PELAKITA.ID – Hingga September 2023, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat ekspor produk perikanan Indonesia mencapai USD$ 4,1 miliar atau setara dengan Rp 64,3 trilliun. Jumlah ini melebihi target yang ditetapkan sebesar 53 persen.
Adapun ekspor tuna-cakalang-tongkol mencapai 282 juta dollar sementara untuk produk cumi-sotong-gurita mencapai 195 juta USD. Untuk tahun 2023, PNBP perikanan ditarget mencapai Rp 3,2 miliar atau kenaikan sebesar 92,9% dari tahun 2022.
“Di balik performa industri perikanan tangkap Indonesia, terdapat darah dan keringat awak kapal perikanan (AKP) dan pekerja pengolahan perikanan yang dipaksa untuk terus mengeruk hasil laut Indonesia”, ujar Miftachul, Human Rights Manager DFW.
Dalam kurun waktu 2020-2023 National Fisher Centre mencatat terdapat 123 aduan pelanggaran hak-hak tenaga kerja yang terjadi diatas kapal. Tidak jarang aduan tersebut dapat dikategorikan sebagai kerja paksa hingga perdagangan orang.
Dari jumlah aduan tersebut, NFC mencatat terdapat 325 korban. Jumlah ini terdiri 54,92% AKP domestik dan 45,08% AKP migran. Angka tersebut tentunya hanya segelintir dari ratusan kasus yang dialami oleh AKP setiap tahunnya.
Berdasarkan jumlah aduan tersebut 47,1% aduan ditujukan kepada agen penyalur tenaga kerja atau calo, diikuti dengan perusahaan pemilik kapal sebesar 28,9% dan pemilik kapal perseorangan sebesar 18,2%.
Adapun agen penyalur kerja dilaporkan paling banyak oleh AKP migran (50), sedangkan pemilik kapal paling banyak dilaporkan oleh AKP domestik (30).
Sebanyak 58,7% dari total kasus telah diselesaikan sedangkan 40,5% kasus sedang dalam proses rujukan. Adapun wilayah paling banyak menerima aduan adalah Sulawesi Utara (49), Jawa Tengah (30), dan Jawa Barat (12).
Laut Aru, Arafura, dan Timor yang merupakan bagian dari WPP 718 merupakan wilayah dengan total pengaduan terbanyak. Berdasarkan estimasi potensi sumber daya perikanan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WPP 718 memiliki sumber perikanan pelagis besar, pelagis kecil dan demersal di Indonesia. Data yang dihimpun oleh DJPT KKP menunjukan terdapat 940 kapal yang mengantongi SIUP/SIKPI di WPP 718.
Mayoritas korban (35,7%) melaporkan kasus pemotongan gaji tanpa transparansi dari pemilik kapal atau kapten. Pemotongan gaji terjadi akibat perekrutan AKP didominasi oleh calo yang memberikan hutang kepada calon AKP dan mensyaratkan pembayaran melalui pemotongan gaji.
Celakanya, calo tidak memberikan kejelasan dan transparansi atas uang yang dihutangi AKP. Tidak jarang, AKP pulang tanpa menerima gaji sepeserpun akibat harus membayar hutang.
Penyebab selanjutnya pemotongan gaji tanpa transparansi adalah pemilik kapal yang membebani kebutuhan sehari-hari kapal kepada kapten. Kapten, yang juga memiliki keterbatasan finansial, kemudian memperjualbelikan barang-barang seperti makan, alat mandi, hingga rokok. Padahal, seharusnya AKP tidak perlu mengeluarkan uang untuk kehidupan mereka sehari-hari diatas kapal.
Pemotongan gaji juga terjadi akibat Peraturan Menteri KKP No. 33 tahun 2021 memperbolehkan pemilik kapal untuk memilih menggaji AKP secara bulanan atau bagi hasil. Demi memperkecil modal, seringkali pemilik kapal memilih skema bagi hasil yang sangat bergantung pada hasil tangkapan tiap kali berlayar.
Permasalahan terbesar kedua yang diterima oleh NFC asuransi dan jaminan sosial sebanyak 19,8% dari total kasus. Disaat kerja-kerja diatas penuh dengan resiko, pemilik kapal melalaikan kewajiban untuk membekali AKP dengan asuransi sebagaimana yang tertuang pada Permen KP 33 tahun 2021.
Kondisi diperparah dengan kapal yang tidak dilengkapi oleh pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dan AKP yang tidak diberikan pelatihan keselamatan. Akibatnya, ketika AKP mengalami kecelakaan kerja hingga menyebabkan kelumpuhan, mereka harus membayar pengobatan mereka sendiri. Padahal, kecelakaan terjadi karena kelalaian kapten dan pemilik kapal.
Kasus ketiga yang sering terjadi adalah manipulasi yang dilakukan oleh penipuan (9,6%). Akibat absennya pemerintah dalam perekrutan dan penempatan AKP, calo mengisi kekosongan tersebut dan mengambil untung dari AKP.
Melalui iklan-iklan di Facebook, calo menjanjikan gaji besar, hutang, dan fasilitas sebelum keberangkatan. Calo juga menjanjikan akan membuat Perjanjian Kerja Laut (PKL) dan memberikan pelatihan Basic Safety Training (BST). Namun, calon AKP justru harus membayar pengurusan dua dokumen tersebut.
Selain ketiga kasus diatas, AKP juga mengalami kekerasan fisik dan seksual (4,1%), permasalahan kontrak kerja (2,5%) dan penyalahgunaan kerentanan (2,5%).
Kerentanan Awak Kapal Perikanan
Bagi pelaku usaha, AKP yang rentan akan menguntungkan karena mudah dikendalikan dan akan melakukan apa saja tanpa ada protes.
Secara ekonomi, AKP berlatarbelakang pengangguran dan pekerja serabutan sehingga menganggap bekerja di laut adalah cara terakhir untuk mendapat penghasilan. Akibat kerentanan ekonomi juga AKP akan menerima jeratan hutang dari calo atau pemilik kapal.
Dokumen kewarganegaraan AKP juga seringkali disita oleh calo atau pemilik kapal sebagai jaminan untuk pembayaran hutang. Akibatnya, AKP memiliki kesulitan ketika melakukan pelaporan atau berkunjung ke fasilitas publik seperti rumah sakit.
Akibat rekrutmen secara informal dan tidak membutuhkan pengalaman dan kemampuan bekerja di kapal, AKP memiliki keterbatasan dalam meningkatkan daya tawar berdasarkan kompetensi.
Selain itu, saat ini juga belum ada serikat pekerja perikanan yang mampu mengorganisasi pekerja dan meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha atau pemerintah.
Pemerintah juga turut andil dalam kondisi saat ini. Meskipun sudah ada Sertifikat HAM Perikanan melalui Permen KP No. 35 tahun 2015, belum ada implementasi dan insentif untuk mendorong pelaku usaha memiliki sertifikasi HAM.
Selain itu, pengawasan dan inspeksi untuk memastikan PKL dan e-logbook juga belum dilakukan oleh pemerintah sehingga masih banyak kapal berlayar meskipun AKP belum memiliki PKL.
Penutup dan Rekomendasi
Industri perikanan tangkap Indonesia dibangun atas kerja paksa yang harus dilakukan oleh awak kapal perikanan. Demi meraup keuntungan sebesar-besarnya, pemilik kepala tidak segan untuk menekan gaji, memberikan ruang kapal yang layak serta suplai yang cukup tanpa harus membayar, dan tidak tersedianya jaminan Kesehatan.
Dalam kata lain, eksploitasi AKP adalah salah satu strategi yang dihalalkan oleh pelaku usaha demi mendapat keuntungan yang banyak dan modal yang sedikit. Pemerintah turut hadir dalam eksploitasi ini melalui pembiaran dan memberikan izin terhadap kapal-kapal yang tersandung kerja paksa.
Seiring dengan keterbukaan pasar perikanan Indonesia, eksploitasi terhadap AKP dipastikan akan terus berlanjut bahkan dapat mengalami peningkatan. Untuk itu, DFW merekomendasikan langkah-langkah berikut yang dapat dilakukan oleh pembeli, pemerintah dan pelaku usaha:
Pertama, mendorong Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Tenaga Kerja untuk segera merumuskan panduan tata kelola termasuk sistim pengawasan Awak Kapal Perikanan dan Pekerja di Unit Pengolahan Ikan sehingga dapat memberikan jaminan perlindungan kerja yang holistik bagi pekerja perikanan Indonesia.
Kedua, perbaikan regulasi tata kelola AKP yaitu melalui revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 33 tahun 2021 dengan membuat ketentuan tentang sistem rekruitmen yang adil, sistem pengawasan AKP dan kepastian status AKP sebagai pekerja dengan hak-hak normatif.
Ketiga, mendorong pemerintah untuk melakukan inspeksi dan pemeriksaan kondisi kerja diatas kapal, dan kelengkapan sertifikasi dan kompetensi. Pemeriksaan tersebut meliputi aspek aspek K3, keikutsertaan jaminan sosial bagi pekerja perikanan, BST, Buku Pelaut dan Perjanjian Kerja Laut bagi setiap awal kapal perikanan.
Keempat, mempertimbangkan sistem pengupahan berbasis upah minimum provinsi di industri perikanan dan mendorong pelaku usaha untuk transparan dalam menetapkan upah AKP
Kellima, memperkuat peran peran pemerintah provinsi dalam melakukan pengawasan kondisi kerja awak kapal perikanan dan kondisi kerja di Unit Pengolahan Ikan pada sentra-sentra perikanan
Keenam, mendorong pembentukan, konsolidasi dan penguatan Serikat Pekerja Perikanan dalam skala nasional sebagai sarana perjuangan pekerja perikanan dalam melakukan perundingan dengan pemerintah dan pelaku usaha perikanan.
Narahubung, Miftachul (085831781183)