“Sudah tiga kali panen tapi belum memuaskan. Kita juga jadi sulit, aku pulang dululah kebetulan ada keluarga pesta.”
PELAKITA.ID – Setelah menikmat teh tarik dingin dan roti khas Warung Kopi Aseng alias Indra, Kota Tarakan yang fenomenal itu, kami bergeser ke Pelabuhan Tengkayu. Mobil melata perlahan. Merangsek ke tapak dermaga yang sedang ramai. Tak mudah sebab meski lebarnya tak lebih 4 meter namun mobil bebas keluar masuk, apalagi motor.
Saya masih di mobil dengan mood dibelit kantuk perjalanan dinihari dari Jakarta ketika seorang pria gegas mendekat. Sebentar lagi speedboat Sadewa akan berangkat ke perbatasan Sebatik – Tawau.
“Biasanya berangkat pukul 9.30.” begitu kata Ilham, kawan perjalanan asal Kendari.
Terbahak di Tengkayu
“Nyamuk, Nyamuk, Nyamut, Nyamut!”
Orang-orang berteriak memanggik nyamuk. Sesekali terdengar sebagai ‘nyamut’. Sungai Nyamuk, begitu nama lokasi yang kami juga tuju. Sungguh! Kantuk saya hilang setelah mendengar kata itu.
“Mau ke mana boskuuu…,” begitu sapa pria tersebut dengan aksen asal Sulawesi Selatan sembari membungkukkan badan. Saya terbahak dalam hati, teringat kampung halaman di selatan Sulawesi, teringat pusat-pusat keramaian di Makassar. Juga panggilan boscuuu yang berkelas itu.
“Sunyai Nyamuk?” lanjutnya merangsek. Matanya terlihat bersahabat. Tapi saya menepisnya dan menggeleng. Tak bersuara sebab ada banyak yang bertanya. Ramai sekali.
“Nyamuk? Nyamuk? Segera berangkat…” Mereka mendekat dan bertanya sekaligus mengajak. Saya teringat teriakan para agen angkot pete-pete di sudut Pasar Sentral kota Makassar.
Kamis pagi, 12 September 2018 itu, berenam, kami baru saja sampai setelah menempuh penerbangan dari Jakarta kurang lebih dua jam setengah dan bersiap menyeberang ke Pulau Sebatik, tepatnya di bagian utara.
Kami berangkat via Tarakan dengan menumpang speedboat berkapasitas 30 orang. Milik perusahaan penyeberangan bernama Sadewa.
Dua orang kru speedboat terdengar sangat Makassar.
“Ada semuami penumpang, Antong!” Seorang pria berjaket hitam berteriak dari bokong tumpangan kami sembari membelakangi pintu masuk ke speedboat. Dia terlihat serius mencatat dan memeriksa tiket penumpang yang telah disobek oleh petugas berbadan gempal lainnya.
Biaya menyeberang itu dikenakan Rp. 230 ribu dari Tarakan untuk tujuan Sungai Nyamuk.
“Ka lammalo Tawauja nakke, sampulollimambilangngangmo. Lampai na’lampa ri Sabate’, doakanga nah,” kata seorang pria bersongkok haji di depan saya. Intinya dia berbicara dalam bahasa Makassar dan mengatakan akan masuk ke Kota Tawau lalu menyebut angka. Dia mengabarkan kalau sedang mengarah Sebatik.
Pria berpeci haji dan berjanggut rapi itu berasal dari Je’neponto Sulawesi Selatan. Mengaku akan masuk Tawau. Di belakang, suara dan aksen berbeda menyembul dari ruang dengar saya.
“Iko denre majjempu?” ucap seorang pria lainnya. Aksennya mengingatkanku pada komunitas berbahasa Bugis, antara logat Soppeng atau Sinjai.
Begitulah suasana di pelabuhan Tengkayu, Tarakan pagi itu. Dari titik ini mobilitas orang-orang bermula. Mereka menyebrang ke Sebatik dan dari situ menyeberang ke Tawau. Di Sebatik Utara, di pelabuhan baik milik Angkatan Laut maupun milik Kementerian Perhubungan, Kota Tawau di beranda sebuah gunung terlihat lebih ramai dari Sebatik.
Kota ini pula yang menggoda para pendatang dari Sulawesi, dari Sulawesi Selatan untuk berkunjung.
Di Sebatik menurut seorang kawan yang pernah menjadi anggoa DPRD di sana umumnya dihuni orang dari Sulawesi Selatan. Sementara seorang lainnya menyebut Sebatik identik dengan Soppeng, satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang nir laut, tak ada pesisir namun warga mereka betah di pulau itu. Bertahun-tahun, membentuk komunitas.
Sebatik bisa jadi sasaran antara sebab mereka umumnya ingin menyeberang ke Malaysia, titik destinasi yang menawarkan mimpi untuk sejahtera.
Apa yang saya lihat di Tengkayu adalah potret kehidupan di perbatasan Indonesia – Malaysia, potret yang juga mengingatkan saya pada Pasar Sentral di Makassar, pada pelabuhan Paotere atau desa-desa di pesisir Sulawesi.
Deskripsi di atas adalah napas Kota Tarakan pagi ini, kota yang dapat ditempuh selama dua jam lebih penerbangan dari Makassar atau Jakarta. Atau, 3 hari 2 malam dengan menggunakan perahu bermesin dalam.
Pagi itu, sebentar lagi speedboat akan menderu ke utara. Hampir semua penumpang terlihat menggunakan pelampung kecuali beberapa lainnya yang fokus di gadget dan terlihat sebagai pelancong dengan sepatu kulit. Sebagian besar menggunakan bahasa dan logat Sulawesi Selatan.
Mereka akan menuju Sungai Nyamuk, sebagian akan tinggal di Sebatik, sebagian lainnya akan menyeberang ke Malaysia, mengulang denyut kehidupan yang telah dirintis sejak lama meski tak selalu mudah karena pasang surut kebijakan antara kedua negara bertetangga namun satu rumpun ini.
Lelaki Murung dari Sei Menggaris
Cerita ini tak menawarkan kelucuan. Suasana berbeda dengan cerita sebelumnya.
Siang ini itu, pesawat dari Bandara Juwata sebentar lagi takeoff. Saya duduk selonjoran dekat jendela. Kursi tengah kosong lalu di kursi H seorang pria duduk mematung, seperti merenung. Bak terbelit akar tunggang persoalan.
Pria itu berkulit legam, raut dan rangka wajahnya menunjukkan kalau dia pekerja keras. Rambutnya seperti tak akrab sapuan sisir.
Saya membaca suasana murung jelang penerbangan tujuan Kota Makassar itu. Dia sesekali melepas pandangan ke depan saya, tembus ke jendela. Saya membiarkannya sekira 10 menit sebelum memulai perbincangan.
“Dari Tarakan-ki juga?” kataku sok tahu bahwa dia berasal dari Sulawesi Seatan. Saya coba menguak obrolan.
“Aku dari Sei Menggaris, Tarakan juga,” itu yang saya dengar darinya pertama kali.
“Mau pulang karena ada keluarga pesta,” tambah pria tersebut. Sebut saja Daeng Paname.
Dia bercerita perihal keberadaannya di Tarakan dalam setahun terakhir. Dia pekerja tambak milik pengusaha di Tarakan, sebut saja Aji Doang.
“Di mana beli tiket pesawat?,” tanyaku layaknya jurnalis. Wajahku kudekatkan ke sisi dia. Lamat-lamat.
Dia sebut satu tempat dan mengaku bahwa keberangkatannya ke kampung halaman ini setelah mendesak pengusaha tersebut untuk diberinya uang pembeli tiket.
“Kata bos, uang hasil penjualan udang kemarin disimpan dulu, nanti panen berikutnya baru dikasih ke aku,” katanya.
“Beberapa waktu lalu panen dua kuintal sekitar 200 kilo uang kalau harga udang 100 ribu perkilo, ya dapat 20 juta,” ucap pria yang mengaku tinggal di salah satu kampung di utara Makassar ini.
Sudah setahun dia bekerja untuk usaha pertambakan di Tarakan. Dia sebut hanya dapat 1 juta setelah dipotong oleh pemilik tambak pada panen seminggu lalu. Angka serupa juga dia peroleh di panen-panen sebelumnya.
Tugasnya menjaga tambak, membersihkan pematang dan memberi pakan ke udang saban hari, pagi, siang atau petang.
“Sudah tiga kali panen tapi belum memuaskan. Kita juga jadi sulit, aku pulang dululah kebetulan ada keluarga pesta,” katanya datar.
Daeng mengelola tambak yang isinya udang Sitto. Dia mendapat persen dari total nilai jual, hal yang menurutnya memberatkan sebab dalam prosesnya banyak keluarga pemilik yang ikut mengambil 10 sampai 20 kilo padaha udang belum ditimbang.
“Hasil hitungannya pasti berkurang kalau saat panen,” katanya.
Lalu bagaimana dia bisa bertahan dengan pendapatan 1 juta setiap selesai panen itu?
“Saya cari kepiting bakau. Di Pantai Tarakan yang banyak bakau banyak pula kepitingnya. Besar-besar,” katanya. Dari kepiting bakau itu dia dapat uang tambahan, melampaui uang hasil panen berkala. Uang satu juta yang dia peroleh dari panen udang tergerus untuk biaya rokok yang dahsyat.
“Masih mau balik ke Tarakan setelah ini?” tanyaku.
“Saya mau istirahat dulu,” balasnya.
Saya membaca kesedihan yang berlarut-larut di wajah Daeng Paname, situasi berbeda yang sering dibincangkan orang tentang uang ratusan juta dari berbisnis budidaya udang di sepanjang Pesisir Kalimantan Timur hingga Utara.
Ada banyak sosok seperti Daeng Paname yang memilih meninggalkan kampung halaman demi menjadi penjaga tambak di Kalimantan. Mereka bagian dari praktik konversi areal mangrove menjadi tambak.
Sudah bertahun-tahun. Pengalaman mereka bertambak di Pangkep, Maros hingga Pinrang adalah pengalaman sekaligus pelajaran bagi kampung-kampung pesisir di Kalimantan.
Sejak bertahun-tahun lalu, Kalimantan terutama di pesisir, adalah destinasi para pengelana, perantau, pelaut dan pekerja asal Sulawesi Selatan atau Barat, dari Bugis, Makassar, Toraja, Mamasa, hingga Mandar.
Mereka datang untuk beragam kepentingan salah satunya karena tergiur prakik pembukaan lahan tambak yang semakin intensif sejak 10 tahun terakhir. Membentang dari Kalimantan Selatan, dari Kintap, Bontang, Balikpapan, Penajam, hingga Tarakan.
Cerita Daeng Paname di atas mungkin satu dari sekian warga Sulawesi Selatan yang keliru dalam menggantungkan harapan di usaha pertambakan. Atau contoh tentang mereka yang masih mengira berbisnis tambak udang akan sama ketika masa-masa tahun 80-an lalu dengan itu bersusah payah melintasi lautan luas.
Penulis: K. Azis