PELAKITA,ID – Untuk sosodara yang jagoannya tertahan, mau tidak mau, kita harus menerima hasil penjaringan calon untuk tiga besar Rektor Unhas 2022-2026. Itulah kita, Unhas dan potensi yang dimilikinya.
Tiga terpilih, adalah sahabat kita semua, Prof Budu, Prof Jamaluddin Jompa, Prof Farida Patittingi.
Prof Budu saya ‘kenal’ saat dia bicara lantang pada perayaan Dies Natalis Unhas yang impresif tahun ini. Saat itu., anak-anak Kelautan ikut ramai dan berbahagia pada aksi sepeda santai.
Di sana, di momen yang dihadiri banyak guru besar termasuk Prof Jajo dan Prof Farida plus alumni Unhas itu, saya jadi tahu ‘level kecakapan’ berbicaranya di depan publik, bisa membaca semangatnya saat bicara panji-panji Unhas di depan alumni – setidaknya pada saat dia bicara selama kurang lebih 10 menit kala itu.
Tentu itu bukan jaminan bahwa saya sudah mengenal Prof Budu seratus persen, itu secuil dari kesan kawan saya Zainal Siko founder ‘Pigiko Keliling’ yang menurutku cukup paham perjalanan karir Budu.
Zainal atau Deng Enal, pernah japri saya, Dennuntung, Prof Budu itu orang Maros yang pejuang, dia punya banyak cerita masa muda, masa lalu dan suka dukanya saat menimba ilmu di luar negeri.
Zainal ingin bilang kalau Prof Budu adalah salah satu ‘bentuk perlawanan orang biasa’ di Sulsel yang bisa eksis dan menembus batas-batas eksistensi terhormat seperti ‘kelas dokter’ yang selama ini dikenal hanya milik kalangan dan kelas tertentu.
Prof Budu, dari namanya kita jadi mengembara ke suasana ‘biasa’ dari pedalaman Sulsel. Namanya yang sangat Sulsel, nama yang terhormat dan mengakar.
Dia calon Rektor Unhas peraih suara terbanyak sebelum jatuh pilihan. Banyak pihak menyebut dia unggul banyak suara karena memelihara pertemanan dalam satu dekade terkahir. Dia pernah ikut pemilihan rektor sebelumnya dan dianggap ‘humble’ dan pekerja keras.
Yang kedua, peraih suara terbanyak adalah Jamaluddin Jompa.
Untuk saya, ini kejutan, tetapi kalau mencermati lebih dalam lagi, rasanya tidak juga sebab dia adalah Dekan Pasca Sarjana Unhas. Dia punya kekuatan untuk membangun jejaring dan kedekatan dengan beberapa guru besar pengajar di sana.
Belakangan ini saya jarang bertemu atau ngobrol langsung tetapi saya membaca sepak terjangnya di ranah kelautan dan perikanan termasuk di kelas Pasca Sarjana Unhas. Dia direktur di situ. Dia pun pilar pada Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia AIPI, organisasi terhormat untuk para peneliti dan ilmuwan muda Indonesia.
Dosen saya di Ilmu dan Teknologi Kelautan ini adalah sosok yang asik diajak bicara apalagi sains dan filsafat.
Prof Jajo, begitu sapaan kami, adik-adiknya adalah sosok pembelajar ulet. Dia kelahiran Pinrang setahuku. Dia jago terumbu karang dan ekologi laut secara umum.
Ada banyak momen dimana saya mengikuti paparannya di webinar atau seminar tetapi yang paling berkesan saat dia berbagi pengalaman dengan beberapa mahasiswa asal Australia yang datang ke Puntondo, Laikang nun lampau.
Dia saat itu didapuk sebagai pembicara bersama Prof Darmawan Salman. Jajo begitu cair, lancar dan meyakinkan saat bicara dengan Bahasa Inggris di depan mahasiswa asal Australia itu. Ya, iyalah, dia bertahun-tahun tinggal di Australia. Dia punya jejaring luas di Kementerian Kelautan dan Perikanan dan KLHK.
Banyak cerita jika menyebut kedekatan kami dengan Prof Jajo, selain berasal dari kefakultasan yang sama, juga karena beberapa kali berinteraksi dalam proyek kelautan seperti COREMAP I dan II.
Pernah ada satu momen dimana saya dan beberapa kawan Kelautan cukup gamang saat dia menjadi tenaga ahli Pemprov Sulsel untuk ‘mengcounter’ perlawanan aktivis lingkungan atas kegiatan reklamasi dan pembangunan CPI beberapa tahun lalu. Saya sempat kepikiran, harusnya bukan dia yang berani pasang badan di proyek itu.
Prof Jajo adalah kebanggaan kita semua. Dia mewakili guru besar Unhas yang tak pernah diam di singgasana guru besarnya.
Pengalaman organisasinya dalam dan kuat, diapun mempunyai jejaring internasional yang mumpuni, dia adalah konsep ideal bagaimana seharusnya guru besar berkiprah. Hai Prof Jajo, apa kabarta?
Lalu yang ketiga adalah Prof Farida Patittingi. Namanya lekat di hati saat aktif membagikan perspektifnya pada kasus tanah di sekitar Jambatang Bassia. Terkait status lahan tanah Jen Tang tahun 2010-an.
Saya menonton Prof Farida di TVRI saat dia bicara perlunya mengecek status konflik tanah di situ dan perlunya menguak tabir di baliknya.
Prof Farida meraih suara ketiga terbanyak dan layak jadi pertimbangan Menteri Nadiem untuk dipilih sebagai Rektor Unhas. Dia adalah salah satu tipikal guru besar Unhas yang piawai di atas panggung. Retorika dan pilihan diksinya ciamik. Dia pun semangat saat diminta baca puisi.
Saya kira, dia sangat paham bagaimana hakikat guru besar diejawantahkan pada pengabdian sosial, menyampaikan gagasan, argumentasi dan bergaul dengan luwes dan luas. Jaringannya dengan aktivis kampus Unhas tahun 80-an dan 90-an sangat kuat.
Terakhir bertemu dengannya di FH Unhas, saya duduk di sampingnya, dia menunjukkan nomor urut pemilihannya sebagai ‘nomor 1’. Lalu bertemu lagi di Galesong. Dia sempat jadi moderator saat 9 Hakim Konstitusi hadir di Galesong dan membuka ruang dialog.
Prof Farida adalah perempuan yang aktif berorganisasi. Dia ketua IKA Kagama untuk Sulsel. Guru Besar Agraria ini mempunyai peluang memadai untuk melanjutkan ciptakerja Prof Dwia.
Sosodara, itu catatan saya tentang pesona ‘persona’ ketiga calon Rektor Unhas yang sebentar lagi akan dipilih oleh Pak Jokowi, eh, Mas Menteri.
Bemana dengan kita’?
K. Azis (founder Pelakita.ID)
Tamarunang, 16/12
Catatan kaki:
noun
- 1.the aspect of someone’s character that is presented to or perceived by others:“her public persona has been sold to millions of women as the ideal”