Kolom ASRIADI: Sinkronisasi dan Kepastian Hukum Kewenangan Pengelolaan Wisata Bahari (Bagian 3)

  • Whatsapp
Trend kunjungan wisatawan mancanegera menurut BPS (dok: Istimewa)

DPRD Makassar

Asriadi, mahasiswa Pascasarjana Institut Teknologi 10 November Surabaya yang juga Aparatur Sipil Negara pada Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Makassar, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan membagikan pokok-pokok pikirannya terkait manifestasi Ekonomi Biru, Pengelolaan Sumber Daya dan dimensi pengembangan wisata bahari sesuai semangat desentralisasi.

Mari simak bagi ketiga.

_____

Read More

Pada tulisan sebelumnya  telah disebutkan beragam regulasi yang berkaitan dengan kewenangan dan aspek pengeloaaan pariwisata, sehingga untuk menghindari tumpang tindih, keruwetan dan saling melemahkan maka diperlukan sinkronisasi.

Sinkronisasi hukum adalah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang tekait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu.

Kegiatan ini dimaksudkan agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak saling tumpang tindih, saling melengkapi, saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muantannya.

Sehingga sinkronisasi ini bertujuan untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tertentu secara efektif dan efisien.

Penyelenggaraan pariwisata menurut UU No.10/2009 tentang Kepariwisataan sesungguhnya dikembangkan dengan pendekatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan yang berorientasi pada pengembangan wilayah, bertumpu kepada masyarakat, dan bersifat memberdayakan masyarakat yang mencakupi berbagai aspek.

Aspek itu seperti sumberdaya manusia, pemasaran, destinasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, keterkaitan lintas sektor, bahkan kerja sama antarnegara, pemberdayaan usaha kecil, serta tanggung jawab dalam pemanfaatan sumber kekayaan alam dan budaya.

Terhadap potensi hasil kelautan yang dikelola secara efektif oleh daerah kabupaten/kota maka penghitungan bagi hasilnya berdasarkan ketentuan UU No. 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 14 Ayat (6) adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

Hal itu sejalan dengan UU No. 27/2007 Jo UU N0.1/2014 yang memberi kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada kabupaten/kota sejauh 4 mil ke laut yang diukur dari garis pantai.

Dan bilamana batas wilayah kabupaten/kota kurang dari 4 (empat) maka batas wilayahnya dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari Daerah yang berbatasan. Ketentuan tersebut memberi peluang bagi Daerah Kabupaten/kota untuk ikut mengelola dan mendapat bagi hasil pengelolaanya sejauh 4 mil ke arah laut.

Sejatinya kepariwisataan merupakan kegiatan pariwisata yang bersifat multidimensi, multisektoral, multidisiplin dan multi stakholder.

Pemerintah daerah berkepentingan dalam pengelolaan pariwisata sebab menjadi salah satu faktor yang dapat mengatrol peluang pertumbuhan ekonomi nasional dan regional dan efek positif pada penerimaan APBD.

Pengelolaan pariwisata membutuhkan kematangan dalam perencanaan dan pengendalian yang terpadu serta sinergis agar dapat memaksimalkan dampak positifnya dan meminimalkan efek negatifnya, sehingga pariwisata bisa berkelanjutan.

Pariwisata menjadi sangat penting bagi negara karena data penerimaan negara dari sektor ini bertumbuh positif sebagai penghasil devisa negara.

Pada tahun 2019 kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB Indonesia sebesar 4,7% dengan nilai devisa mencapai US$ 16,9 miliar.

Dalam hal permasalahan urusan pemerintahan sebagaimana di dalam UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dapat menjustifikasi dasar pelaksanaan otonomi daerah melalui urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah sesuai Pasal 9 ayat (4) UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi “urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah”.

Ekowisata bahari seperti pengelolaan kawasan konservasi yang dikelola oleh KKP menarik retribusi PNBP berdasarkan PP No.85/2021 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Ketentuan pada Pasal 1 berbunyi: Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan meliputi penerimaan dari: pada huruf (k) tanda masuk dan karcis masuk kawasan konservasi. Kawasan ekowisata bahari di luar yang dikelola oleh KKP (pusat) menjadi kewenangan pengelolaanya oleh pemerintah daerah dan diharapkan menjadi sumber pertumbuhan bagi peningkatan pendapatan asli daerahnya.

Penyelenggaraan pemerintah daerah dalam melakanakan tugas, wewenang, kewajiban dan tanggung jawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dapat membuat peraturan perundang-undangan tingkat daerah atau menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan dalam peraturan derah, peraturan kepala daerah dan ketentuan daerahnya lainnya yang tidak bertentangan dengan undang-undang.

Pariwisata sebagai kegiatan yang secara langsung memberi, menyentuh, dan melibatkan masyarakat setempat sehingga sangat diharapkan berdampak positif bagi masyakarat. Wisata bahari menyentuh aspek kehidupan masyarakat secara sosial ekonomi, sosial budaya hingga lingkungannya.

Tidak hanya soal atraksi wisata, namun juga berkaitan dengan industri perhotelan, restoran, transportasi (udara, laut dan darat), pelayan, akomodasi, hiburan, interaksi antara wisatawan dengan warga setempat hingga produk industri lainnya.

Kita bisa menyaksikan bagaimana pertumbuhan daerah yang memiliki destinasi wisata bahari yang mempesona dan terkelola dengan baik.

Alam yang eksotik, masyarakat yang ramah, infrastruktur yang terus bertumbuh kemudian menjadi sektor andalan penghasil devisa, dan diharapkan ke depannya menggantikan sektor ekstraktif sumberdaya alam, sehingga wisata bahari menjadi salah satu motor penggerak perkonomian nasional dalam kerangka Ekonomi Biru, wisata bahari yang berkelanjutan.

Kewenangan pemerintah daerah dibidang pariwisata pada prinsipnya merupakan implementasi urusan pilihan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang didasarkan pada ketentuan Pasal 12 ayat (3) huruf b UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah ditambah secara khusus dalam UU No.10/2009 tentang Kepariwisataan pada Pasal 30.

Pada prinsipnya peraturan daerah merupakan instrumen hukum yang secara yuridis formal diberikan kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintah di daerah.

Dalam upaya meningkatkan PAD maka penataan perizinan usaha pariwisata bahari misalnya akan berakibat hukum bagi pemerintah daerah untuk dapat menyelenggarakan perizinan usaha wisata bahari sebagai upaya yuridis preventif, menjadi instrumen administrasi.

Ada beberapa faktor yang menghambat akselerasi pengembangan wisata bahari, seperti keterbatasan anggaran pengembangan objek wisata bahari, perizinan yang kadang sulit sehingga menghambat investasi, kesadaran masyarakat terhadap potensi wisata bahari belum menggembirakan dan ketersediaan sarpras pendukung yang kurang memadai serta pengelolaan usaha wisata bahari yang belum optimal termasuk minimnya keterlibatan masyarakat lokal.

Karena itu pemerintah daerah wajib memberikan perhatian lebih besar guna meningkatkan dan memperluas sektor wisata bahari, membangun sarpras lengkap, bekerjasama dan melibatkan warga lokal dalam mengelola objek wisata bahari.

Pemerintah Daerah dengan kewenangannya dapat mengatur, mengarahkan, mengendalikan dan sekaligus pula melindungi masyarakat maupun sumber daya alam dan sumber daya buatan.

Salah satu aspek perlindungan dengan mempermudah penerbitan perizinan dalam kepariwisataan termasuk melakukan kerjasama usaha pengelolaan pariwisata dengan masyarakat luas.

Pembangunan kepariwisataan diupayakan dikembangkan dengan pendekatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat dan pembangunan yang berorientasi pada pengembangan wilayah, bertumpu kepada masyarakat, dan bersifat memberdayakan masyarakat yang mencakupi berbagai aspek.

Aspek itu seperti sumber daya manusia, pemasaran, destinasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, keterkaitan lintas sektor, kerja sama pengelolaan, pemberdayaan usaha kecil, serta tanggung jawab dalam pemanfaatan sumber kekayaan alam dan budaya.

Kita melihat pengelolaan wisata bahari terus berkembang, sangat logis karena dampaknya sangat positif seperti telah disampaikan sebelumnya yaitu perluasan serapan tenaga kerja, efek domino bagi pertumbuhan sarpras, peningkatan hunian hotel dan akomodasi wisatawan, restoran, transportasi, UMKM, peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan keamanan.

Sejalan dengan UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juncto UU No.1/2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah maka diperlukan pengintegrasian kebijakan secara komprehensif dalam mengelola potensi wisata bahari.

Hal tersebut dikembangkan melalui rencana tata ruang wilayah daerah dan rencana induk pengembangan wisata sebagai pedoman dan arah kebijakan sehingga menjadi penyemangat otonomi daerah dan mendayagunakan potensi daerah, dengan penekanan pada perhatian untuk menjaga kelangsungan daya dukung dan daya tampung kawasan wisata bahari serta pelibatan masyarakat setempat agar menjamin pembangunan wisata bahari terus berkelanjutan.

Pada akhirnya Wisata Bahari menjadi aset negara dan daerah yang sangat potensial menjadi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dalam kerangka Ekonomi Biru.

Meskipun kunjungan WISMAN menurun selama masa pandemi Covid 19, namun sejak bulan April 2022 grafiknya mulai meningkat, sementara untuk perjalan WISNUS hanya menurun pada tahun 2020 dan setelahnya kembali meningkat.

Untuk memaksimalkan potensinya maka mesti dikelola secara bijak, efektif, professional, berbasis science, melibatkan masyarakat dan tetap mengejar pertumbuhan ekonomi yang optimal berdasarkan prinsip-prinsip keberlanjutan.

Ada hal yang bisa merintanginya dari aspek yang berkaitan dengan kewenangan mengelolanya, untuk itu demi menghindari terjadi tumpang tindih regulasi dan kewenangan maka diperlukan harmonisasi dan sinkronisasi hukum serta komunikasi yang baik antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

Harapanya, agar bisa saling menguatkan, saling mendukung sehingga tujuan pengelolaan pariwisata berkelanjutan, meningkatkan PAD dan devisa negara bisa terwujud.

 

Editor: K. Azis

Related posts