“Tujuan utama pertanian bukan semata untuk menanam tetapi merawat dan demi kesempurnaan umat manusia.” Masanobu Fukuoka, The One-Straw Revolution
PELAKITA.ID – Meski sebagai alumni Kelautan dan telah bekerja selama 8 tahun pada pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau di Makassar, Pangkep dan Selayar sejak tahun 1996, saya ‘terpaksa’ putar haluan ke daratan dan menggeluti bidang perkebunan pada 2004 kala itu.
Tahun 2004, saya gabung megaproyek kakao LSM Amerika bernama ACDI/VOCA dan menjadi Provincial Training Coordinator untuk Sulawesi Selatan sebelum ke Aceh-Nias 2006.
Ada dua kabupaten penghasil kakao yang saya selami selama dua tahun itu. Luwu dan Luwu Utara.
Saya berinteraksi, mewawancara petani kakao serta bersama menganalisis isu dan menyusun rencana aksi kelompok untuk keberlangsungan fungsi organisasi mereka, meski poyek selesai kelak.
Ini sebagai bagian dari program pengorganisasian pekebun dan kelompoknya yang didorong ACDI/VOCA waktu itu. Kantor pusat proyek di Jalan Adyaksa Makassar.
Saat itu, kantor lapangan saya di Kota Palopo dan rutin beroperasi, berkendara roda dua dari Suli di selatan hingga ujung Malangke dan Bone-Bone di utara.
Saya banyak belajar pada pakar kakao seperti Haerul A. Wajuanna, Suharman dan H. Haeruddin, juga dengan para teknisi lapangan SL-PBK ‘field technician’ seperti Syahrir, Agus, A. Baso Parana, Inna, Agung, Ridwan, Nincy Kasa, Kamil A. Kuna, Zulkifli, hingga Muhammad Amin. Di proyek ini saya juga bertemu kali pertama setelah tamat SMA, dia adalah Santy Reza Rieuwpassa, teman sekelas di III Bio 4.
Kembali ke cerita pekerjaan lapangan.
Saya berkunjung ke tidak kurang 100 kelompok pekebun kakao yang terbentuk sebagai muara alumni Sekolah Lapang (SL) Petani Kakao yang fokus pada pengelolaan kakao terpadu dengan ‘musuh’ utama hama penggerek buah kakao atau cocoa pod borer.
Singkat cerita, hingga 2005, saya memfasilitasi penguatan kapasitas kelompok pekebun kakao di Lamasi, Sabbang, Mappedeceng, Baebunta, Malangke, Ponrang, Suli, Kamanre hingga Bajo.
Bersama beberapa kelompok terpilih kami ke pabrik pengolahan PR Effem di Kawasan Kima Makassar di ujung tahun 2005 dan membekali kelompok dengan bantuan sarana prasarana sekretariat kelompok seperti kursi-kursi dan asesoris administrasi.
Itulah yang disebut pernak-pernik fasilitasi ‘Farmer Organization Program’ ala proyek bernama Success Alliance yang dijalankan LSM ACDI/VOCA kala itu.
Teringat Ical
Relevan dengan perayaan Hari Pangan Dunia 2020 yang ter-tagline “Grow. Nourish, Sustain. Together.” dan digelar pada 16 Oktober 2020, dan atas dukungan Ketua IKA Smansa 89 Makassar, Andi Nasrun Tahir maka pada acara berkala ‘SOBOFI Berbagi Inspirasi’ mengangkat tema kakao dan alumni.
Ini relevan dengan agenda ketahanan pangan nasional dan upaya mengajak salah seorang alumni yang ‘terpantau’ eksis di antara keterkenalan produk coklat Dari K di Kyota Jepang serta petani kakao di Polewali Mandar. Siapa dia kalau bukan Amrisal ‘Ical’ Hamzah?
Maka jadilah. Tanggal 18 Oktober 2020, digelar Sosbofi Berbagi Inspirasi Seri 6: Pengalaman dari Sulbar: Lika-liku mendampingi petani kakao untuk dapat menembus pasar Jepang.
Sebagai narasumber, Amrisal membawa payung Yayasan untuk Indonesia Hijau, penanggap Dr Hermien A. Magga adala akademisi manajemen usaha pertanian dan dimoderatori Rezki ‘Eky’ de Fretes. Dua nama terakhir adalah jebolan ‘Agrokompleks Unhas’.
Meski suasana webinar sempat rusuh karena aksi lucu moderator serta respon ‘mosi tidak percaya’ peserta, webinar bisa terus berlangsung hingga pukul 23.30 Wita!
Ya, webinar berlangsung selama 3 jam 30 menit! Terima kasih moderator.
Ini juga rekor karena pesertanya mencapai 26 orang, meski sebagian kecil tidak tahan berlama-lama karena ulah moderator yang ‘ngeselin banget’.
Back to nature
Ical mengaku tak sengaja benam dalam program berbasis kakao. Dengan ikut program yang diinisiasi warga Jepang bernama Yoshino-san, dia bisa kenal dengan petani kakao di Polman, dengan pedagang hingga memahami seluk beluk pasar, bahkan dia sempat melanglang ke mancanegara karena kakao.
“Saya merasa lebih enjoy, saya senang pertanian, dan bisa mengajak petani kakao Polman back to nature, tak lagi pakai pestisida, kakaonya bisa mengadopsi konsep traceability – ketertelusuran, hingga mengajak warga Jepang untuk datang melihat proses perkebunan kakao,” kata Ical.
Bersama Yayasan untuk Indonesia Hijau yang berbasis di Makassar, Ical menjadi ‘perwakilan’ yayasan untuk bermitra dengan perusahaan asal luar negeri.
Perusahaan ini menginisiasi proyek perubahaan sosial di Sulbar dengan menggunakan kakao sebagai basis pendampingan.
“Ada orang Jepang yang penasaran kenapa impor kakao ke Jepang hanya 2 persen, sementara di atas 95 persen datang dari Afrika, dari Ghana,” kata Ical.
Orang-orang Jepang ini kemudian datang survei dan menyimpulkan bahwa kualitas kakao Polman di bawah kualitas kakao asal Afrika. “Kami sempat challenges, kualitas apa yang mereka inginkan,” kenang Ical.
“Mereka menemukan bahwa dalam satu kawasan kebun kakao bahkan bisa tumbuh atau ditanam 80 jenis tanaman!” seru Ical. Menurutnya warga Jepang yang datang bisa menikmati tradisi dan kebudayaan Mandar termasuk melaksanakan kerja bakti lingkungan seperti mananm mangrove.
Lalu, mereka pun, para periset asal Jepang ini merekomendasikan proses fermentasi, perbiakan praktik cocok tanam kakao, hingga pengolahan hasil panen hingga menyiapkan fasilitasi mesin penggiling kakao.
“Tidak terlalu besar tetapi kualitas powder-nya sangat halus,” kata Ical.
***
Pembaca sekalian, proses perkebunan kakao yang didorong tidak terlalu berbeda dengan proyek yang saya ikuti beberapa tahun lalu, termasuk mempromsoikan bagaimana sambung samping batang kakao, pemupukan organik, hingga penanganan biji kakao melalui fermentasi dan delivery ke Jepang.
Yang menarik, sesuai penjelasan Ical, produk kakao yang dihasilkan dari proses bersih, organik tanpa pestisida, terfermentasi, tidak ada campur mencampur dengan produk buruk, semuanya bermuara pada sebuah toko ‘kecil’ coklat di Kyoto.
Publik Kyoto suka. Warga dunia memuji dan kian tenar karena menggunakan proses yang jelas.
Tak seperti kakao-kakao yang selama ini banyak mengisi pasar dari proses yang tak jelas dan kerap di-ban karena bercampur dengan kerikil dan senyawa kimia berlebihan.
Dengan sistem fasilitasi seperti itu, Ical menyebut apa yang ditawarkan Dari K – nama produk dan perusahaan penyedia coklat dari Polman itu berkembang dan menjadi inspirasi bagi pihak lain untuk melakukan hal sama di Jepang.
Konsepnya sederhana beli kakao dari petani, antar jemput sendiri dan olah sendiri. “Ini sama dengan konsep Gubernur Ahmad Amiruddin dulu, petik-olah-jual,” tambah Ical.
Hal lain yang disampaikan Ical adalah dengan mengikuti proses bisnis kakao ini dia dan kita semua jadi paham bahwa kesan coklat datang pabrik besar, berbiaya besar, rumit, sudah tidak relevan.
“Sekarang meluas, bean to bar chocholate. Tak harus perusahaan besar, fasilitasi besar, industri besar, coklat bisa diproduksi dari industri skala kecil,” tegasnya.
“Yang kami tangani itu mesin pengolah skala kecil yang menghasilkan ukuran sampai sekian skala mikron dan dibeli di Skotlandia,” kata alumni Teknik Mesin Unhas ini.
Menyayangi tanaman
Ical menyebut bahwa untuk mengelola tanaman kakao perlu ketelatenan, perlu ‘kasih sayang’. Bisa soal nutrisi, keuletan memupuk bahan organik, memangkas hingga mengolah bijinya.
“Iya, itu betul, kalau kita ajak tanaman bicara, hasilnya juga banyak,” kata Dr Hermien A Magga yang bertindak sebagai penanggap. Menurutnya, apa yang disebut menyayangi atau mengajak bicara tananaman adalah memahami kondisinya, kebutuhan dan asupannya.
Dr Hermien memuji komitmen Ical yang ikut mempromosikan kakao Polman atau Sulbar. Meski menurutnya – sebab dia orang Mandar juga – ini juga semacam peringatan bahwa untuk konteks ini justru orang luar yang berjuang untuk kakao Sulbar.
Menurutnya, selama ini dia melihat bahwa perilaku petani kakao di Sulbar mudah sekali berganti minat. Saat melihat ada produk lain yang booming, petani cenderung berganti selera.
“Petani kakao kita sering ikut-ikutan, lihat komoditi lain yang bagus pindah lagi, ganti lagi,” ujar alumni Biologi di Smansa ini.
Akademisi di Universitas Cokroaminoto Makassar dan juga mengajar di beberapa kampus lain termasuk di Sulbar ini memuji pendekatan fasilitasi Ical bersama Yayasan untuk Indonesia Hijau karena fokus dan bisa mengangkat nama Polman di bisnis kakao.
Ada lima desa yang difasilitasi oleh Ical dan timnya atas supervisi Asia Pacific – yang kemudian tenar dengan Dari K. Lokasinya di Kecamatan Wonomulyo, Polman.
“Jadi salut sama Ical yang bisa membuat beberapa warga atau kelompok petani bertahan,” pujinya.
Perihal Dari K
Seperti yang disampaikan Ical di atas, Dari K yang dibesut oleh seorang pria Jepang bernama Keiichi Yoshino ingin mendorong perubahan di tengah ketidakberdayaan petani kakao karena belitan kapitalisasi dan tekanan pasar.
Jika petani kakao tak tahu (atau sengaja tak diperlihatkan) proses pengolahan biji kakao menjadi bar chocolate, maka Dari K ingin menguak proses itu.
Yoshino adalah alumni Universitas Oxford dan Universitas Kyoto dan pernah bekerja pada perusahaan jasa keuangan multinasional Morgan Stanley. Dia memutuskan berhenti pada tahun 2011 dan mendirikan perusahaan cokelat.
Pabriknya di Kyoto dan dipasok oleh petani kakao dari Sulbar tepatnya dari Polewali Mandar. Ini 100 persen dari Polewali, Sulawesi Barat. Wow!
Ical ada di antara gagasan besar Yoshino dan petani kakao Polman. Mereka memberi edukasi ke petani, teknik menanam, merawat hingga fermentasi. “Dari K itu butuh kakao fermentasi, dari ini petani Polman dapat premium,” katanya.
Penamaan Dari K itu karena berasal dari Pulau Sulawesi yang serupa K, pun inisial untuk kota dimana Yoshino bermukim, Kyoto. Toko Dari K di Kyoto adalah di Nakagyo-ku, Imashinzaike Nishi-cho 22, Kyoto. Ada pula gerainya di Gion Akishino, Kyoto; Mitsukoshi Isetan dan Osaka.
Saya sempat bertemu dengan Yoshino-san di Pulau Wangi-wangi Wakatobi untuk wisata dalam tahun 2015.
“Ini bukan agenda dari K, ini libur sendiri,” katanya sambil tertawa saat itu, saat saya menyebut pernah bekerja di proyek JICA dan kenal baik Mr Matsui Kazuhisa, sosok yang banyak mempromosikan Sulawesi sejak tahun 90-an. Pria yang Yoshino juga kenal.
Catatan penting dari webinar SOSBOFI
Pertama, pengalaman Ical adalah inspirasi bagi kita bahwa kakao bisa dihasilkan dari proses yang sehat, tanpa mafia, tanpa broker banal, tanpa intervensi pasar yang memaksa.
Artinya, jika proses transparan, petani rela dan berpartisipasi (karena difasilitasi dengan cinta), mereka tahu akan ke mana hasil tanaman bermuara akan bisa menjadi jaminan bahwa produk mereka akan punya nilai lebih.
Di sini, isu ketertelusuran (traceability) adalah nomor satu, dengan ini konsumen bisa membeli dengan harga pantas. Harga akan semakin bagus jika kita bisa katakan bahwa biji kakao tanpa pestisida atau bahan kimia. Green economy!
Isu ketertelusuran jadi trend, bahkan di laut, ikan tuna tanpa ketertelusuran yang jelas, harganya bisa jatuh di pasar Amerika dan Eropa.
Kedua, pengalaman sejak tahun 2014 hingga 2019 yang dilewati Ical dan menghasilkan performa sekeren cerita di atas adalah bukti bahwa proses atau fasilitasi Business to Business (B2B) sudah efektif, sudah berjalan bagus.
“Saatnya om Ical ini dorong B to G, business to government, karena ini perlu skala luas dan melibatkan banyak pihak, perlu fokus volume atau nilai, kamu hasil tunjukkan itu,” saran Andi Arlys, ketua Smansa 89 Makassar chapter Jakarta.
“Jangan malu-malulah untuk bilang kalau kita sudah berhasil di situ dan mau ekspansi. Pertanyaannya, siapa yang mau dan perlu diajak nih…” tambah Arlys.
Ketiga, perlu kreasi pasar dan membangun kapasitas petani kakao. Pilihan pertama adalah bagaimana menghasilkan kualitas kakao terbaik, harga baik, kemudian mencari inovasi perbaikan mutu luaran secara menyeluruh, hingga perbaikan relasi antara produsen dan pasar.
Keempat, dengan mengadopsi model terpadu, tanaman sehat, organic-based farming, terfermentasi untuk kakao dan intervensi teknologi dan capacity bulding terpadu, maka Ical bersama Yayasan untuk Indonesia Hijau bisa merambah komoditi lain seperti beras organik.
Bukan tidak mungkin untuk tanaman ekonomis lain. Inilah yang disebut ekspansi bisnis dengan pola yang jelas, mekanisme jelas dan bisa mengisi gap pengembangan.
Maksudnya, jika Ical dan Yayasan untuk Indonesia Hijau sudah berhasil mengangkat nama kakao Polman atau Sulbar, atau Indonesia dengan pola seperti Dari K ini, mengapa tak ekspansif atau memulai agenda baru, atau komoditas baru?
Siapa tahu ada investor, dermawan, atau pakar agribisnis SOSBOFI, yang mau ‘pakaramula’ memantik permulaan adopsi aksi Ical dan Yayasan untuk Indonesia Hijau bersama Dari K pada bisnis kakao keren ini pada komoditas lain. Bisa kopi, vanilla, jeruk, borang, beras merah, atau apalah…
Nah, poin kelima, kalau gerakan seperti itu saya juga mau. Anda juga mau terlibat jkan? Yuk!
Tamarunang, 19 Oktober 2020
Penulis: K. Azis