Harga kakao melonjak. Jika anda punya 100 kilogram kering, percayalah uang hingga 6 juta rupiah bisa mendarat di rumah, keluarga petani bisa menyunging senyum.
PELAKITA.ID – Kementerian Perdagangan merilis harga referensi biji kakao periode Oktober 2023 ditetapkan sebesar US$ 3.622,88 per metrik ton atau meningkat sebesar US$ 183,16 atau 5,32 persen dari bulan sebelumnya.
Hal itu berdampak pada peningkatan Harga Patokan Ekspor (HPE) biji kakao pada Oktober 2023 menjadi US$ 3.307 per metrik ton, naik US$ 178 atau 5,7 persen dari periode sebelumnya.
Demikian penjelasan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso melalui keterangan tertulis di Jakarta pada beberapa waktu lalu.
Budi mengatakan, peningkatan harga ini berdampak pada bea keluar (BK) biji kakao, yaitu menjadi sebesar 15 persen sesuai Kolom 4 Lampiran Huruf B pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK/0.10/2022 jo. Nomor 71 Tahun 2023.
Peningkatan Harga Referensi dan HPE biji kakao dipengaruhi adanya penurunan produksi biji kakao di wilayah Afrika, sebagai sentra produsen kakao dunia.
Penyebabnya, kekeringan sebagai dampak dari El Nino dan penyakit busuk buah serta melemahnya nilai tukar dolar AS dan poundsterling Inggris.
Harga kakao di daerah
Harga kakao di Sumatera Utara hingga Aceh dalam dua tahun terakhir masih ada di kisaran 30 ribuan.
Lalu seperti apa harga kakao di daerah produsen kakao di Sulawesi Selatan atau Sulawesi secara umum? Nyaris sama.
Hingga pertengahan tahun ini, harga kakao terendah ada di angkat 30 ribu per kilo, maka menuju pengujung tahun, harganya kini menindikasikan naik dua kali lipat seperti trend yang digambarkan di bagian awal tulisan ini.
“Di Palu, harga kakao per kilo kering sudah sampai 60 ribu,” kata Suharman, praktisi kakao yang bermukim di Palu.
Di Kolaka, Agus S. Husein, praktisi kakao yang pernah setim dengan Suharman mengaku masih berkisar 50 ribu per kilo.
“Saya dapat info dari petani kakao masih ada yang jual 47 ribu per kilo,” ungkapnya.
“Di Palopo, Minggu lalu masih di harga 52 ribu per kilo,” tambah Baso Andi Parana, yang berdomisili di Kota Palopo.
Dari Sorowako atau sekitar Malili, harga kakao malah masih di bawah 30 ribu seperti dilaporkan oleh Alwy, fasilitator program pemberdayaan masyarakat. Ini perlu dicek kualitas atau kondisi bijinya.
Meski demikian, dari informasi di atas jelas sekali bahwa harga yang selama ini merangkak di angka 30-an ribu mulai menanjak.
Hal itu, seperti penjelasan di atas bahwa ada dampak dari kekeringan, ada dampak dari berkurangnya produksi kakao di Afrika seperti di Kamerun, Pantai Gading hingga Ghana.
Tentu ini menjadi peluang baik bagi sejumlah petani kakao atau pengusaha kakao yang masih punya lahan, produktif atau masih menyimpan stok kakao.
Apakah ada upaya memanfaatkan momentum membaiknya harga ini di tengah potensi lahan, pengalaman petani dan tradisi perkakaoan di dalam negeri?
Apakah masih ada peluang untuk memaksimalkan momentum ini di tengah situasi ekonomi nasional yang mulai goyah karena dampak perang atau ketidakpastian sosial politik dunia.
Yang jelas, suasana di Luwu Utara seperti yang dikhawatirkan Ridwan Andi Baso, praktisi kakao lainnya bahwa sangat sulit untuk mengajak petani kembali berkakao.
Bisa jadi karena memang pemerintah belum maksimal memperkuat daya tahan petani kakao di tengah serangan hama dan kualitas kakao yang buruk.
“Kemarin harga biji kering 57.000 perkilo, kalau dijemur 2 hari dijual 37.000,” jelas Agus Husein.
Untuk kakao basah harga yang dikenakan adalah Rp. 21 ribu per kilo.
Menjual basah saat ini menjadi trend, karena petani ingin cepat dapat uang cash. Apalagi kalau ada gejala kerusakan buah kakao di pohon.
Hasrun Hafid, praktisi kakao lainnya yang berpengalaman di rantai bisnis kakao menyebut, saat ini produksi kakao petani di Sulawesi bahkan Indonesia sangat rendah.
“Sangat rendah, rearata hanya 350 kg per ha per tahun. Harusnya bisa ditingkatkan lagi dengan pendekatan yang terukur dan efektif,” kata dia.
“Idealnya, 700-1000 kilogram per hektar angka yang moderat untuk perkebunan rakyat,” kata Hasrun yang juga pernah berkecimpung di proyek Success Alliance ACDI VOCA yang mendorong pengorganisasian petani kakao di Sulawesi.
Sementara itu, sesuai wawancara dengan Pelakita.ID, Kamil A. Kuna, praktisi kakao di Belopa Luwu, Sulsel, menyebut ada sejumlah penyebab berpengaruh terhadap harga kakao di Indonesia.
Beberapa di antaranya kemampuan produktivitas lahan, usai pohon dan kualitas tanah.
Menurutnya, dari sisi tanaman kakao kita di Sulawesi Selatan, sebagian besar kurang lebih 30 sampai 50 persen sudah termasuk kategori tanaman tua, rusak, dan tidak produktif.
Lalu faktor hama tanaman Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) atau hama, kemudian tata kelola budidaya.
“Penanganan pascapanen belum optimal, dan keterbatasan sumber daya manusia serta rantai pemasaran yang panjang,” tambah Kamil.
Sehingga, kata Kamil, sejumlah upaya perlu dilakukan untuk memanfaatkan momentum membaiknya harga kakao ini.
Perbaiki budidaya kakao, regenerasi ke bibit berkualitas, tingkatkan kapasitas petani kakao dan perpendek rantai pemasaran kakao serta perbaiki kualitas biji.
Masih Ngimpor
Indonesia berada pada peringkat ke-6 negara produsen kakao terbesar di dunia. Meski begitu, Indonesia ternyata impor biji kakao dari negara lain.
Pada 2020, hasil memproduksi kakao nasional sebanyak 713.000 ton dengan luas areal kakao 1.528 hektare (ha) dan produktivitas 706 kg per hektare.
Industri pengolahan kakao Indonesia berada di peringkat ke-3 terbesar di dunia setelah Belanda dan Pantai Gading.
Indonesia juga telah melakukan ekspor produk cokelat seperti cocoa liquor/paste, cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa powder. Adapun, ekspor cokelat Indonesia dalam bentuk biji sebesar 6,1 persen dan sisanya 93,9 persen dalam bentuk olahan.
Salah satu tujuan eskpor kakao Indonesia adalah Malaysia. Beberapa waktu lalu sebanyak 800 ton dari atau senilai Rp 22,5 miliar, hasil produksi dari PT Olam Indonesia dikirim ke Malaysia.
Selain Malaysia, ada Vietnam, Amerika Serikat, India, China, Belanda dan Australia.
Saat ini Pemerintah menetapkan empat provinsi di Sulawesi sebagai produsen utama kakao nasional. Mereka, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat.
Pada 2020, keempat provinsi tersebut masih tercatat sebagai provinsi penghasil kakao tertinggi yakni Sulawesi Tengah sebanyak 127,3 ribu ton, Sulawesi Tenggara sebanyak 114,9 ribu ton, Sulawesi Selatan sebanyak 103,5 ribu ton dan Sulawesi Barat sebanyak 71,3 ribu ton.
Badan Pusat Statistik mencatat, sepanjang Januari-Juli 2021, Indonesia mengimpor kakao sebanyak 133.123,1 ton dengan nilai US$ 340,2 juta atau setara Rp 4,8 triliun.
Realisasi impor kakao pada Januari hingga Juli 2021 tersebut naik 2,2 persen dibandingkan periode Januari-Juli 2020 yang sebanyak 130.252,7 ton.
Negara pemasok kakao ke tanah air sepanjang Januari-Juli 2021 di antaranya Pantai Gading dengan volume impor 36.508,4 ton dengan nilai US$ $ 87,9 juta.
Lalu Ekuador dengan volume sebanyak 33.222,3 ton dengan nilai US 86,6 juta. Nigeria sebanyak 15.151,6 ton dengan nilai US$ 38,8 juta.
Pada Juli 2021 , volume kakao yang diimpor oleh Indonesia sebanyak 22.431,6 ton dengan nilai US 53,9 juta. Volume tersebut melonjak 124,8% dibandingkan Juni 2020 yang hanya sebanyak 9.979,9 ton.
Nah, saat Afrika dilanda El Nino, Indonesia pun didera hal serupa, seperti apa potret petani kakao atau usaha perkakaoan di desa-desa atau di daerah anda?
Editor: K Azis