PELAKITA.ID – Ada yang mengesankan saat menikmati makan malam di Kampung Bajo Mekar kali ini. Selain ikan beronang dan ikan kerapu lazimnya kala menikmati sajian di kawasan ini, nampak seekor kakap putih Barramundi Cod.
“Ini ikan hasil pembesaran di keramba kami pak,” ucap Naing (41) nampak bangga saat mendengar pujian, Jumat, 12/11/2021. Dia pun tak sungkan untuk mengajak ke kerambanya malam itu.
Ditemani Sofri, alumni Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UHO, Naing mengajak Pelakita.ID bersampan dan menyeberang ke keramba apung miliknya di lepas pantai Desa Mekar, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Kami tiba setelah kurang lebih tiga menit mengayuh sampan. Pria yang biasa disapa Bapak Uci itu menyalakan beberapa lampu. Terdapat hammock dan satu bilik serupa Gudang di atas petak keramba.
Pada beberapa kotak keramba nampak ikan-ikan ukuran kecil dan beberapa ekor kakap, juga lobster. Keramba nampak terang benderang. Belasan lampu bersinar.
Bapak Uci berjongkok dan menunjukkan lobster sepanjang sekira 15cm yang menempel di jaring keramba. Ada puluhan lobster di dua petak keramba. “ini pak yang menempel di jaring, jelas sekali,” katanya.
Lobster beranjak dewasa asal perairan Pulau Muna tersebut adalah beberapa yang masih tersisa dari hasil pembesaran sejak delapan bulan lalu yang diinisiasinya bersama Pengurus Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) DPW Sulawesi Tenggara.
Di atas keramba jaring apung yang menggunakan papan nama organisasi Miara Dayah, Bahasa Bajo yang berarti memelihara ikan itu, Naing bercerita tentang apa yang disebutnya ‘gayung bersambut’.
Tantangan pembesaran
“Saya punya pengalaman membesarkan ikan bawal dan lobster sejak tahun 2000. Lokasinya di sini, tetap di sini. Jadi sudah tahumi beberapa cara dan warga di sini sudah tahu kalau Bapak Uci itu punya keramba,” katanya saat ditemui Pelakita.ID, 12/11/2021.
Naing mengelola keramba jaring apung sebanyak 15 petak. Saat ini hanya ada 4 yang berisi ikan dan udang. Dua berisi lobster yang sudah relatif besar, ikan kakap putih dan lobster muda.
“Awalnya ada puluhan yang kami tebar. Ada kurang lebih 100 ekor. Benih lobster dari perairan Raha, Muna, Mawasangka, Buton. Sekilo lobster saat itu isinya ada 3 atau 4 ekor, ada pula 7 hingga 8 ekor,” katanya. Perolehan benih lobster ini menurut Naing tidak mudah.
“Butuh waktu seminggu lebih untuk ada kepastian benih. Kami pesan dan pedagang di sana siapkan. Diantar ke sini pakai cara khusus.. Untuk pakan, selain pakan alami, ikan rucah kami juga siapkan beberapa pakan tambahan” katanya.
Tentang situasi di kerambanya saat ini. Ada beberapa petak yang kosong karena memang sudah dipanen lebih awal.
“Banyak yang mati perlahan, satu demi demi satu. Tanda-tandanya ada bengkak di bawah perut lobster, kekuningan. Dugaannya karena hujan tinggi, lumpur, apalagi sejak banyak galian di sepanjang jalan,” katanya.
“Usia lobster yang kami panen lebih awal ini usainya 10 bulan. Pada usia 8 bulan sudah mulai kena penyakit tapi tidak sekaligus mati,” ungkapnya.
Dukungan ISKINDO Sultra
Naing bercerita kalau lobster sudah lama menjadi pilihan untuk dibesarkan. Sejak tahun 2000-an. Ide membesarkan puluhan ekor benih lobster karena mendapat dukungan dari Pengurus Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINODO) Sulawesi Tenggara sejak tahun lalu.
Selain itu, ISKINDO Sultra juga membantu membangun komunikasi dengan Balai Budidaya Perikanan Laut BBPL Ambon untuk dapat dipasok benih ikan kakap putih, atau biasa disebut Barramunci Cod.
“Ikan kakap putih ini juga awalnya mengkhawatirkan karena setelah kita tebar selama tiga bulan, satu persatu mati. Dalam sehari bisa sampai 50 ekor. Ukuran awalnya 3 cm,” tambahnya.
Menurut Naing, untuk lobster ada sekitar 15 kilo yang ditebar. Jadi kalau misalnya 15 kilo x 7 maka ada seratusan lobster. Setelah ‘panen cepat’ tersebut dia masih mendapat nilai penjualan lobster Mutiara Rp11 juta.
“Uang ini seharusnya kami kembalikan ke Iskindo tetap oleh pengurus kami diberikan lagi dan dipakai untuk pengembangan usaha,” ujarnya.
“Supaya tidak banyak mati kami panen cepat. Saat ini ada 33 ekor lobster Mutiara. Sekitar 60-an total termasuk lobster pasir,” jelasnya.
Sementara itu, untuk pembesaran kakap putih, Naing optimis, sangat prospektif meski saat ini kondisi lingkungan sangat berisiko. Setidaknya dari pengalaman membesarkan ribuan ekor ikan kakap putih saat ini ada beberapa yang bisa bertahan. Bahkan mencapai 3 kilogram. Harganyanya mencapai 60 ribu/kilo.
“Kalau saya tetap besarkan ikan dan lobster di situ. Karamba ini sangat cocok karena saat surut terendah air masih mencapai dua meter,” katanya. “Tahun ini memang hujan sering turun, sejak Mei sudah deras sampai September 2021.”
Naing memuji beberapa sosok di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Halu Oleo yang selama ini banyak memberi dukungan, kemudahan, dan bantuan untuk pengembangan pembesaran ikan dan lobster termasuk pembelian lobster seharga Rp550 ribu per kilo.
“Kami dibantu melalui pelatihan. Instrukturnya dari UHO, seperti Pak Lo Ode Yasir dan Pak Awier. Ini program kami bersama Iskindo Sultra, bekerjsama dengan kelompok Miara Daya, Desa Mekar,” sebutnya.
Sebelum kembali ke darat, Pelakita.ID bertanya. “Tidak takut lobster dan ikan kakap putih yang sudah besar itu diambil orang?”
“Kalau orang sini, mereka sudah tahu saya, kalau peniliknya Bapak Uci yang sudah 20 tahun usaha begini,” jawabnya diplomatis terdengar optinis.
Ayo, siapa mau bantu Pak Naing tambah volume usahanya. Toh dia sudah berhasil besarkan kakap putih dari ukuran 3 cm menjadi 20 cm seberat 3 kgs setelah 1,3 tahun. Lobster dari ukuran 150 gram menjadi 0,8 kilogram setelah 9 bulan.
Penulis: K. Azis