PELAKITA.ID – Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia, Retno Marsudi, melakukan diplomasi ulang-alik (shuttle diplomacy) untuk memperkuat kerjasama Indonesia-Jepang dan Indonesia-China sekaligus menjaga keseimbangan hubungan Indonesia dengan kedua kekuatan besar Asia ini.
Sebagaimana diberitakan, Menlu Marsudi melakukan kunjungan kerja ke Tokyo dan melakukan pertemuan bilateral dengan Menlu Jepang, Toshimitsu Motegi, pada Senin (29/3) lalu. Hanya berselang beberapa hari, Menlu Marsudi juga bertemu dengan Menlu China, Wang Yi, Jumat (2/4/2021) di Wuyi, Provinsi Fujian.
Jepang dan China tentu saja sangat penting bagi Indonesia mengingat besarnya kekuatan ekonomi, politik internasional maupun militer mereka (terutama dalam konteks kebangkitan China sebagai kekuatan dominan di kawasan maupun di dunia internasional)
Diplomasi Menlu Marsudi dengan sejawatnya di Jepang dan China tentu membahas sejumlah topik penting, namun tak pelak lagi memperkuat kerjasama untuk menghadapi Covid-19 dan pemulihan ekonomi di tengah situasi pandemi ini tentu adalah salah satu agenda terpenting. Diplomasi ulang-alik ini dipastikan sekaligus membahas sejumlah agenda mendesak termasuk bagaimana Jepang, China, Indonesia maupun ASEAN menyikapi krisis di Myanmar dan keamanan kawasan.
Akses setara pada vaksin
Terkait pandemi Covid-19, topik kesetaraan akses pada vaksin (vaccine equity) tampaknya mendominasi pembicaraan. Menlu Marsudi, Menlu Motegi maupun Menlu Yi menyepakati betapa mendesaknya kerjasama regional Asia Pasifik maupun kerjasama internasional untuk mengatasi nasionalisme vaksin.
Nasionalisme vaksin berupa kebijakan dan tindakan sengaja sejumlah negara (umumnya negara maju dan kaya) yang hanya memprioritaskan pemenuhan kebutuhan vaksin bagi negara dan warganya sangat menghambat upaya mewujudkan kesetaraan akses pada vaksin dan menciptakan keselamatan bersama.
Keselamatan bersama hanya bisa dicapai apabila pasokan dan cakupan vaksinasi Covid-19 memadai serta menjangkau sebagian besar warga dunia. Seharusnya tak ada satupun negara yang terhambat dalam mandapatkan pasokan vaksin yang dibutuhkan warganya.
Untuk itu harus ada kesepakatan mengenai mekanisme untuk mengatasi nasionalisme vaksin sekaligus membuat vaksin Covid-19 bisa diakses oleh semua negara, termasuk negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Menlu Marsudi, Menlu Motegi maupun Menlu Yi menyepakati pula perlunya kerjasaman lebih kuat antara Indonesia-Jepang dan Indonesia-China untuk memperkuat kerjasama riset, kapasitas sains dan teknologi Indonesia untuk pengembangan industri bahan baku dan produksi vaksin nasional negeri ini. Agenda ini sangat strategis meskipun tentu saja membutuhkan komitmen besar untuk benar-benar dapat mewujudkannya.
Krisis Myanmar
Selain masalah Covid-19, krisis Myanmar turut pula menjadi agenda utama pertemuan Menlu Marsudi dengan sejawatnya di Jepang dan China. Kedua negara sahabat ini juga mendukung upaya dan tawaran ASEAN membantu Myanmar dapat keluar dari krisis yang sudah menelan banyak korban jiwa.
Jepang dan China menyatakan mendukung inisaitif Indonesia untuk mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN membahas krisis ini.
Menlu Motegi mengecam keras krisis Myanmar yang telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan mencatat jumlah korban jiwa terbesar pada tanggal 27 Maret 2021 lalu. Menlu Marsudi dan Menlu Motegi juga berbagi keprihatinan yang serius terhadap kelanjutan dan penguatan percobaan di negeri tersebut yang ingin mengubah status-quo secara sepihak dengan menggunakan kekuatan.
Menlu Marsudi dan Menlu Motegi mengkonfirmasi pula pentingnya negara-negara yang berbagi nilai-nilai yang sama seperti Jepang dan Indonesia untuk juga berbagi pemahaman dan memprakarsai terbentuknya ketertiban internasional yang bebas dan terbuka berdasarkan supremasi hukum. Dengan demikian perdamaian, kestabilan dan kemakmuran di masyarakat internasional dapat dijaga bahkan diperkuat.
Menlu Yi tak ketinggalan menyatakan kekhawatiran yang sama dengan Menlu Marsudi mengenai Myanmar, termasuk pengguanaan kekuatan berlebih oleh pihak Junta terhadap demonstran. Namun baik Indonesia, China maupun ASEAN sama-sama memiliki dilema terkait Myanmar yakni prinsip non-interferensi. Indonesia, China maupun ASEAN secara tradisional menghindari interferensi yang terlalu keras pada urusan negara-negara tetangganya di kawasan.
Namun terlepas dari itu, kunjungan Menlu Marsudi ke Jepang dan China dalam rentang waktu berdekatan jelas menunjukkan diplomasi ulang-alik pihak Indonesia di tengah pesaingan Jepang dan China serta kebangkiran China sebagai kekuatan dominan di kawasan maupun di dunia internasional. Sebagai negara dengan kekuatan menengah (middle power), Indonesia memang harus cerdas menjaga keseimbangan dan memposisikan dirinya dalam persaingan para raksasa tersebut.
Penulis:
Rifqy Tenribali Eshanasir adalah mahasiswa jurusan hubungan internasional di Ritsumeikan Asia Pacific University, Beppu, Jepang dan alumnus SMA Islam Athirah Bukit Baruga, Makassar.