PELAKITA.ID – Pukul 7 lewat sedikit, bubur panas, ikan bete asin kering plus sambel pedas, hangatkan pagi peserta gathering dan touring Gowes Klaners Community (KGC) di Hutan Pinus Rombeng, Bantaeng.
Tak hanya menghangatkan tapi juga mengulik gairah untuk gegas beraksi di Minggu, 27 September 2020 itu.
Ada tiga aksi lainnya yang bisa bikin jeles rakyat Nusantara pagi itu selain bubur Manado yang menari di bibir.
Apa itu? Aksi mesra founder KGC Chuba yang duduk rapat dengan maetua dan sekelompok awak media tanpa atribut mengerubutinya untuk diabadikan. Para pewarta (gosip) ini sibuk merekam dari berbagai angle.
Oh iya, juga aksi Ocis dan Hera, host (hampirma luput).
Dua, aksi Boger, ‘kakak kedua KGC’ yang dengan (nampak) tulus membereskan tenda, nihil senyum, lalu duduk kalem layaknya sutradara papan atas sembari mengarahkan para pemain. Dia melumat bubur dari tepi hingga ke tengah.
Aksi ketiga? Iya, aksi bersepeda – pappalapasa cinna – dari Kakak Cahyadi.
Lha? Iya, dia harus bersepeda di radius 50 meter belaka karena dia harus gegas ke bandara dan balik ke Jakarta hari itu juga, kalau tidak dia akan ketinggalan pesawat. (Sampai di sini, kita jadi tahu, dia lebih cinta pesawat, ketimbang sepeda, eh!)
“Foto, foto, video, video...,” serunya ke awak media saat duduk di atas sadel dan melepas senyum ke pohon pinus dan tenda-tenda yang bungkam.
Pagi berlalu, matahari nampak samar di balik awan yang retak. Sekira pukul 9, satu persatu perkakas masak, tenda, kabel colokan, tenda, sudah dikemas. Imran Lapong, dosen di Institut Balik Diwa Makassar, peserta yang telat semalam, nampak berbeda saat membereskan tenda dan kompor. Dia nampak menuntun putranya untuk memungut sampah. Tsah!
Aksi bersih dari sampah
“Harus kayak gini kalau berkemah di hutan, pastikan sampah tidak ada, semua bersih seperti semula,” tanggap Cahyadi.
Betul katanya, di lokasi itu pengelola Hutan Pinus Rombeng sudah menyiapkan plastik besar dan wadah penampung sampah. Meski demikian, di area ini, masih saja nampak banyak sampah plastik yang bertebaran, seperti gelas, sedotan hingga bungkus snack.
“Kadang tidak sadar, dikiranya hanya benda kecil. Padahal semua sampah, besar, kecil mestinya ditempatkan di wadah yang sudah disiapkan,” tambah Cahyadi yang aktif mendorong kesadaran warga untuk peduli sampah.
Tantangan pertama aksi touring dari Rombeng ke Eremerasa mulai terasa saat sebagian peserta bersiap ke mobil, bersiap menyiapkan sepeda. Beberapa dari mereka terlihat lelah dan berkeringat saat naik ke tempat parkir. Terdengar jeritan anak-anak karena jatuh saat jalan menanjak dari areal tenda.
Seorang peserta (tidak perlu disebut nama) tersengal luar biasa saat sampai di mobil. “Tuamako,” sambut peserta lainnya, saat mereka berbenah menuju titik start.
Matahari mendekat 45 derajat saat peserta satu persatu bersiap dengan sepedanya.
“Mari kita berdoa, jangan berjauhan, paling jauh lima meter dari masing-masing. Saya di depan ya,” kata Ocis, pemandu sepeda yang sudah menjajaki area ini beberapa hari sebelumnya.
“Beberapa bagian jalur nampak sepi, jarang dilewati, jangan bercanda atau berlebihan saat melintas,” tambahnya. Jarak antara Rombeng – Eremerasa menurut Googlemap sejauh 24 kilometer.
Keindahan tepermanai
Memandang lansekap jauh Bantaeng, di antara Rombeng dan Eremerasa adalah keindahan. Menyaksikan bunga-bunga bermekaran seperti Bunga Matahari liar, bunga Masamba hingga aneka warna kembang tanpa nama jadi pemandangan di depan kami.
Saya menyebutnya keindahan tepermanai, tak terbilang sebab ada perjuangan dan kebersamaan di baliknya. Ada hamparan lahan jagung, sawi, kol, hutan pinus, teras kebun hingga jalan turunan yang ‘menggiurkan’. Jika saya jadi terakhir sampai tiba di garis finish, salah satunya karena saya sibuk memotret dan menyesap makna keindahan ini. Halah!
Oh ya, saya sempat terpukau saat melihat ada warga yang sedang main layanan raksasa seorang diri di salah satu ruas perjalanan kami. Ini keren sekali.
Saya coba sebut 17 peserta kali ini, dari yang tertua hingga termuda. Chuba, Dhea, dan putranya nan hebat, Boger, Lapong, Rapz, Ocis dan putranya yang dahsyat, Nuki dan belahan jiwanya, Doger, Ririe, Acil, Malika anak Edo Maddusila, Denun (sekian kilometer plus jogging di turunan).
Eh lupa, masih ada Kasmal Daihatsu dan ketua besar Accank. Sebagian lainnya menuju Eremerasa dengan bermobil, kita sebut saja Edo dan Hera sekeluarga.
Bismillah! “Tak ada yang berat saat bersama sahabat, tak ada yang sulit saat kita saling menyemangati. Takkan ada yang ketinggalan saat kita sedia mengalah untuk maju dan finish bersama.” Seperti itu batinku saat saya mengelus si seli.
Sebelum belokan pertama, saya sungguh menikmati gowes kali ini. Sekitar 200 meter jalurnya sungguh bersahabat, hangat dan menyemangati.
Di belokan pertama, semua peserta diambil gambarnya, satu persatu melaju dengan gaya terbaik. Host Ocis dan Hera kali ini menyiapkan perekam proses bernama Wahyu, nan sabar, telaten dan sangat peduli. Arigato Wahyu!
Tanpa narasi
Seperti apa kebersamaan, kenikmatan, keceriaan, keletihan, kegelisahan, atau handicap di antara ruas Rombeng dan Eremerasa? “Jammi bahasakan kak, foto-fotomi saja, biar banyak yang merasa rugi tak ikut,” begitu kata Accank, pria tampan di balik pengelolaan tur di Rombeng dan Eremerasa ini.
Nah lho?
Tamarunang, 3 Oktober 2020
K. Azis