Masri Tajuddin, Aparatur Sipil Negara di Kota Makassar dan berminat pada isu-isu lingkungan dan kebudayaan menuliskan pengalamannya saat berkunjung ke Kawasan Ekowisata Rammanf-Rammang. Dia membagikan hasil kunjungannya dalam bentuk tulisan, kado untuk Hari Lingkungan HidupSedunia, 5 Juni 2022. Ide tulisan ini didukung oleh Mongabay Indonesia.
PELAKITA.ID – Kawasan ekowisata Rammang-Rammang merupakan salah satu destinasi wisata yang paling dikenal di Sulsel saat ini, berada di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros. Rammang-Rammang dikenal dengan konsep ekowisatanya, menawarkan keindahan alami gugusan karst dan kehidupan pertanian alami masyarakatnya.
Berbeda dengan destinasi wisata lainnya yang dibangun oleh pemerintah dan swasta, Rammang-Rammang dirintis, dibangun, dan dikelola oleh penduduk lokal melalui Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) pada tahun 2015. Kawasan wisata ini lahir sebagai bentuk perlawanan panjang masyarakat atas ekspansi tambang yang masif di kawasan tersebut.
Pariwisata Rammang-Rammang menawarkan eksotisme alamnya berupa tower-tower karst (stone towers), hutan karst (stone forest), jelajah sungai, dan kehidupan pertanian di Kampung Berua sebagai ikon atau pusat kunjungan. Kampung Berua sebuah kampung yang sangat asri dan indah, kampung hanya bisa diakses dengan menggunakan transportasi perahu mengarungi Sungai Puteh.
Mengarungi Sungai Puteh, seperti mengarungi kehidupan masa Jurassic dengan vegetasi rawa ditutupi rimbunan tumbuhan nipah dan bakau, gugusan bukit karst, dinding karst yang mengapit sungai dengan tumbuhan khasnya mempertontonkan keelokannya yang tidak bisa ditemukan di tempat lainnya. Mengarungi Sungai Puteh akan mengobati semua gundah para pengunjungnya.
Rammang-rammang tidak hanya menawarkan gugusan bukit karst, vegetasi rawa, keanekaragaman hayati, dan areal pertanian yang menyatu membentuk lanskap yang sangat indah, juga memiliki kekayaan tak ternilai berupa situs prasejarah (Prehistoric) berupa gua-gua prasejarah. Gua yang di dalamnya terdapat peninggalan aktivitas manusia masa lalu, berupa alat-alat batu, kerang, tulang hewan, dan gambar-gambar cadas (rock art) yang dilukis di dinding-dinding gua karst yang diperkirakan berusia puluhan ribu tahun.
Dalam buku ‘Gambar Cadas Prasejarah di Indonesia’ yang diterbitkan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015, situs prasejarah yang telah dicatat di Rammang-Rammang sebanyak tiga situs yaitu Leang Karama, Leang Pasaung, dan Leang Batu Tianang.
Secara umum situs-situs gua-gua prasejarah yang berada di kawasan karst Maros-Pangkep-Maros, secara fisik memiliki karakteristik yang sama. Situs Leang Karama, Leang Pasaung, dan Leang Batu Tianang berada di bagian bawah atau kaki dari perbukitan karst yang disebut gua-gua kaki cadas (clift foot cave).
Pada bagian depannya merupakan daerah yang rata yang saat ini berbentuk rawa-rawa, tambak, persawahan, ladang, persawahan, padang ilalang, dan permukiman.
Untuk menuju Leang Karama, pengunjung harus menggunakan jasa pemandu lokal karena situs ini tidak dibuka untuk umum. Leang Karama berada di lembah yang dikelilingi perbukitan karst, oleh masyarakat lembah ini dinamai Parang-parang. Sangat mudah untuk menemukan situs ini, tanda penunjuk arah yang dibangun atas bantuan Bank Indonesia dapat ditemukan sepanjang perjalanan menuju situs.
Pengunjung harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak di kaki perbukitan karst, pematang sawah, tambak, dan rawa-rawa nipah dan bakau.
Perjalanan ke situs Leang Karama memanjakan mata pengunjungnya. Eksotisme gugusan perbukitan karst, rawa-rawa, dan areal tambak dan persawahan, serta vegetasi kawasan menyatu dalam lanskap alam yang sangat indah. Keindahan bentangan alam ini menjadi obat penawar kelelahan pengunjung yang membutuhkan upaya keras dan waktu untuk sampai situs ini.
Pagar pelataran situs Leang Karama terbuat dari bebatuan karst yang disusun membentuk tembok karst yang kokoh, bagian tengahnya menjadi pintu masuk yang dibuat dari bahan bambu dan ranting kayu. Memasuki pelataran situs, terlihat lembah kecil yang dikelilingi perbukitan karst, tidak ada pintu lain atau jalan lain memasuki lembah selain pintu tadi. Karena posisi lembah yang terisolir, suasana terasa sangat hening, begitu heningnya suara burung, monyet hitam (macaca maura) yang sempat terlihat dalam perjalanan terdengar dengan baik.
Suara air dari sungai kecil dari mata air dari pegunungan karst juga terdengar.
Dari pintu masuk, situs berada di sebelah kanan di bawah kaki bukit karst. Di depan situs terdapat berbagai macam tumbuhan dari vegetasi karst dan vegetasi rawa. Terdapat dua papan informasi, satu informasi berisikan peringatan bagi pengujung yang berisikan hal-hal yang tidak boleh dilakukan pengunjung dan satunya papan informasi deskripsi singkat terkait situs.
Situs Leang Karama diambil dari nama lokal Karama yang berarti keramat atau sakral. Menurut Nahar, pemandu lokal yang menemani saya dalam perjalanan, bahwa masyarakat setempat sangat menyakralkan, menghormati dan menjaga lembah ini sehingga sangat jarang orang yang mendatangi atau beraktivitas di kawasan ini. Kearifan lokal ini dimanfaatkan masyarakat untuk berternak di lembah ini. “Tidak pernah ada kasus pencurian sapi di lembah ini,” katanya.
Berdasarkan buku ‘Lukisan Cadas di Indonesia’, letak dan kondisi fisik Leang Karama berada pada 04°55’15.7” LS 119°37’00.4” BT, dengan ketinggian 65 meter dpl, menghadap 48°, serta memiliki panjang 17 meter, lebar mulut 13 meter, panjang halaman 17,30 meter, dan titik tertinggi pada langit-langit yaitu 5,30 meter.
Struktur geologi Leang Karama berkategori kekar tiang (columnar joint) memiliki ukuran ruang yang tidak luas, memiliki jarak dari lantai ke langit-langit tinggi, memiliki lantai yang miring atau berundak-undak, memiliki mulut gua yang tidak lebar tetapi tinggi, dan sering terlihat adanya lorong-lorong (vertikal dan horizontal) yang panjang dan sempit.
Kondisi fisik Leang Karama terdapat stalaktit, stalagmit, dan pilar atau sinter (gabungan antara stalaktit dan stalagmit). Sinter terlihat di bagian mulut gua seperti pilar besar dan kokoh menyanggah langit-langit gua.
Gambar cadas yang terlihat di Leang Karama ditemukan secara individu dan berkelompok. Terletak pada dinding sebelah kiri dan kanan, serta langit-langit gua. Gambar cadas terdiri atas dua warna yakni hitam dan merah. Terdapat gambar cap tangan, fauna akuatik, geometris, dan bentuk lain yang tidak teridentifikasi.
Pada dinding sebelah kiri gua terdapat dua gambar cap tangan manusia (hand stencil) saling berdekatan secara linear atau horizontal, dengan orientasi ke kanan. Letak gambar pada ketinggian antara 3-4 meter dari lantai gua. Dilihat dari ciri fisik kedua gambar cap tangan tersebut, pelukis prasejarah menggunakan teknik melukis semprot atau sembur. Teknik biasanya disebut stensil tangan negatif (negative hand stencil), ada juga yang menyebutnya hand stencil saja.
Proses pembuatan cetakan tangan yang dibuat dengan cara merentangkan telapak tangan pada permukaan dinding gua, kemudian disemprot atau disembur dengan bahan pewarna tertentu (merah) yang berfungsi sebagai cat lukisan. Cat semprotan pewarna menutupi sekitar tangan, sementara bagian yang tertutupi tangan tidak terwarnai.
Proses penyemprotan dengan menggunakan mulut atau alat bantuan seperti sumsum tulang binatang, ranting bambu, batang rumput yang berongga. Teknik ini paling umum yang digunakan artis prasejarah di situs-situs prasejarah di kawasan karst Maros-Pangkep-Bone.
Lukisan telapak tangan terlihat berwarna merah gelap yang berasal dari bahan pewarna merah alami yang disebut “oker”. Oker adalah bahan pewarna yang berasal dari tanah liat berpigmen hematit mineral kemerahan yang mengandung zat besi teroksidasi.
Menurut Nasruddin, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), oker merupakan tanah liat (bebatuan mineral) kemerahan yang banyak ditemukan di bebatuan gamping. Batuan ini dihaluskan menjadi bubuk kemudian dicairkan menggunakan air, lemak hewan, getah pohon, bahkan darah hewan tertentu. Bahan campuran ini membuat cat dapat lentur mengikuti pori-pori bebatuan sehingga bisa bertahan sangat lama.
Selain gambar telapak tangan, di Leang Karama juga terdapat gambar figuratif dan non-figuratif berwarna hitam di bagian tengah (langit-langit gua) dan bagian dinding kanan gua.
Berdasarkan hasil penelitian A. Muh. Saiful dan Basran Burhan yang berjudul ‘Lukisan Fauna, Pola Sebaran dan Lanskap Budaya di Kawasan Karst Sulawesi Bagian Selatan’ yang dipublikasikan dalam Jurnal Wallanae Tahun 2017, pada langit-langit gua terlihat sketsa gambar figuratif fauna akuatik yaitu cumi-cumi.
Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa gambar tersebut lebih menyerupai ikan bandeng. Gambar-gambar lainnya yang berada di langit-langit gua yang bentuk atau figurnya sangat sulit diinterpretasi karena terjadi kerusakan akibat pengelupasan batuan langit-langit karst.
Pada bagian sebelah kanan gua, struktur gua berundak-undak (lantai bertingkat) dan berceruk sempit. Untuk melihat gambar pada ceruk sempitnya, pengunjung harus jongkok dan tiarap.
Begitu banyaknya gambar berwarna hitam pada sisi ini, dinding dan ceruk kelihatan berfungsi sebagai galeri lukisan. Sebagian gambar menyerupai fauna akuatik ikan dan ubur-ubur, dan pola-pola geometris seperti gambar lingkaran dengan garis horizontal dan vertikal dalam lingkaran. Dalam budaya megalitik, gambaran lingkaran seperti ini diasosiasikan sebagai simbol matahari.
Gambar-gambar lainnya sebagian besar tidak lagi terlihat polanya sehingga sangat susah mengidentifikasi figur yang sebenarnya. Kerusakan gambar lebih disebabkan karena pengelupasan batuan karst yang dijadikan kanvas para pelukis prasejarah.
Perlu diketahui, warna hitam pada gambar cadas umumnya menggunakan bahan arang, meski ada juga yang menggunakan kotoran burung di kawasan tertentu. Khusus gambar hitam lukisan cadas di kawasan karst Maros-Pangkep menggunakan arang.
Menariknya ketika pelukis membuat gambar, arang dicoreng-coreng pada bidang gambar seperti menggunakan krayon yang diruncingkan. Penggunaan arang juga dapat menjawab cara pelukis membuat gambar di langit-langit gua yang secara fisik tidak dapat diakses tubuh manusia. Besar kemungkinan pelukis menggunakan ranting kayu yang panjang yang ujungnya dibakar untuk menghasilkan arang. Dengan demikian, pelukis tidak mengalami kesulitan untuk menuangkan imajinasinya di atas kanvas (langit-langit gua).
Setelah mengunjungi Leang Karama, perjalanan dilanjutkan menuju situs Leang Pasaung yang terletak di Kampung Berua, sebuah kampung yang telah disulap menjadi kawasan ekowisata yang menjadi ikon Rammang-Rammang. Untuk mencapai situs Leang Pasaung, pengunjung harus mengarungi Sungai Puteh dengan perahu yang tersedia di Dermaga Satu atau Dermaga Dua Rammang-Rammang.
Setelah sampai di Dermaga Tiga Kampung Berua, pengunjung membeli tiket masuk Rp.5.000/orang. Sangat mudah menemukan Leang Pasaung, penunjuk arah tersedia sampai mulut gua. Pengujung cukup berjalan pada titian kayu yang dibangun untuk mendukung kegiatan pariwisata.
Secara astronomis Leang Pasaung terletak pada posisi 04°54’45.1” LS 119°36’40.2” BT dengan ketinggian 37 meter dpl, serta ketinggian 4,70 meter dari permukaan tanah. Gua Pasaung berada pada gugusan bukit Mabba Leang dengan arah hadap mulut gua 90°. Gua tersebut termasuk dalam kategori gua kekar lembar (sheet joint), lebar mulut gua sekitar 20 meter, lebar lantai rata-rata 4 meter (2-6 meter) dengan ketinggian langit-langit antara 6-7 meter.
Batas pelataran ke arah selatan hingga batas sawah, selebar kurang lebih 40 meter. Pelataran dimanfaatkan oleh masyarakat menjadi lahan perkebunan, meski demikian tanaman khas karst masih bisa ditemukan di pelataran gua ini.
Penamaan Leang Pasaung diambil dari cerita-cerita penduduk lokal yang mengatakan bahwa dulunya gua ini digunakan untuk “adu ayam” atau dalam bahasa setempat “Pasaung”. Tradisi adu ayam merupakan tradisi populer dalam budaya Bugis-Makassar, bahkan adu ayam diceritakan dalam epos “La Galigo”.
Kemungkinan besar penggunaan gua sebagai tempat adu ayam mengingat lokasinya sangat terisolir yang tidak bisa dijangkau dengan jalan kaki. Hal lain yang menjadi daya tarik Leang Karama terdapat bebatuan dengan lekuk yang menyerupai King Kong, sehingga masyarakat sering menyebut gua ini “Gua King Kong”.
Tidak banyak sisa gambar cadas yang ditemukan di situs ini, hanya satu gambar cap tangan berwarna merah kecokelatan dalam kondisi buram dan dua coretan-coretan berwarna merah kecokelatan. Kondisi ini terjadi akibat pengelupasan dinding gua yang sangat signifikan. Tipe gua yang berbentuk ceruk membuat gua lebih terekspos dari hujan, sinar matahari, dan angin.
Meski demikian, hal menarik dari gambar cap tangan yang tersisa adalah cara membuatnya dengan teknik stensil tangan positif (possitive hand stencil). Teknik ini dilakukan dengan cara membubuhkan cat pada tangan yang kemudian ditempelkan (inprint) pada permukaan dinding gua.
Gambar tangan dengan teknik ini lebih jauh lebih sedikit ditemukan dibandingkan dengan teknik negatif. Kelebihan teknik ini, gambar tangan lebih sesuai dengan bentuk dan ukuran tangan manusia pembuatnya. Bahkan dalam kondisi gambar sangat baik, sidik jari pembuatnya dapat dikenali.
Selain gambar cadas, temuan arkeologi lainnya yang ditemukan di situs Leang Pasaung berupa sisa-sisa aktivitas manusia yang bermukim atau memanfaatkan gua ini.
Menurut Rustam, arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sulawesi Selatan, yang pernah terlibat langsung melakukan ekskavasi di situs ini, temuan dalam ekskavasi tersebut berupa sisa-sisa dapur manusia prasejarah berupa fragmen tembikar, alat batu, fragmen tulang belulang hewan, kerang-kerangan, dan moluska.
“Sampai ke dalam 2 meter, sisa-sisa sampah dapur masih ditemukan,” katanya.
Setelah meninggalkan Kampung Berua, perjalanan dilanjutkan ke situs Leang Batu Tianang yang secara astronomis Leang Batu Tianang berada pada posisi 04°55’33.8” LS 119°36’20.1” BT dengan ketinggian 21 meter dpl. Gua berukuran panjang 13 meter dan lebar 32,5 meter.
Tianang dalam bahasa setempat berarti ‘ibu hamil’, penamaan ini berasal bentuk Bulu Baraka (Gunung Baraka) yang dalam posisi tertentu terlihat seperti ibu hamil. Juga berasal dari bebatuan yang pernah terlihat di kaki gua yang menyerupai bentuk ibu hamil. Menurut Iwan Dento, yang juga selaku juru pelihara situs Batu Tianang, batu itu hilang tanpa diketahui penyebabnya.
Selain nama Batu Tianang, nama lain dari situs ini adalah Leang Baraka. Baraka dalam bahasa setempat berarti ‘berkah’. Oleh penduduk setempat, Gunung Baraka merupakan ibu dari semua gunung karst yang mengitari Rammang-Rammang. Tradisi yang masih berlangsung hari ini, setiap masyarakat yang akan merantau akan mengambil tanah di kaki Leang Baraka untuk dibawa ke tanah perantauan. Tujuannya agar di tanah perantauan akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik atau mendapatkan berkah.
Situs ini paling mudah diakses, tepat berada di kaki Gunung Baraka yang berdiri kokoh di sekitar permukiman padat penduduk di Kampung Tintingang Dusun Rammang-Rammang. Akses jalan paling mudah dengan melewati pekarangan rumah “Café Rumah Kedua” Iwan Dento. Dari belakang rumah Iwan Dento, pengunjung cukup berjalan 50-100 meter dengan waktu tempuh kurang 10 menit.
Vegetasi di sekitar gua berupa semak belukar dan tumbuhan merambat. Gua ini memiliki sumber air di bagian bawahnya, yang selalu ada dan mengalir sepanjang musim. Di sekitar gua juga terdapat kolam-kolam budidaya ikan (tambak).
Struktur geologi Leang Batu Tianang memiliki karakteristik yang sama dengan Leang Karama, berkategori kekar tiang (columnar joint) dan memiliki ukuran ruang yang tidak luas, jarak dari lantai ke langit-langit tinggi, lantai yang miring atau berundak-undak, mulut gua yang tidak lebar tetapi tinggi, dan sering terlihat adanya lorong-lorong (vertikal dan horizontal) yang panjang dan sempit. Kondisi fisik Leang Batu Tianang terdapat stalaktit, stalagmit, dan sinter.
Peninggalan arkeologi yang ditemukan di leang ini yaitu gambar dinding yang jumlahnya sangat banyak dan memenuhi dinding sebelah kiri dan langit-langit ceruk gua. Secara keseluruhan jenis gambar terdiri dari gambar cap manusia, fauna akuatik, manusia, geometris, dan gambar yang tidak bisa diidentifikasi figurnya. Gambar dilukis dengan bahan pewarna merah (oker) dan hitam (arang).
Paling menarik dari gambar cadas Leang Batu Tianang adalah gambar telapak tangan yang berbeda dengan gambar telapak tangan di situs-situs gua prasejarah di kawasan karst Maros-Pangkep-Bone lainnya. Teknik yang digunakan untuk melukis gambar telapak tangan ini yaitu teknik drawing. Teknik ini dilakukan dengan cara menggambar bentuk tangan pada permukaan dinding gua menggunakan pewarna yang bersifat kering.
Dilihat dari posisi gambar tangan yang berada di langit-langit gua yang sangat sempit, kemungkinan pelukis saat bekerja harus berbaring, kemudian telapak tangan diletakkan di permukaan dinding gua, pelukis menorehkan cat merah dengan kuas (kemungkinan ranting kayu yang ditajamkan) mengikuti struktur tangan/jari-jari. Hasil dari pekerjaan ini, gambar telapak tangan yang terlihat hanya outline seperti gambar tangan di atas kertas menggunakan pensil untuk membentuk pola tangan.
Gambar-gambar di situs Batu Tianang pada umumnya masih bisa diidentifikasi figurnya, selain karena gambarnya relatif masih dalam kondisi baik, hasil riset beberapa peneliti bisa dijadikan dasar untuk mengetahui figur dalam gambar-gambar tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian A. Muh. Saiful dan Basran Burhan yang berjudul ‘Lukisan Fauna, Pola Sebaran dan Lanskap Budaya di Kawasan Karst Sulawesi Bagian Selatan’ yang dipublikasikan dalam Jurnal Wallanae tahun 2017, gambar di situs Leang Batu Tianang sebagian merupakan gambar fauna akuatik dengan gambar lainnya yang berasosiasi dengan fauna akuatik, baik yang berwarna merah (oker) maupun yang berwarna hitam (arang).
Hasil riset menemukan dua gambar fauna akuatik teripang dengan penggunaan bahan berbeda, satu lukisan teripang dengan warna merah (pewarna alami oker), satu dengan warna hitam (pewarna alami arang). Teknik yang digunakan untuk melukis yaitu gabungan drawing dan painting, pelukis terlebih dahulu menggambar outline-nya (drawing) kemudian bagian tertentu diberi warna (painting) untuk mempertegas figur lukisannya. Figur fauna akuatik lainnya Ikan yang dilukis dengan bahan pewarna merah (oker) dan Ubur-ubur, lukisannya berwarna hitam (arang).
Selain gambar-gambar fauna akuatik, gambar perahu juga ditemukan di situs Leang Batu Lianang. Gambar perahu berasosiasi dengan fauna akuatik yang dilukis di situs ini.
Menurut Fardi, arkeolog yang pernah meneliti di situs ini. Berdasarkan pendekatan morfologi, struktur, dan perbandingan lukisan perahu di situs Bulu Sipong 1 dan situs Sumpang Bitta, maka dapat disimpulkan gambar tersebut adalah perahu. Kesimpulan Fardi dipertegas dalam penelitian A. Muh. Saiful dan Basran Burhan.
Posisi gambar perahu berada dalam ceruk sempit, sehingga pelukis harus jongkok atau baring untuk memulai pekerjaannya. Dilihat dari struktur gambar, pekerjaan awal pelukis membuat outline sederhana perahu dengan menggunakan teknik drawing. Outline kemudian diberi warna merah pada bagian cadik perahu. Teknik pemberian warna ini disebut teknik painting dengan menggunakan kuas. Umumnya kuas yang digunakan baik kuas lunak maupun kuas keras terbuat dari bambu, rotan, ranting kayu, kulit kayu, atau rambut binatang. Bisa juga dengan cara memakai olesan jari.
Gambar menarik lainnya yang dilukis dengan bahan oker yaitu 7 gambar figur manusia yang sangat sederhana yang berdiri berbanjar dan berpegangan tangan. Figur manusia hanya terdiri dari kepala dengan badan, tangan, kaki, yang dibuat dengan menarik garis sederhana membentuk pola geometris. Sayangnya belum ada hasil riset yang bisa ditemukan untuk menginterpretasi gambar ini.
Menurut Nahar, pemandu lokal, gambar figur manusia ini bisa ditarik benang lurus dengan cerita-cerita lokal. Dahulu kala ketika penduduk Salenrang berencana berperang, terlebih dahulu orang pintar (dukun) membuka lontara, apabila lontara memperlihatkan gambar manusia tanpa kepala maka kemungkinannya kalah perang. Sebaliknya jika gambar di lontara memperlihatkan gambar manusia utuh dan berpegangan tangan maka perang akan dimenangkan.
Nahar memperkirakan gambar manusia tersebut sebagai simbol kemenangan. Hal yang sama disampaikan Iwan Dento, bahwa gambar manusia merupakan simbol pagar, simbol yang menjaga masyarakat Salenrang.
Gambar dinding sebelah kanan terdapat gambar-gambar berwarna hitam yang menyerupai lipan dan beberapa gambar yang tidak dapat teridentifikasi.
Temuan arkeologis lainnya yang dapat ditemukan adalah sampah dapur, jika dilihat dari jenisnya merupakan moluska yang terdiri dari kelas gastropoda dan pelecypoda yang posisinya menumpuk dan berserakan pada lantai dalam gua bagian tengah.
Berdasarkan amatan di tiga situs Rammang-Rammang, umumnya gambar cadas yang terlihat gambar cap tangan dan fauna akuatik dan gambar asosiasinya. Tidak ditemukan gambar fauna teresterial seperti babi dan anoa yang juga sering ditemukan di situs-situs prasejarah kawasan Karst Maros-Pangkep-Bone. Penjelasannya adalah gambar-gambar fauna mengikuti kondisi formologi gua.
Penelitian A. Muh. Saiful dan Basran Burhan menjelaskan bahwa gambar cadas fauna akuatik tersebar di kawasan karst bagian utara sedangkan fauna teresterial di kawasan karst sebelah utara. Leang Karama dan Leang Batu Tianang berada di bagian utara, condong ke barat yang lebih dekat dengan lautan.
Hal menarik dari tradisi gambar cap tangan yang umum ditemukan di gua-gua prasejarah di kawasan karst Maros-Pangkep-Bone termasuk di situs Leang Karama, Leang Pasaung, dan Leang Batu Tianang, tradisi masih berlanjut sampai hari ini dalam tradisi masyarakat Bugis-Makassar.
Arkeolog dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Dr. R. Cecep Eka Permana pada jurnal berjudul ‘Tradisi Gambar Tangan Gua Prasejarah’ yang dipublikasikan dalam Jurnal Seni Budaya Cikini 2017, menjelaskan bahwa dari sisi kajian etnografi di Sulawesi Selatan, gambar-gambar tangan dibuat dalam ritual mabedda bola yaitu upacara membuat cap telapak tangan pada tiang-tiang atau bagian rumah yang menghadap langsung ke bagian depan rumah ketika menaiki (masuk) rumah baru. Tradisi ini masih berlangsung di wilayah Barru, Soppeng, Maros, dan Bone (Sulawesi Selatan).
—
Kunjungan ke tiga situs prasejarah membuka cakrawala kehidupan masa lalu. Keberadaan gambar-gambar cadas manusia prasejarah merupakan kotak waktu yang akan menjawab proses evolusi manusia.
Dalam sebuah diskusi dengan para arkeolog di Taman Prasejarah Leang-Leang Maros, para arkeolog memaparkan lompatan kecerdasan kognitif manusia prasejarah dengan mempelajari tinggalan-tinggalan kehidupan manusia prasejarah termasuk gambar cadas.
Dr. Iwan Sumantri, dosen arkeologi Universitas Hasanuddin, mengatakan bahwa ada kecenderungan manusia saat ini mengasumsikan kecerdasan manusia-manusia prasejarah dalam komunitas berburu-mengumpul memiliki kecerdasan lebih rendah dibandingkan dengan manusia modern.
“Asumsi itu salah besar jika mendalami secara serius tinggalan-tinggalan manusia prasejarah. Gambar cadas salah satu contoh kecerdasan manusia prasejarah,” katanya.
Ia menganalogikan masa renaisans yang mapan di Eropa yang melahirkan pelukis dan perupa seperti Leonardo Da Vinci dan Michelangelo. Begitu juga masa prasejarah, kehidupan manusia prasejarah mapan, surplus hasil berburu-mengumpul membuat mereka memiliki waktu berleha-leha. Waktu senggang inilah yang digunakan untuk melukis di atas permukaan dinding gua.
Pendapat Iwan Sumantri diperkuat oleh Rustam, arkeolog BPCB Sulawesi Selatan yang menganalisis dari gambar cadas yang dihasilkan. Menurutnya, gambar anoa di situs Gua Uhallie di Kabupaten Bone memperlihatkan kecerdasan pelukisnya.
Gambar anoa tersebut sangat realistik (menyerupai aslinya). Siapa pun yang melihat gambar tersebut pasti bisa mengatakan bahwa gambar ini anoa. Untuk menghasilkan gambar yang realistis, pelukisnya harus memiliki kemampuan imajinasi yang tinggi.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Nasruddin (BRIN), yang menyatakan bahwa pemilihan bahan oker yang terbuat dari mineral dan bahan pelarutnya yang bertahan puluhan ribu tahun membuktikan para pelukis prasejarah memiliki kecerdasan yang sangat luar biasa, di luar ekspektasi manusia saat ini.
Pembuktian kecerdasan manusia prasejarah juga disampaikan A. Muh. Saiful, yang menyampaikan bahwa hasil ekskavasi yang pernah dilakukan memberikan kejutan luar biasa.
Risetnya menemukan fakta bahwa manusia prasejarah saat berburu telah menggunakan konsep ekologi, dengan kata lain hewan-hewan buruan yang ditargetkan telah dipilih atau dipilah. Hal dibuktikan dari sisa tulang belulang hewan buruan sebagian besar berumur dewasa, hanya sedikit tulang hewan berusia muda dan tua yang ditemukan. “Hal ini membuktikan adanya kesadaran ekologi dan kesehatan para manusia prasejarah, kesadaran ini hanya dimiliki oleh manusia-manusia yang memiliki kecerdasan yang mapan.”
Para arkeolog ini juga menyampaikan bahwa kawasan karst Maros-Pangkep-Bone merupakan laboratorium raksasa untuk menjawab kehidupan manusia prasejarah dan evolusi manusia. Masifnya temuan situs membuktikan hal itu, sampai saat ini terdapat 519 situs, 364 di antaranya memiliki gambar cadas.
Menurut Rustam, berdasarkan hasil monitoring gua-gua kawasan karst termasuk di Rammang-Rammang, besar kemungkinan akan ada penambahan situs baru setelah dilakukan riset secara mendalam.
Hal paling dikuatirkan para arkeolog adalah eksistensi kawasan karst, masifnya penambangan sangat mengancam jejak-jejak manusia prasejarah.
Rustam menjelaskan bahwa situs Tedonggnge merupakan situs gambar cadas babi tertua di dunia yang berumur 45.500 tahun berada di garis batas konsesi pabrik semen Bosowa. Gambar anoa di Situs Bulu Sipong 4 berumur 43.900 tahun berada di wilayah konsesi pabrik semen Tonasa. Kedua situs ini merupakan situs penting di dunia saat ini.
Kabar baiknya pihak Pabrik Semen Tonasa berkomitmen membangun Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati) di Situs Bulu Sipong 4 dan komitmen Pabrik Semen Bosowa untuk berpartsisipasi mempertahankan dan memelihara Situs Tedongnge. Meski demikian kekuatiran tetap ada mengingat kawasan Karst Maros-Pangkep memiliki kekayaan alam yang akan terus menggoda investor untuk mengeksplotasi kekayaannya.
Pada akhirnya kita berharap besar dengan penetapan kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai Geopark oleh UNESCO bisa membendung ekspansi tambang ataupun aktivitas lainnya yang mengancam eksistensi kawasan karst.
Menurut Dedy Irfan selaku General Manager Geopark Maros-Pangkep, tujuan utama pengusulan kawasan ini sebagai kawasan Geopark yang disertifikasi UNESCO adalah agar karst Maros-Pangkep menjadi perhatian internasional sehingga apa pun yang terjadi dalam kawasan karst akan menjadi sorotan dunia, termasuk di dalamnya Rammang-Rammang sebagai salah satu Geosite.
Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2022