Guru Besar Unhas Tawarkan Resolusi Konflik di Ruang Laut, dari Dialog hingga Penyelesaian KKPRL  

  • Whatsapp
Prof Dr Ir Abdul Rasyid Jalil, M.Si, Guru Besar Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan FIKP Unhas (dok: Istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Guru Besar Oseanografi Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Prof Abdul Rasyid Jalil, menilai ada sejumlah pemicu mengapa konflik laten di sejumlah wilayah pesisir dan laut di Indonesia.

“Pertama karena ada persaingan dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, kedua karena faktor kepentingan yang saling bertentangan, ketiga karena ketidaksetaraan akses dan kekuatan, kemudian perbedaan budaya dan nilai serta kurangnya koordinasi dan komunikasi,” sebutnya.

Dia menyampaikan itu di depan peserta Diskusi Online ‘Dinamika Pengelolaan Ruang Laut yang Berkeadilan Sosial Dan Legal’ yang digelar oleh Pelakita Podcast kerjasama COMMIT Foundation, Senin, 1 April 2024.

Read More

Diskusi Online diikuti perwakilan komunitas di Selayar, unit kerja di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Perikanan Selayar, aktivis penyelam, LSM, akademisi Unhas, dan pemerhati Kelautan dan Perikanan.

Abdul Rasyid menyebut bukan hanya kasus pertentangan kepentingan seperti di Pantai Timur Selayar yang mengemuka namun ada juga kasus serupa seperti antara usaha perikanan warga dan berdirinya pelabuhan pabrik semen seperti di Biringkassi Pangkep dan Oba Maluku Utara.

Pria yang akrab disapa Bang Cido itu menyampaikan sejumlah pendekatan agar konflik bisa ditangani dengan baik.

“Bagiamana menyelesiakan konflik yang ada?  Harus dibangun dialog dan negosiasi, gelar mediasi oleh pihak ketiga yang netral lalu pastikan partisipasi semua unsur harus ada,” ucapnya.

Dia juga mengatakan selain itu, perlu pendekatan berbasis ilmiah.

“Akademisi dalam menyelesaikan konflik harus diikutkan, karena mereka punya data, punya data untuk proses perizinan, biotanya apakah cocok daerah pariwisata atau bagaimana,” tambahnya.

“Tak hanya itu, perlu kemitraan dan kerjasama serta pendikan dan kesadaran untuk pemangku kepentingan,” katanya.

Terkait dinamika di Pantai Timur Selayar dia menyebut harus dilihat kesesuaian ruang.

“Apakah zona itu untuk peruntukan pariwisata, maka sebaiknya pengusaha mengurus izin pengelolaan ruang laut atau PRL, tidak sulit, biaya 18,6 juta per hektar dan sekali bayar,” ungkapnya.

“Jadi tidak bisa kita lepas dari izin dasar pemanfaatan ruang atau KPPRL,” imbuhnya.

Dia menyebut sejauh ini sesuai pengalamannya, belum ada konflik yang berkaitan dengan usaha pariwsata yang ada antara perusahaan semen dengan nelayan pemancing tetapi itu pun bisa dimediasi.

“Kalau patrwiisata, belum ada, tetapi lebih pada pelabuhan, contoh di Oba Halmahera, area pelabuhan itu adalah daerah zona pemanfaatan penangkapan ikan, tetapi pelabuhan Semen Indonesia sudah eksisting di situ,” kata dia.

“Kalau dia zona penangkapan, bisa dengan syarakat tertentu, ada kebijakan yang mereka ambil dengan memberi ruang kepada masyarakat yang ada disekitar Terminal Khusus,” lanjutnya.

“Tetap ada ruang untuk masyarakat tetapi terkontrol jadi mereka tahu, demi menjaga keselamatan kerja baik oleh perusahaan maupun nelayan,” tambahnya Prof Cido.

“Kalau yang pernah kami dapatkan kasus di Oba, pelabuhan sudah ada di sana, ada zona penangkapan namun relatif masih memungkinkan kegiatan lainnnya,” ujarnya.

Peserta diskusi online

“Jadi demi menghindari konflik dengan masyarakat dan pemilik pelabuhan maka dibolehkan memancing pada jam-jam tertentu di sekitar pelabuhan,” ucapnya.

“Yang kedua, dana CSR disapkan untuk diberikan ke nelayan di sana, jadi secara perlahan jika selama ini menggunakan area itu sebagai fishing ground mulai mengganti mata pencaharian menjadi kegiatan lain,” jelasnya.

Tentang KKPRL

Pada Diskusi yang diikuti Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut BPSP – DJPRL KKPL Makassar, Permana Yudiarso dan Kepala Satker Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP, Kurniwan Ishak itu, Prof Cido juga menjelaskan apa itu KKPRL.

KKPRL yaitu Dokumen Kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut dengan Rencana Tata Ruang dan/atau Rencana Zonasi yang harus disiapkan oleh pengusaha di pesisir dan ruang laut.

“KKPRL merupakan persyaratan dasar yang wajib dimiliki oleh pelaku kegiatan secara menetap paling singkat 30 (tiga puluh) hari di perairan pesisir, wilayah perairan, dan wilayah yurisdiksi untuk kegiatan berusaha maupun non berusaha,” paparnya.

Dijelaskan, dasar hukumnya adalah UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41) hingga Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 31).

Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2023, KKPRL wajib dimiliki  sesuai Pasal 18 angka 12 bahwa Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari perairan pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib  memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut dari pemerintah pusat.

Peserta Diskusi Online

Pada Pasal 18 angka 21, orang perseorangan WNI atau korporasi yang didirikan hukum Indonesia dan korporasi yang dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan pemanfaatan laut Wajib memenuhi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut dan perizinan berusaha dari pemerintah pusat

Pasal 19 angka 6, setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang laut secara menetap di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi wajib memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut

Sebelum mengurus Persetujuan Lingkungan dan Perizinan berusaha diperlukan KKPRL sebagai persyaratan dasar sesuai amanat Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang- Undang.

Jenis-jenis kegiatan pemanfaatan ruang laut menetap yang wajib    KKPRL Berdasarkan UU Nomor 6 tahun 2023 Pasal 47 A Ayat (2) dalam Pasal 1G angka 7.

Pengangkatan Benda Muatan Kapal Tenggelam, Telekomunikasi, Instalasi Ketenagalistrikan, Perikanan, Perhubungan, Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi, Kegiatan Usaha Pertambangan

Mineral dan Batu Bara, Pengumpulan Data dan Penelitian.

Lalu usaha Biofarmakologi Laut, Bioteknologi Laut, Wisata Bahari, Pertahanan dan Keamanan. Penyediaan Sumberdaya Air, Pulau Buatan, Dumping, Mitigasi Bencana, Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut Lainnya.

Tarif PNBP berdasarkan PP 85/2021. Pemanfaatan Ruang untuk Per Ha Kegiatan yang Menetap di Laut Rp 18.680.000,00 per Ha. Pemanfaatan Ruang untuk Per izin Kabel Bawah Laut Tarif dasar: Rp 128.595.000,00 + Rp 227.800,00 per km (di luar Kawasan konservasi) + Rp 7.500.000,00 per km jika di dalam Kawasan Konservasi.

Pemanfaatan Ruang untuk Per izin Pipa Bawah Laut (Pipa Air bersih / Air Baku) Tarif dasar Rp 148.595.000,00 + Rp 2.500.000,00 per km (di luar kawasan konservasi) + Rp 7.500.000,00 per km jika dalam Kawasan Konservasi.

Redaksi

Related posts