PELAKITA.ID – Rentang tahun 2013 hingga paruh 2014 merupakan masa-masa sulit bagi Minhajul Abidin. Alumni Smansa Makassar angkatan 1989 ini mengaku kandas saat mencoba profesi lain: bisnis kuliner ber-francise.
Patah semangatkah pria yang kerap disapa Ajul ini? Tidak.
Di tahun yang sama, di pengujung 2014, dia putar haluan ke profesi awal yang telah lama digelutinya: menjadi fasilitator pemberdayaan masyarakat.
Dalam tahun itu, salah satu perusahaan tambang emas di pedalaman Sumatera tepatnya di Tapanuli Selatan tertarik memanfaatkan tenaga dan pengalamannya sebagai fasilitator program pemberdayaan masyarakat dan mendapuknya sebagai spesialis program CSR bidang pertanian.
“Saya join di perusahaan tambang emas dan perak ini dalam tahun 2014 itu juga,” kata pria lulusan Jurusan Ilmu Tanah Universitas Hasanuddin tahun 1997 ini.
Sebelumnya, dia adalah mahasiswa D3 Penyuluhan Pertanian Unhas (1989-1992) yang transfer ke S1.
“Saya berkawan dan seangkatan Dr Abd Rahman Bando, mantan Kadis Pertanian dan Perikanan Kota Makassar,” katanya pada dua Minggu lalu.
Sebelum kerja di perusahaan tambang, atau dua tahun setelah tamat kuliah S1, dia meninggalkan Makassar dan melanglang ke Pulau Sumatera dengan menjadi pendamping proyek Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Siberut, lalu ke Kabupaten Pasaman Sumbar, kemudian hijrah ke Tapanuli Utara, Sumatera Utara.
Masih di pulau Sumatera, Ajul kemudian diterima bekerja di salah satu LSM internasional bernama Surfaid.
Kali ini dia mengurusi isu kesehatan tepatnya, upaya proteksi malaria sebelum pindah kerja di Pulau Nias ‘Yaohowu’ selama dua tahun.
Dalam tahun 2011-2012 dia sempat bekerja di Care International, di Kota Kupang. NTT untuk proyek terkait perubahan ilklim dan kesiapsiagaan bencana.
Pengalaman berproyek di Sumatera, pula yang menghantarnya menjadi salah satu pilar pada tim kerja pengembanan masyarakat di bawah naungan PT Agincourt Resouces Martabe Gold yang berlokasi di tidak jauh dari poros Medan – Sibolga.
Lantaran pengalaman tersebut, Minhajul Abidin didapuk menjadi narasumber pada webinar SOSBOFI Berbagi Inspirasi seri-5, pada Minggu 11 Oktober 2020 dengan topik Berbagi Pengalaman Pemanfaatan Dana Pengembangan Masyarakat di Lokasi Tambang.
Paparan Ajul
Pada webinar yang dipandu oleh praktisi perencanaan lingkungan, Taswin Munier ini, Ajul menceritakan bahwa pemanfaatan dana CSR atau dana pemberdayaan masyarakat merujuk kepada Permen ESDM No 41 Tahun 2016 tentang Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Menurutnya, dengan UU itu, setiap badan usaha pertambangan diwajibkan menyusun dan mempunyai Rencana Induk Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM).
“Program PPM ini upaya pemerintah untuk menjalankan konsep yang dulu kita sebut corporate social responsibility (CSR) di dunia tambang, meski menurut saya istilah ini sudah tidak pas,” katanya.
Meski begitu, Ajul setuju bahwa secara substansi, tujuannya sama, untuk mendorong pengembangan aspek sosial, ekonomi termasuk pendidikan, kesehatan, dan lingkungan kehidupan masyarakat sekitar tambang.
“Jadi pendekatan kami ditujukan agar tingkat kehidupan masyarakat sekitar tambang menjadi lebih baik dan mandiri,” ucap pria yang juga pernah menjadi konsultana proyek rehabilitasi terumbu karang ini.
Untuk mengelola CSR menurut Ajul harus menguasai aspek bagaimana membangun karater atau image perusahaan dan kompetensi yang sesuai, seperti kemampuan komunikasi, publikasi dan transparansi proses.
”PPM ini sesungguhnya pembangunan berkelanjutan itu,” imbuhnya.
Rencana Induk PPM disusun sesuai hasil pembacaan kondisi sosial di sekitar lokasi tambang. Menggambarkan kondisi masyarakat sekitar tambang sebelum aktivitas tambang dimulai.
Secara umum, ada 8 program utama yang mesti diakomodasikan di dalam Rencana Induk PPM seperti program pendidikan, kesehatan, mata pencaharian, keekonomian, sosial budaya, lingkungan, pembentukan lembaga komunitas hingga infrastruktur.
Dari paparannya nampak bahwa Permen PPM ini telah diperjelas melalui adanya landasan operasional yaitu Permen 25/2018 dan Kepmen ESDM No 1824 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Kepmen ini, menurut Ajul memuat dua hal, Pedoman Penyusunan Cetak Biru (Blue Print) dan Pedoman Penyusunan Rencana Induk PPM.
“Dengan pedoman ini, kami menyusun perencanaan. Program PPM lebih terukur, terarah dan yang pasti tepat guna atau sesuai sasaran,” katanya. “In merujuk pada prinsip, penjabaran kebijakan perusahaan dan fokus CSR.”
Disinggung pula perbandingan Program CSR da Program PPM berdasarkan dasar hukum, sifat, jangkauan, skema pembiayaan dan ragam aktifitas utama.
Salah satu program yang dibagikan adalah program penangkaran benih yang melibatkan kelompok nelayan, Pemda dan Pertani. Ada beberapa fasilitas yang dibangun seperti wadah pengeringan dan bangunan untuk penyedia benih.
“Ini berdasarkan 4 UU dan 2 peraturan pemerintah,” imbuhnya.
“Jadi program yang disusun meliputi fase operasi sampai fase penutupan tambang. Ini sudah dianggarkan oleh perusahaan, sesuai kemampuan perusahaan, jika merujuk UU ini,” katanya.
Sebagai perbandingan, perusahaan plat merah dalam Permen Negara BUMN nomor 4/2007 disebutkan harus menyisihkan 2 persen dari labanya untuk membiayai kegiatan CSR.
Memfasilitasi kelompok
Bekerja di perusahaan tambang apalagi mengurusi komponen sosial tidak jauh dari fasilitasi keberdayaan masyarakat sekitar lokasi tambang.
Sesuai dengan pengalaman dan kompetensinya, dia bertanggung jawab untuk memfasilitasi program penangkaran benih. Mengurus petani, kelompok dan pernak-pernik pertanian, persis dengan kuliah yang digelutinya di Ilmu Tanah dan kepenyuluhan.
Dia mengangkat cerita tentang fasilitasi pemberdayaan masyarakat sekitar lokasi tambang melalui pengembangan livelihood pertanian.
Meski mengaku tidak mudah di awal karena penolakan masyarakat namun tambang jalan terus dan masyarakat secara perlahan ikut berpartisipasi dan bahkan melahirkan tokoh petani berprestasi.
“Iya, ada ketua kelompok tani Permata Hijau sebagai mitra kami. Dia adalah peraih juara dua KTNA sewaktu PEDA 2019 Sumut, namanya Iman Saleh Siregar. Dia bagian dari program pengembangan agribisnis kami,” jelasnya.
Sebagai bagian dari program ini, Ajul telah mendampingi kelompok ini sejak Januari 2015.
“Awalnya hanya 7 orang sebagai penangkar dengan luasan satu hektar lalu berkembang. Prinsipnya, selalu memulai inisiatif dari yang berskala kecil, melalui demplot,” tambahnya.
Dia juga menyebut bahwa spirit program ini adalah saling belajar, perusahaan membaca sumber daya manusia di sekitar lokasi tambang, membaca posisi pendamping, stakeholder terkait dan sedapat mungkin menyiapkan program capacity building,” sebutnya.
Menurutnya, pendampingan harus dijalankan dengan ada keterpaduan dan menyeluruh.
“Harus ada nilai tambah, karena satu program yang diluncurkan tidak bisa menyelesaikan yang lebih substansi. Misalnya, budidaya jagung pipil, ini harus dimulai dari demplot 1 hektar, lalu diharapkan dapat menjadi 15 ha hingga 30 ha,” paparnya.
Hal lain yang disampaikannya adalah program harus memberi dampak ke daerah lain, atau desa-desa tetangga.
“Lalu, bukan hanya produksi raw material tetapi seharusnya bisa diolah menjadi produk turunan jadi pakan, ini bisa jauh lebih bernilai,” katanya.
Lalu, lanjut Ajul, selain menyediakan input teknologi, kapasitas SDM pun perlu didukung.
“Perusahaan punya kesempatan untuk mengisi peluang itu. Ini juga bisa membuka mata petani ketika misalnya sudah berhubungan dengan pabrik seperti Charoen Phokphand,” lanjutnya.
“Jadi keompok tani akan paham prinsip-prinsip entrepreneur. Bisa paham tujuan kuota, pentingnya kualitas, timeline dan lain lain. Ini yang kita dampingi,” ujarnya.
Terkait pendampingan seperti itu, Ajul menyebut bahwa fasilitasi pihaknya sudah membuahkan hasil.
“Mereka sudah mandiri dan inilah garis besar program utama PPM kita,” akunya.
“Pertama, tingkat pendapatan rill atau pekerjaan, atau penganekaragaman, pengembangan mata pencaharian yang berbasis potensi lokal,” jelasnya.
“Lalu yang kedua, kemandirian ekonomi, pemgembangan sentra usaha berbasis potensi lokal. Pengembangan pusat pelatihan, kewirausahaan, industri kreatif dan pertanian berkelanjutan. Dan di atas ini semua, ada indikator kinerja utamanya, ini berlaku hingga tahun 2028 di perusahaan kami,” sebutnya.
Fasilitasi CSR tambang oleh Yayasan COMMIT
Sementara itu, Kamaruddin Azis, yang bertindak sebagai penanggap menyebut bahwa PPM memang merupakan kewajibab perusahaan dan telah dijalankan seperti di salah satu perusahaan tambang di Luwu Timur yang menjadi mitra Yayasan COMMIT dimana dia berposisi sebagai Sekretaris Eksekutif.
Sebelum menjelaskan cakupan fasilitasi COMMIT, dia mengungkapkan bahwa organisasinya ini berdiri tahun 2012 dan mempunyai visi misi yang menekankan pada proses transformasi kapasitas ke masyarakat.
“Yayasan COMMIT mempunyai tiga skop, yaitu konsultasi manajemen, pelatihan dan publikasi. Didirikian oleh alumin-alumni proyek Japan International Cooperation Agency di Sulawesi pada saat ada proyek Sulawesi Capacity Development proyek,” katanya.
Proyek itu memperkuat kapasitas pengambil kebijakan, perencana OPD dan fasilitator masyarakat.
Dia menyebut yayasan apapun sepanjang punya kompetensi bisa menjadi pelaku pemberdayaan masyarakat di lokasi tambang.
Dia menambahkan bahwa Rencana Induk Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (RI-PPM) seperti yang disampaikan Ajul adalah amanah Permen ESDM No. 25/2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan Kepmen ESDM No. 1824 K/30/MEM/218 terkait Pedoman Pelaksanaan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat.
“Melalui PKPM, perusahaan memberi dukungan pada masyarakat melalui program- program pada level kawasan perdesaan. Konsep dasar PKPM yang difasilitasi COMMIT di Luwu Timur adalah memfasilitasi sinergi antardesa, meningkatkan keterkaitan pembangunan desa-desa, terintegrasi dalam sistem fungsional dan spasial,” katanya.
Bagaimana prosesnya? Desa-desa mengirimkan utusan melalui musyawarah antar desa (Musdes) dan memilih pelaku yang akan mewakili desa dalam proses proses perencanaan,pelaksanaan dan monitoring evavaluasi yang disebut Badan kerjasama Antar Desa (BKAD).
“Jadi masyarakatlah yang menjadi pelaku atas dukungan Pemdes, Kecamatan dan Kabupaten,” imbuhnya.
“Secara susbtantif tidak ada yang berbeda dengan apa yang dilakukan Ajul di Sumatera hanya saja perlu memperhatikan aspek seperti pelibatan Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten, lalu yang kedua perlunya update, atau refresh kapasitas para pendamping karena situasi bisa berubah dalam waktu cepat,” katanya.
“Kapasitas para pendamping ini perlu diperbaharui juga,” imbuhnya.
Beberapa pertanyaan
Ada beberapa penanggap pada sesi ini seperti yang disampaikan oleh Amrullah Arifin, Hasbullah Bo, hingga Hasanuddin Utta.
Bo misalnya, dia mengkritisi mengapa segala urusan ditangani CSR perusahaan padahal seperti bibit, pengadaan pupuk harusnya ditangani saja pemerintah.”Harusnya tidak perlu perusahaan, kasih saja ke Kementerian,” katanya.
Lalu Utta menyoal mengapa dana CSR digunakan untuk mereklamasi padahal ini bisa berdampak ke lingkungan.
Poin menarik disampaikan oleh drg Muhammad Arfa yang punya pengalaman melihat dan berinteraksi dengan praktik CSR di PT Antam. Dia menyatakan bahwa pada dasarnya, perusahaan tambang wajib CSR sesuai yg diamanatkan UU.
“Baik UU PT atau UU no 4/2009 dan aturan lain yang mengikut. Sasaran dan program disesuaikan kondisi masyarakat sekitar intinya mereka bisa ikut berkembang dengan hadirnya perusahaan,” kayanya.
Meski demikian dia menyebut bahwa bagaimana pun perusahaan akan berfokus pada masyarakat inti atau yang dia sebuat sebagai ring 1, 2 dan 3. Lapisan kelompok masyarakat yang terdampak penuh, sedang atau ringan.
Terkait paparan Ajul dan Kamaruddin, serta pertanyaan beberapa peserta, Arfa menyebut memang pada dasarnya, Pemerintahlah yang diharapkan dapat menjadi fasilitator atau pengatur yang baik, sejak awal.
“Sehingga iklim berusaha dan pengembangan masyarakat sekitar terlaksana dengan baik,” ucapnya.
Menurut Arfa, jika Pemerintah menjadi ‘pengatur’ CSR yang baik maka pelaksana CSR seperti LSM atau konsultan pun harus kompeten, kolaboratif dan mengadopsi prinsip transparansi dan memberdayakan kelompok masyarakat yang terdampak pengusahaan tambang.
“Masyarakat inilah yang harusnya menjadi penerima manfaat CSR dan bisa mandiri setelah mendapat bantuan,” tutupnya.