantan, sejumlah titik bersaing: Palu, Mamuju, Gorontalo hingga Menado. Bayangkan konsekuensinya ke Makassar jika Terusan Khatulistiwa di sekitar Teluk Tomini tembus ke Selat Makassar, terbuka ke IKN?
Tak hanya itu, kompetisi kepentingan kabupaten-kota seperti Parepare, Palopo, Bulukumba yang juga menjajakan diri sebagai hub tentu harus menjadi atensi.
Menuju Global Food Hub
Lalu apa yang bisa dilakukan? Tagline menjadi Makassar sebagai Global Food Hub harus terus digaungkan.
Ada banyak pilihan strategi. Pertama, dari sisi kebijakan yang akomodatif dan responsif perubahan. Perlu memikirkan adanya kebijakan pengarusutamaan kota sebagai hub pangan dunia itu.
Bagaimana konkretnya?Inisiasi sebuah dokumen perencanaan berorientasi Makassar sebagai Global Food Hub melengkapi Makassar sebagai Smart City. Konsepsi ini harus menjadi citra kota, citra diri warga. Dengan demikian, penjabaran program, pengalokasian anggaran dan sumber daya relevan dialokasikan ke sana.
Diperlukan pemimpin yang paham hakikat perencanaan kota, kolaboratif. Pemimpin yang mampu mengendalikan perencanaan serta sigap pengalokasian sumber daya relevan dan akuntabel agar Makassar bisa terus berbenah sebagai kota jasa, kota industri, kota komoditi.
Ingat, Makassar, ibu kota provinsi, tanpa Gubernur yang seia-sekata wali kota maka, gagasan Global Food Hub akan terantuk laksana truk penuh muatan, melata lambat di jalan berlubang. Susah sampainya.
Pengalaman menunjukkan ketidakefektifan agenda pembangunan kawasan karena tidak bertemunya dua aras itu.
Kedua, ikut andil dalam pengembangan sarana prasarana pendukung produksi yang bisa menjadi daya tarik masuknya pasokan komoditi. Jalan raya yang luas, lebar, bebas dari macet.
Pengembangan fungsi layanan pelabuhan laut seperti Makassar New Port, hingga pengelolaan transportasi massal seperti kereta api dan jalur logistik aman dan nyaman.
Ketiga, pengembangan sumber daya manusia yang match pasar. SDM. Berkapasitas pada perdagangan global, produktif dalam investasi komoditi hingga melek internet of things, Artificial Intelligence dan semacamnya.
Harus ada pembenahan fasilitas atau sarana publik dan akomodasi. Misalnya, jangan sampai ada buyers atau investors hendak online dari hotel tetapi hotelnya bilang tidak ada koneksi internet. Buat aturan bahwa hotel harus punya internet gratis.
Keempat, memaksimalkan produksi sumber daya alam dan buatan. Mulai dari pertanian hingga perikanan. Pengungkitan produksi komoditi harus dilakukan.
Sebagai contoh, data Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPMHP) ekspor komoditas perikanan Jatim ke mancanegara 2022 tertinggi secara nasional. Mencapai 381 ribu ton dengan nilai 2.602.492. 056 USD. Disusul DKI Jakarta dengan total 303 ribu ton, lalu Sulsel 191 ribu ton.
Jelas bahwa usaha perikanan Sulsel tak sepenuhnya membaik per satu dekade terakhir dan ini perlu perbaikan agar pasokan semakin meningkat, itu artinya perlu intervesi strategis.
Kelima, membangun infrastruktur teknologi komunikasi. Inilah ciri kota hub multi layanan dunia.
Big data sudah menjadi agenda bersama, hanya saja perlu diperluas pada promosi komoditi, pada yang paham seluk beluk bisnis, mengerti bagaimana menggaet investor. Inovasi dari pelaku ekonomi kreatif sangat dibutuhkan dan mesti menjadi agenda bersama.
Akhirnya, Makassar sebagai Global Food Hub hanya bisa terwujud dalam pemaknaan ‘sebagai episentrum perdagangan’ jika kapasitasnya di atas kota-kota lain di Indonesia dan mesti didukung policy tak biasa, SDM kompeten, sistem yang modern, Internet of Things yang integratif, dan stakeholder yang kreatif dan inovatif.
Semua itu harus ditopang pengetahuan, skill dan attitude progresif, dari kita semua, termasuk organisasi-organisasi keilmuan, alumni dan asosiasi usaha ekonomi kreatif.
Penulis: Kamaruddin Azis, Ketua Bidang Ekonomi Kreatif Selat Makassar, pada IKA Unhas Wilayah Sulawesi Selatan