Di Jepang, mereka tidak hanya tahu apa yang benar tetapi mau melakukan apa yang benar sebagai bagian dari kehidupannya.
PELAKITA.ID – Sebuah kisah fenomena zebra cross pernah ramai di medsos. Singkat ceritanya, seorang karyawan yang ditugaskan oleh pimpinan mendampingi tamu relasi perusahaan dari Jepang untuk melihat objek wisata di salah satu kota di Indonesia.
Ketika mereka ingin menyeberang jalan, sang tamu selalu berusaha untuk mencari zebra cross. Dia tetap tidak terpengaruh oleh situasi orang-orang di sekitarnya, dengan mudah menyeberang di mana saja sesukanya.
Sang tamupun hanya geleng-geleng kepala melihat perilaku masyarakat dan juga para pengemudi yang meskipun sudah ada zebra cross tetap saja tidak mengurangi kecepatan guna memberi kesempatan pada para penyeberang.
Sang karyawan bertanya fenomena yang baru saja dialami, mengapa orang-orang di negara ini menyeberang tidak pada tempatnya, meskipun mereka tahu bahwa zebra cross itu adalah sarana untuk menyeberang jalan.
“Kenapa anda selalu tetap mencari zebra cross meskipun tidak semua jalan di negara kami dilengkapi dengan sarana tersebut?” tanya kawan.
Pelan-pelan dia menjawab, “It happens because of the education system.”
Dia kemudian melanjutkan penjelasannya, “Sistem pendidikan di dunia ada dua, yang pertama adalah sistem pendidikan yang hanya menjadikan anak-anak kita menjadi makhluk ‘knowing’, sedangkan yang kedua sistem pendidikan yang mencetak anak-anak menjadi mahluk ‘Being“.
Contoh sederhana terjadi di sekitar kita, hampir semua anak mengetahui bahwa menyontek dalam ruang ujian, membuang sampah sembarang tempat, menyerobot antrian atau melanggar peraturan yang ada, adalah perbuatan yang tidak baik dan secara moral tidak bisa diterima. Namun kenyataan banyak yang melakukannya.
Di Jepang, mereka tidak hanya tahu apa yang benar tetapi mau melakukan apa yang benar sebagai bagian dari kehidupannya.
Kenapa mereka bisa begitu? Ini soal perilaku. Perilaku itu bukan diturunkan melainkan dibentuk. Bagaimana membentuknya?
Melalui pendidikan karakter yang diajarkan pada anak sejak usia mereka masih sangat dini agar terbentuk sebuah kebiasaan. Kejujuran dan etika moral adalah menjadi prioritas utama, sedangkan kepintaran itu dikembangkan kemudian.
Sistem pendidikan di Jepang dan beberapa Negara maju lainnya benar-benar diarahkan untuk mencetak manusia-manusia yang menjadi mahluk ‘Being’, atau mau melakukan apa yang benar sebagai bagian dari kehidupannya, bukan menjadi ‘Mahluk Knowing’, hanya sekadar ‘Mengetahui’ bahwa: Tempat sampah adalah untuk menaruh sampah dan Zebra cross adalah tempat menyeberang.
Thomas Lickona, seorang psikolog perkembangan di State University of New York, menekankan, salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik, walaupun secara kognitif ia mengetahuinya (moral knowing), yaitu karena ia tidak terbiasa untuk melakukan kebajikan (moral action).
Olehnya itu, orangtua maupun guru tidak cukup memberikan pengetahuan tentang kebajikan, namun harus terus membimbing agar anak mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilia-nilai kebajikan sampai pada tahap implementasi dalam kehidupan anak sehari-hari.
Pendidikan karakter anak hendaknya menjadikannya terbiasa untuk berperilaku baik, sehingga ia menjadi terbiasa dan akan merasa bersalah kalau tidak melakukannya.
Kedisiplinan, tenggang rasa, beretika moral, berperilaku menghormati, bersih dan lain-lain, tidak cukup diajarkan dengan buku di ruang kelas. Semua itu adalah kebiasaan, yang ditumbuhkan dari interaksi keseharian.
Dalam hal berpikir, penghayatan proses berpikir itu lebih penting ketimbang materi pelajaran itu sendiri.
Seringkali di sekolah hanya untuk menuntaskan materi sesuai dengan ketetapan kurikulum, ketimbang mereka membekalinya tidak hanya ‘tahu’ mereka juga ‘mau’ menerapkan ilmu yang diketahui dalam keseharian hidupnya.
Duh!
Editor: K. Azis