O Captain, my Captain! Para siswa yang menghormati guru mereka Tuan Keating (Robin Williams) yang mengajari mereka berpikir berbeda, memanfaatkan hari (carpe diem) dan membela apa yang benar (dengan bersastra).
Fragmen Dead Poets Soeciety (Film)
MAKASSAR, PELAKITA.ID – Di Captain Coffee and CO ‘Bugis Corner’, ketua harian IKA Unhas Sulawesi Selatan Harun Ar Rasyid memantik obrolan menarik dan tak lazim.
Dia bilang, di episentrum Kampus Unhas Tamalanrea bertahun silam, di antara tahun 80-an dan 90-an identiik karya-karya sastra indah dan diminati mahasiswa maupun publik
“Saya membayangkan karya-karya sastra itu harusnya muncul kembali, di tengah hiruk pikuk modernitas, di antara derap pembangunan. Minimal misalnya bertambahlah mahasissa atau alumni kita dari Unhas bisa menjadi sineas, atau penggiat sastra,” ucapnya random.
Begitukah? “Bisakah itu jurusan-jurusan di Fakultas Sastra dan Budaya menghasilkan figur-figur seperti itu?” ucapnya kepada penulis, Sakka Pati dan Akbar Endra.
“Sulit bang Harun, saya malah membaca ruang lingkup kesusastraan dan humaniora semakin sempit, nyaris hilang,” balas penulis.
Pernyataan Harun itu menarik di tengah kesan kegersangan dialektika sastra kontemporer di Makassar. Padahal ada kebutuhan besar untuk mengisi ruang-ruang hidup sosial warga kota dengan semangat berkesenian.
Kota-kota moderen di dunia sudah menjadi bukti bahwa mereka mengutamakan ruang kreatif berkesenian. Bahkanj di jalanan, bukan malah Pak Ogah yang saban hari mengemis cuan.
Perbandingan dulu dan kini
Apa yang disampaikan Harun itu dibawa ke ruang Obrolan di grup Kolaborasi Alumni Unhas pekan ini. Beberapa anggota grup menanggapi. Mereka mulai mengulik sejarah tumbuhnya komunitas sastra di jantung Unhas pada tahun 90-an.
“Tidak bisa dilupakan itu Masyarakat Sastra Tamalanrea,” kara Abdul Azis, alumnus Hukum Unhas yang kini aktif menjadi lawyer di Makassar.
“Saya menikmati kreativitas mereka, seperti kak Sudi, Kak Muhary, Kak Aslan,” aku Azis.
Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) yang disebut Azis itu sebagai salah satu yang terkemuka saat itu. Beberapa nama beken di MST saat itu adalah Aslan Abidin, Sudirman Nasir, Muhary Wahyu Nurba hingga Hendra Gunawan S. Thayf.
Aslan kini adalah akademisi di UNM Makassar, dia adalah penulis dan pembaca puisi yang produktif, puisi dan cerpennya bertenaga dengan daya gedor luar biasa. Muhary saat ini mengelola sistus sastra magrib.id, sekaligus sebagai penulis bebas dan praktisi CSR.
Sudirman Nasir? Sekarang akademisi di FKM Unhas dan merupakan penulis produktif. Dia pun beberapa kali mendapat penghargaan internasional bidang kesehatan.
Pendek cerita, dari merekalah puisi-puisi, esai hingga opini-opini kesusastraan lahir dan menjadi bacaan publik, sejak itu, bahkan hingga kini.
Fenomena MST menurut penggiat teater dan seni peran yang juga alumni Fisip Unhas, Ilham Anwar sangat menarik sebab merupakan oase para pencari inspirasi humaniora dari berbagi alatr belakang. Sudirman Nasir adalah mahasiswa Kedokteran, Muhary Sastra Inggris.
Baginya, Masyarakat Sastra Tamalanrea adalah ruang kreatif, merupakan contoh bagaimana alumni dengan latar belakang berbeda menemukan ruang kreatif bersama MST.
“MST itu sesungguhnya bukan komunitas penggiat sastra belaka, atau beraroma kampus atau struktural, dia seperti pangkalan bertemu tokoh-tokoh sastra dari lintas fakultas,” jelas Ilo.
Ilham Anwar ikut sumbang pandapat tentang penilaian Institut Kesenian Jakarta yang disebut sebagai contoh model ‘sekolah sastra’ yang efektif dan bisa dirujuk, dicontoh sebagai kampus peduli sastra dan kreatif.
“Bagi saya, ruang lingkup tak pernah dibatasi dan atau disempitkan. Apalagi dihilangkan yang terjadi adalah tak tercipta ruang ekspresi sastra. Ada apa? Minat? Bakat? Atau ada ruang lain di luar kampus?” ujar Ilo.
Untuk pelaku sastra dari Tamalanrea untuk konteks saat ini, sepertinya kegalauan Harun itu menurut Ilo tak sepenuhnya benar.
“Saya kira perlu elaborasi yang dalam tentang jejak generasi setelah tahun 90-an. Semisal, pencapaian luar biasa Faisal Oddang, Ibe. S. Palogai, bahkan Shinta Febriany perlu disentil. Ini perlu pendalaman juga, mereka eksis, mereka produktif sampai sekarang,” tanggapnya.
Dia juga meniyebut bahwa jika bicara ruang kreatif, harus ada batasan spesifik. “Perlu memberi ruang memadai bagi ekspresi kreatif,” ujar Ilo.
Sementara alumni Fakultas Teknik Unhas, Marwan Hussein menyebutkan, bicara tumbuh kembang sastra asal Tamalanrea dulu dan kini menurut pengamatannya lebih dominan dari kerja-kerja lintas fakultas ketimbang dari dalam jurusan Sastra itu sendiri.
“Membaca puisi, bicara sastra, berteater sepertinya memang tumbuh dari non-kampus,” ucapnya.
“Bisa jadi memang begitu sebab lembaga pendidikan (sastra) sekarang lebih disibukkan dengan syarat syarat administratif dan detail laporan lengkap ke pemerintah agar penyelenggaraan pendidikan tidak sempat berkreasi dan berinovasi,” ucapnya.
Ada Kosaster dan Bengkel Seni
Tentang MST, Ilo menyebut itu bukan satu-satunya ruang kreatif sastra di Tamalanrea tahun 90-an.
“Saat itu ada juga yang namanya Kosaster atau Kelompok Studi Sastra dan Teater yang diinisiasi alm. Shaifuddin Bahrum,” ungkapnya.
“Komunitas ini menarik sebab menawarkan kebaruan ruang khas dan spesifik bagi peminat sastra dan juga teater, mengiring kiprah Teater Kampus Unhas (TKU) terdiri dari beberapa mahasiswa asal daerah,
“Selain itu ada pula Bengkel Seni di Fakultas Sastra yang dibina dramamawan yang sekaligus dosen Unhas almarhum Fahmi Syariff,” tutupnya.
Menghidupkan kritik sastra
Poin menarik yang juga disampaikan Ilo adalah kurangnya para ‘pengeritik sastra.’ “Kiritk itu penting untuk menumbuhkan semangat bersastra terus menerus, supaya ada dinamika dan lecut bagi pelaku sastra,” katanya.
Kritik Sastra menurut Ilo menjadi instrumen melakukan apresisi atas karya sastr, karya ya, bukan kegiatan, yang sekaligus jadi jembatan mengedukasi dan meningkatkan literasi publik dalam mengapresiasi karya sastra.
Ilo yang aktif di dunia teater ini menggambarkan kritik sastra sebagai cabang ilmu sastra yang melakukan kajian, analisis, telaah, penilaian, dan juga pertimbangan mengenai kelebihan dan kekurangan dari sebuah karya sastra.
Sehingga, lanjut Ilo, kritik itu bersifat obyektif, faktual, bisa diverifikasi. “Tujuannya jelas untuk memperbaiki karya sastra. Menjadi bahan untuk meningkatkan kreativitas pencipta,” sebutnya lagi.
Baginya, ketiadaan atau kelangkaan penulis sastra, peneliti atau pemerhati sastra menjadi ‘pengeritik’ sastra adalah salah satu kemunduran juga. “Ini patut jadi perhatian agar selenggang dengan upaya pengembangan sastra dan apresiannya,” ujarnya.
Yang pergi dan bertahan
Pada obrolan grup WAG itu, Ilo membeberkan nama-nama yang disebutnya pemerhati sastra Unhas dan sebagian besar tetap lestari.
Fungsi kritik sastra adalah untuk mengetahui nilai, estetika dan juga sudut pandang lainnya dari sastra yang dilahirkan. Instrinsik maupun ekstrinsik,” imbuhnya seraya mengingatkan untuk menyesap makna pada film ‘Dead Poets Society’ yang menyentuh, tentang keberlanjutan fungsi nalar.
“O Captain, my Captain!”. Lalu anak-anak itu berdiri di atas meja, satu persatu, membela gurunya yang berencana hengkang dari sekolah itu dengan mata berkaca.
https://www.youtube.com/watch?v=j64SctPKmqk
Film itu bercerita tentang para siswa yang menghormati guru mereka Tuan Keating (Robin Williams) yang mengajari mereka berpikir berbeda, memanfaatkan hari (carpe diem) dan membela apa yang benar (dengan bersastra).
Ilo pun menyebut sebagai ‘sederet nama alumni Unhas’ terkait kesastraan yang terlintas dan sedang teringat semata, lintas generasi.
“Sebagian sudah pergi yang sesungguhnya, sebagian lainnya masih bertehan, terus berkreasi,” ucap Ilo.
Mereka adalah Sinansari Ecip (dosen prodi komunikasi Fisip), Aspar Paturusi (Fak. Sastra), SM. Noor (fak. Hukum), Amran Razak, Anwar Ibrahim (alm) akrabnya: kak Eman., Fahmi Syariff (almarhum ),Fakultas Sastra lalu ada Shaifuddin Bahrum (almarhum),dari Fakultas Sastra.
Ada pula Mahrus Andis, dari Fakultas Sastra dan pernah jadi pejabat pemerintah di Bulukumba), menyusul Yudhistira Sukatanya a.k.a Eddy Thamrin Fakultas Ekonomi.
Nama lainnya adalah Yuyun Husni Djamaluddin, Riana Mustamin, Luna Vidya, Asdar Muis RMS (alm.)
Moch. Hasymi Ibrahim, Farid Ma’ruf Ibrahim, Lily Yulianti Farid. Sudirman HN. Aslan Abidin, Muhary NW
Akbar Endra, Ostaf Al-Mustafa, Muhammad Aan Mansyur, Anwar Jimpe Rahman, Anil Hukma, Taufik Amril Gobel, Taufik Daraming Tahir (cerpenis Anita Cemerlang, penulis skenario TV)
Tak terlupa, kata ILo, adalah almarhum Zaenal Tahir sebagai cerpenis Anita Cemerlang, Shinta Febriany, Faisal Oddang (cerpenis KOMPAS), Ibe S. Palogai (juga pendiri Institut Sastra Makassar)
Dewi O. Lebbi hingga Ilham Hanafie.
Penulis: K. Azis