Bogga sedang gulana. Suaminya Haji Muhdar belum balik dalam tiga hari ini padahal tempat tinggal sewaan mereka terbakar tiga hari lalu. Terbakar habis. Hanya tersisa puing-puing, drum hitam dan kayu-kayu hangus terbakar.
PELAKITA.ID – Pasar Omele pagi ini. Perempuan tua Apollonia Maitrona Laikier menunjukkan tatto tiga huruf di lengan kirinya. “Nama ini diberikan saat permandian di masa muda,” katanya menunjuk huruf A.
Saya bertemu Apollonia saat membeli seplastik umbi keladi harga 10ribu di lapak jualannya di Pasar Omele, Kota Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, 22/09.
Tidak jauh dari situ, musik disko mengalun dari mobil penumpang yang sedang membongkar muatan beragam pisang, kecil besar di tapi blok-blok pasar. Semua bersuka cita. Hari baru saja dimulai di Pasar Omele.
Sementara itu, di tepi pantai seorang perempuan berdiri dengan muka kosong. Ada kecemasan. Perempuan ini ada di tepi dermaga tidak jauh dari pasar sebelumnya. Matanya ke laut. Ada dua perahu sedang sandar.
Perahu yang satu baru saja sampai ada seorang laki-laki tanpa baju berkalung putih, dia mengaku asal Kabupaten Jeneponto dan tinggal di sekitar Pasar Omele. Sementara perahu yang satu terikat kuat di tepi.
Perempuan yang tadi bernama Hajjah Bogga. Dia asal Kampung Mola, Kota Wanci, Sulawesi Tenggara, Wakatobi.
“Yang itu anak saya, yang sedang kerja ikan,” kata perempuan yang mengaku warga Wanci, tepatnya Kampung Mola, kawasan komunitas Suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara sembari menunjuk seorang pria paruh baya sedang membersihkan cakalang.
“Katonangta pak Manan?” tanyaku. Dia mengangguk dan membalas, “Baa, keluarga kami itu,” jawabnya.
Bogga sedang gulana. Suaminya Haji Muhdar belum balik dalam tiga hari ini padahal tempat tinggal sewaan mereka terbakar tiga hari lalu. Terbakar habis. Hanya tersisa puing-puing, drum hitam dan kayu-kayu hangus terbakar.
Bogga mengaku tinggal di petak-petak atau los bangunan yang di sekitarnya menjadi pusat penjuaan BBM. Lokasinya hanya berjarak 50 meter dari pasar ikan yang ada di sisi timur.
“Anginnya dari timur jadi tidak merembes ke petak-petak lainnya, “ kata Bogga dalam bahasa Bajo, bahasa khas di Kampung Mola, Wanci.
Keluarga Bogga adalah pemancing, anaknya adalah pemancing cakalang, tongkol dan ikan-ikan permukaan lainnya. Suaminya Muhdar juga demikian.
“Pore missi, tellungngallone madilao, nggaimina takatonang,” lanjutnya. Artinya, (suamiku) pergi memancing, sudah tiga hari di laut dan belum tahu kalau tempat tinggal mereka telah terbakar. Bogga mengaku sedang mencari tempat tinggal sementara di blok-blok sekitar pasar baru Omele.
Tanggal 20 September, sekitar pukul 10.30 WIT, kobaran api terlihat dari sekitar Pasar Omele, kobaran api yang meluluhlantakkan pusat penjualan solar tersebut di mana berdiam pula keluarga Bogga.
Butuh waktu hampir sejam untuk memadamkan si jago merah ini. Itupun setelah ada mobil watercanon Polres Maluku Tenggara Barat.
“Duantaungne tambang manditu,” katanya dalam bahasa Bajo, artinya sudah dua tahun tinggal di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat. Kota yang oleh Bogga ditempuh selama tiga hari tiga malam dengan menumpang jolor, perahu kayu bermesin dalam dari Kota Wanci.
“Dalam tiga hari itu kami melewati Pulau Binongko, jadi kadang mampir juga di situ,” katanya sebelum kembali ke rumah untuk memasak Keladi Pici kesukaan saya.
Penulis: K. Azis