PELAKITA.ID – Susan Herawaty dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan dalam dua tahun terakhir orientasi kebijakan di sektor kelautan dan perikanan tidak lagi progressif.
“Mengalami kemunduran, karena memang yang kami amati setahun terakhir gerakan untuk membicarakan ruang masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sepertinya tidak difasilitasi oleh negara,” katanya saat menjadi pembicara pada KORAL Outlook 2022: Melihat Arah Kebijakan Kelautan dan Perikanan 2022, Rabu, 23/2/2022.
Salah satu yang disorot adalah rencana pemberlakukan Permen Penangkapan Ikan Terukur. Pembicara yang hadir adalah Dedi Supriadi Adhuri, Ph.D, peneliti BRIN, Dr Suhana dari Pandu Laut Nusantara, serta Parid Ridwanuddin, manajer kampanye pesisir dan laut Walhi dan dimoderatori oleh Edo Rahman dari Walhi Eknas.
Susan menyebut itu sembari menyatakan bahwa yang dilakukan Pemerintah adalah bagainana investasi bisa masuk dan mengelola ruang-ruang yang harusnya dikelola oleh masyarakat pesisir dan pulau-pulau.
“Kalau Kiara amati satu tahun perjalanan, yang terjadi adalah merampas. Bukan lagi dari pinggir tetapi ke pulau-pulau kecil, hal ini terjadi malah pesisir menjadi mangkuk besar bagaimana neoliberalisme dan segala bentuk rampasan itu mau didorong ke pesisir dan pulau-pulau kecil,” sebut Susan seraya mengingatkan peserta terkait Wadas.
“Bagaimana kekerasan, perampasan ruang, seolah-olah memang statusnya kawasan strategis dan tidak ada ada yang harus dilihat ulang apakah memang penetapan kawasan ini benar-benar dibangun dalam konteks lebih holistik,” ucapnya.
“Kiara sebagai bagaian dari Koral, pada pemangku kebijakan bertanya, sebenarnya laut Indonesia ni untuk siapa?” tanyanya.
Menurut Susan, pasca UUCK banyak sekali aturan yang dipaksanakan, banyak kasus yang terjadi namun tidak diselesaikan. “Hingga detik iin, misalnya PP 85/2021, tenang PNBP ini tidak lain untuk mengatrol 12 triliun, sebenarnya apa, 12 T ini? Padahal ada skema perlindungan, pemberdayaan dan eksekutingnya, negara harus melaksanakan,” lanjutnya.
Susan menyebut tidak ada satu political will yang kuat, perlindungan untuk nelayan. “Asuransi saja nelayan harus bayar dan tidak bisa diklaim termasuk mengakses BBM,” tambahnya.
“Pertanyaan mendasar dan pemerintah belum bisa jawab, mengatrol 12 tiriliun ini untuk siapa?” tambahnya lagi.
Dia menyebut bahwa terkait kebijakan penangkapan ikan terukur ini publik sedikit terjebak seolah-seolah ini perikanan tangkap semata. Hal yang menurutnya multi aspek, terkait misalnya isu penambangan pasir.
“Karena di dalam RPP PNBP penambangan pasir itu legal saja. Narasi tambang pasir legal sepanjang bayar pajak padahal tidak ada satu pun teknologi yang menjawab ketika laut-laut sudah diambil pasirnya, tidak bisa lagi tidak pulih dan waktu yang cukup lama, korkesi saya jika memanga ada teknologi,” ujarnya.
Hal lain yang juga disinggung Susan adalah pengelolaan ruang laut tentang status kawasan konservasi yang berhadapan dengan penetapan kawasan strategis nasional.
“Di Maluku, ada Sasi, di Papua, bagaimana kalau mereka berhadapan pada penetapan kawasan strategis nasional? Negara mau berposisi di mana nih?” tanyanya.
“WPP dikontrakkan dengan model kemitraan, ini ketika kita sudah berjibaku laut tidak lagi dieksploitasi kapal-kapal asing, hari ini seolah-olah melonggarkan, ini sangat melukai kawan-kawan di daerah perbatasan,” ucap Susan.
Susan menggelitik peserta dialog terkait bagaimana regulasi, kebijakan, penetapan aturan padahal ada status kawasan yang fully exploited seperti lobster.
“Jadi ingat kasus lobster, banyak sekali yang sangat gagah berani tetapi berdasarkan cerita dari kawan-kawan sebenarnya benih lobster sudah jauh berkurang, pertanyaannya apakah sudah dilakukan saintifik atau ini basis kepentingan segelintir orang?” imbuhnya.
Seperti regulasi lobster yang dipaksakan dan diatur seolah-olah dibutuhkan oleh rakyat kecil namun dalam praktiknya jadi bancakan elite KKP.
“Ketakutan kami, WPP yang bisa dikontrakkan akan berpotensi korupsi,” tandasnya.