Kolom ASRIADI: Aspek Perubahan Iklim dan SLR dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

  • Whatsapp
Kolom Asriadi terkait perubahan iklim dan pengelolaan wilayah pesisir (dok: istimewa)

DPRD Makassar

Kerusakan lingkungan seperti kemunduran garis pantai, abrasi pantai, kerusakan fisik habitat peisir, konflik penggunaan ruang, overfishing dan lain sebagainya lebih sering terjadi di kawasan pesisir yang padat penduduk serta tinggi intensitas pembangunannya.

PELAKITA.ID – Isu perubahan iklim selalu hangat dan menjadi permasalahan global karena sangat berdampak bagi kehidupan dan sangat kompleks.

Perubahan iklim yang berkaitan dgn pemanasan global telah mengindikasikan naiknya suhu muka bumi secara global dari catatan pada kurun waktu standar.

Read More

Salah satu dampkanya adalah terjadinya kenaikan permukaan laut (sea level rise/SLR). IPCC (2013) menyebutkan penyebab perubahan iklim bumi secara global adalah perubahan keseimbangan bumi, variasi energi matahari mencapai bumi, perubahan reflektifitas atmosfer bumi dan permukaan, dan perubahan efek rumah kaca, yang mempengaruhi jumlah panas yang ditahan oleh atmosfer bumi.

Meski demikian, penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa aktivitas manusia menjadi penyebab dominan dari pemanasan global.

Sulawesi Selatan yang merupakan salah satu provinsi yang memilki 2 Kota Pesisir yakni Kota Makassar dan Kota Palopo dan 16 Kabupaten pesisir yang terdiri dari Kabupaten Bone, Pinrang, Barru, Pangkep, Maros, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Wajo, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur dan Kepulauan Selayar, memiliki posisi yang sangat rentan terhadap perubahan iklim.

Dampaknya sudah dirasakan seperti cuaca yang makin tidak menentu, makin ekstrim hingga kenaikan suhu.

Meskipun kenaikan suhu ini tidak terlalu tinggi namun dapat memperparah dampak perubahan iklim seperti banjir yang makin sering terjadi di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan , kemarau panjang dan angin kencang yang sangat dirasakan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Sulawesi Selatan.

Perubahan pola curah hujan akan mengarah pada terlambatnya awal musim hujan dan kecenderungan lebih cepat berakhirnya musim hujan.

Artinya musim hujan terjadi dalam waktu singkat namun memiliki intensitas curah hujan yang lebih tinggi.

Dalam kaitannya dengan perubahan iklim terhadap kenaikan level permukaan air laut, menyebabkan daerah pesisir tergenang seperti pada lahan tambak, permukiman, hingga lahan pertanian.

Hasil riset di Jakarta menyebutkan terjadinya peningkatan setinggi 0,57 cm/tahun.

Dampak naiknya permukaan air laut akan semakin parah jika adanya penurunan permukaan tanah dan perisitwa ini mungkin telah terjadi di kota Makassar.

Contoh lain selain DKI Jakarta adalah kasus kenaikan muka air laut di semarang sebesar 2,65 mm/thn mengakibatkan 2.418 ha tanah tergenang.

Bahkan International Panel on Climate Change (IPCC) telah memperkirakan bahwa tingkat rata-rata kenaikan paras muka laut global naik antara 0,18 m dan 0,59 m pada abad berikutnya (IPCC, 2007), dan IPCC (2007) juga memperkirakan pada tahun 2080 kenaikan permukaan laut mengkonversi 33% dari lahan bash pesisir dunia menjadi lautan.

Dampak SLR

Karena dampak perubahan iklim terhadap SLR sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia maupun sumberdaya yang ada maka semestinya isu ini masuk dalam dokumen perencanaan daerah seperti dalam dokumen rencana zonasi wiwlayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) Provinsi Sulawesi Selatan.

Wilayah pesisir dan laut Sulawesi Selatan terbentang sepanjang 1.979,97 km menjadi pertemuan antara daratan pantai dan laut yang tentu dipengaruhi oleh proses gelombang dan pasang surut.

Beberapa penelitian menunjukkan penyebab perubahan garis pantai di wilayah pesisir Indonesia adalah aktivitas manusia seperti pembukaan lahan, eksploitasi bahan galian di daratan pesisir, suplai muatan sedimen yang berlebihan, hingga peristiwa alami seperti erosi dan akresi karena aksi gelombang.

Wilayah pesisir merupakan ekosistem penting bagi keberlanjutan hidup, baik manusia sendiri maupun lingkungan secara keseluruhan.

Kita menyadari  sumberadaya alam di wilayah pesisir telah mengalami kerusakan hingga ke tingakt yang mengkhawatirkan.

Perubahan Iklim bisa berdampak jauh ke kehidupan pedalaman (dok: Pelakita.ID)

FAO (2007) melaporkan hasil tangkapan perikanan secara global mengalami penurunan, sebesar 47% stok mengalami eksploitasi penuh, 15-18% stok telah mengalami over eksploitasi, dan 9% stok telah terdeplesi.

Senada dengan itu, Graces et al. (2008) pun menyatakan seluruh perairan pesisir sampai 15 km dari darat telah mengalami overfishing di Asia Tenggara.

Untuk kondisi terumbu karang di kawasan Indonesia menunjukkan proporsi terdegradasi meningkat dari 10% – 50% (Hopley dan Suharsono, 2000).

Kerusakan sumberdaya pesisir akibat dampak perubahan iklim akan bertambah parah jika adanya kerusakan lingkungan baik secara alami maupun pengaruh antropogenik.

Kerusakan lingkungan seperti kemunduran garis pantai, abrasi pantai, kerusakan fisik habitat peisir, konflik penggunaan ruang, overfishing dan lain sebagainya lebih sering terjadi di kawasan pesisir yang padat penduduk serta tinggi intensitas pembangunannya.

Nampaknya kerusakan lingkungan telah berada pada fase yang bisa mengancam kesinambungan pelaksanaan pembangunan.

SLR merupakan masalah terbesar dampak perubahan iklim yang mesti diwaspadai sekaligus merupakan masalah serius yang dihadapi oleh negara-negara pantai atau negara kepulauan seperti Indonesia karena berdampak pula pada ekosistem pesisir.

IPCC (2007) melaporkan wilayah yang terkena dampak langsung dari SLR adalah daerah pemukiman padat dan dataran rendah pesisir, pulau-pulau kecil, dan delta.

Daerah tersebut merupakan wilayah-wilayah yang sangat rentan terhadap erosi pantai dan kehilangan tanah, tingginya genangan dan banjir rob serta terjadinya intrusi air laut.

Intrusi air laut juga merupakan isu penting di kota-kota besar yang padat penduduknya seperti Kota Makassar.

Karakterristik pantai di Sulawesi Selatan yang paling rentan terhadap SLR adalah pantai dengan energi gelombang rendah, karena pantai-pantai ini memiliki topografi yang landai sehingga jika terjadi SLR akan memperluas daerah banjir pada saat pasang besar atau saat terjadi cuaca buruk.

Jika cuaca buruk terjadi pada saat pasang tertinggi maka gelombang panjang akan masuk jauh ke daratan sehingga terjadi banjir rob.

Perikanan budidaya merupakan salah satu sektor unggulan dari Provinsi Sulawesi Selatan dengan potensi seluas 120.738 hektar budidaya tambak. Perikanan budidaya tambak ini berlokasi di dataran rendah dan sering kita jumpai terendam air bahkan hilang terabrasi karena perubahan iklim.

Kita sering mendengar tambak yang hilang, pantai yang terkikis hingga garis pantai yang makin masuk ke darat  di daerah Bone, Wajo, Siwa, Pinrang, Polewali hingga Selayar.

Karena itu perlu didorong kejian prediksi SLR dan dampak ekonominya pada sumberdaya pesisir di Sulawesi Selatan termasuk juga cara memitigasi dampaknya.

Watson et al. (2015) membandingkan laporan IPCC (2013) dengan kenaikan permukaa laut 3,2 mm per tahun menggunakan satelit altimetry (garis biru) dari pengukuran langsung dengan kenaikan muka laut menggunakan data pergerakan tanah (garis merah).

NOAA (2015) menggambarkan suhu permukaan laut meningkat selama abad ke 20 terus meningkat, dimana peningkatan suhu permukaan laut 1880-2014 rata-rata 0,13°F per decade.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perubahan jangka pendek dan jangka panjang SLR adalah pang surut untuk jangka pendek sementara paa jangka panjang dipengaruhi oleh peningkatan suhu dan adanya penambahan massa air yang berasal dari daratan (air tanah, sungai, danau) dan dari laut (glasier, tutupan es dikutub bongkahan es d lautan)

Indeks Kerentanan Wilayah Pesisir

Kenaikan muka laut akan menggenangi sebagian wilayah pesisir sehingga terjadi perubahan garis pantai, abrasi pantai, kerusakan sumberdaya hayati, meluasnya instrusi air laut, berkurangnaya lahan produktif seperti tambak, hingga targanggunya atau rusaknya infrastruktur pembangunan.

Kerentanan wilayah pesisir merupakan kondisi yang akan meningkatkan proses keruskan di wilayah pesisir seperti abrasi, sedimentasi hingga tenggelamnya wilayah pesisir.

Kerentanan wilayah pesisir merupakan kondisi yang akan meningkatkan proses keruskan di wilayah pesisir seperti yang diurai di atas.

Variabel geologi (geomorfologi, elevasi/ketinggian permukaan di wilayah pantai dan perubahan garis pantai) dan variabel proses fisik di laut (kenaikan mula laut relatif, rata-rata tunggang pasang surut dan tinggi gelombang signifikan) merupakan parameter yang berpegaruh terhadap peruahan wilayah pesisir.

Strategi adaptasi terhadap perubahan iklim

Dampak perubahan iklim di Indonesia diperkirakan sangat besar, namun masih sulit untuk diperhitungkan. Perhitungan kerugian bagi perekonomian Indonesia jangka panjang, baik akibat dampak langsung dan tidak langsung menunjukkan angka siginfikan.

Pada tahun 2100 kerugian PDB diperkirkan mencapai 2,5% yaitu empat kali keugian PDB rata-rata global akibat perubahan iklim.

Jika peluang terjadinya bencana turut diperhitungakan , makakerugian mencapai 7% PDB. Biaya ini dirasakan sangat besar oelh sebuah negara yang baru saja lepas dari krisis ekonomi di akhir thn 1990-an.

Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API) yang dikeluarkan oelh Bappenas pada Februari 2014  menyebutkan bahwa adaptasi merupakan upaya untuk meningkatkan ketahanan (resiliensi) suatu sistem terhadap dampak perubaha iklim.

Untuk mewuudkan resiliensi diperlukan sinergi antara pusat dan daerah dalam merencanakan kegiatan adaptasi.

Selain itu pemahaman bahwa kegiatan adaptasi adalah hubungan timbale balik antara kondisi social dan kondisi ekologis menjadi syarat penting untuk tercapainya resilensi.

Terdapat dua jenis kegiatan adaptasi yang dapat langsung terkait dengan adaptasi yakni yang bersifat mandiri (reaktif) dan yang direncanakan (antisipatif).

Adaptasi mandiri karena bersifat otonom dan responsive dapat dilakukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah sebagai respon atas kondisi yang dialami.

Berbeda dengan adaptasi yang terencana dan bersifat antisipatif, kegiatan adaptasi tipe ini memerlukan kajian kerentanan dan studi scenario perubahan iklim sebagai dasar saintifik untuk menentukan opsi adaptasi yang diperlukan.

Provinsi Sulawesi Selatan bersama Kota dan Kabupaten pesisir berkolaborasi untuk mendesain skenario adaptasi terhadap perubahan iklim.

Skenario ini akan memberikan opsi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir seperti penataan pemanfaatan lahan dan mitigasi terhadap bencana yang terjadi. Sehingga tiap kali curah hujan tinggi lalu terjadi banjir, maka semua pemangku tidak saling menyalahkan.

Jika skenario adaptasi ada maka ada langkah antisipatif merespon bencana yang muncul.

Bukankah dampak bencana ini sangat buruk dan menimbulkan kerugian eknomi yang sangat besar hingga korban jiwa?

 

Penulis:
Asriadi,
Pemerhati Kelautan, mahasiswa program Doktoral ITS.

Editor:  Basir

Related posts