PELAKITA.ID – Kasus meninggalnya Yadi di atas kapal ikan berbendera China Lu Huang Yuan Yu 118 adalah tragedi kemanusiaan kita. Kasus seperti ini terus berulang, yang korban rakyat kecil dari pesisir Pantura hingga daerah pegunungan Sulawesi, perantaranya perusahaan, pelakunya elite di atas kapal ikan, kapal yang umumnya illegal.
Seperti tak ada daya, praktik perdagangan manusia, pengangkangan hak-hak azasi manusia yang terus terjadi, terus dikabarkan, terus disesali.
Pandangan tersebut pantas dikemukakan jika mendengar cerita sosok Laode Hardiani yang saat ini bekerja untuk program SAFE Seas Yayasan Plan International Indonesia dan Destructive Fishing Watch (DFW).
Diani, demikian sapaanya, adalah sosok di balik beroperasinya Fisher Centre Bitung. Dia fasilitator program SAFE Seas – Safeguarding against and Addressing Fishers’ Exploitation at Sea – yang menjadi mitra strategis Fisher Centre ini.
Hardiani menyebut bahwa terkait penangkapan kapal Lu Huang Yuan Yu 118 di perairan Kepri menambah daftar panjang insiden di atas kapal ikan, pihaknya juga menerima aduan itu pada 8 Juli 2020.
Dia bercerita bahwa selama bekerja di kapal Lu Huang Yuan Yu 118, para ABK Indonesia mengalami siksaan, tidak mendapat jaminan pasokan makanan. ABK sakit tetap dipaksa untuk bekerja. Ini karena jumlah ABK China lebih banyak di atas kapal tersebut.
Seperti dilaporkan sebelumnya, tim gabungan dari Lanal Batam, Bakamla dan Polairud Polda Kepri telah mengamankan dua kapal berbendera China di perairan Kepulauan Riau, Rabu (08/07/2020). Keduanya Kapal Lu Huang Yuan Yu 118 dan Lu Huang Yuan Yu 117 dicurigai melakukan penyiksaan kepada para pekerja migran Indonesia.
“Nama kapalnya LU Huang Yuan Yu 117 dan LU Huang Yuan Yu 118, yang ditahan ada dua kapal. Di kapal Lu Huang Yuan Yu 118 ada 11 ABK termasuk korban Yadi. Sedangkan di kapal satunya ada 12 ABK Indonesia,” jelas Laode Hardiani.
“Bayangkan, sudah ada korban, sudah ada laporan bahwa ada yang sekarat tapi tidak ada respon baik dari kapten atau perwira di atas kapal,” kata Laode Hardiani kepada Pelakita.ID.
Menurut Hardiani, kuat dugaan bahwa Yadi meninggal karena telah mendapat pukulan dari kapten.
“Yadi mendapat tendangan di bagian dada. Setelah penganiayaan itu korban jatuh sakit. Pada saat sakit, Yadi bahkan tidak diberi makan,” tambah Laode Hardiani. “Nanti sudah kritis baru dia diberi roti, susu.”
Melalui program SAFE Seas, Fischer Center (FC) Bitung adalah salah satu upaya Yayasan Plan Internasional Indonesia dan Destructive Fishing Watch Indonesia untuk mengadvokasi praktik perdagangan manusia dan pada awak kapal perikanan yang bekerja di bawah tekanan.
“Ini merupakan iniisiatif di tengah kelangkaan fasilitasi dan advokasi para awak kapal perikanan baik dalam negeri maupun luar negeri. Sudah banyak laporan dari ABK kita yang bekerja di kapal asing ke Fisher Centre Bitung,” kata Hardiani.
Menurutnya, Fisher Centre telah berulang kali mencatat laporan dari ABK kapal atau awak kapal perikanan (AKP) karena eksistensinya sudah ditahu, dipercaya dan diyakini dapat menjadi penyampai persoalan para awak kapal.
Sebagai misal, diperoleh informasi bukan hanya satu korban bernama Yadi itu, ternyata di atas kapal Lu Wian Yuan Yu 118 ada 12 orang ABK asal Indonesia. Informasinya kemudian berkelindan dan mengular pada realitas bahwa Yadi hadir berkaitan dengan tingkah pola tiga agen pemberangkatan ABK di Indonesia.
“Sebanyak 12 orang ABK tersebut diberangkatkan oleh perusahaan berbeda yaitu masing-masing oleh PT MTB, PT DMI dan PT MJM,” ungkap Laode Hardiani.
Fischer Centre Bitung akhirnya menguak pula bahwa Yadi direkrut dan diberangkatkan PT MTB di Tegal. PT MTB inilah yang tersangkut masalah serupa.
Wahana berbagi informasi dan komunikasi
“Fisher Center sebagai tempat untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang hak-hak pekerja dan perlindungan bagi awak kapal perikanan, serta tempat untuk memberikan fisilitas dalam penyampaian laporan tentang kejadian yang dialami oleh para pekerja diatas kapal perikanan,” papar Hardiani.
Untuk itu, lanjut Hardiani, sejauh ini FC Bitung, telah berperan aktif dalam memberikan informasi dan edukasi kepada para AKP. “FC Bitung juga telah menerima beberapa laporan dan memfasilitasi peyelesaian kasus yang dilaporkan para awak kapal perikanan,” katanya.
Strategi yang dibangun Fisher Centre adalah membagi-bagikan kontak via social media, membagikan flyer, infografis hingga nomor Whatsapp demi mempromosikan ‘praktik perikanan sehat’ bagi awak kapal perikanan. Membagikan indikator kenapa suatu usaha perikanan disebut melanggar atau tidak sesuai kaidah UU ketenagakerjaan.
Menurut laporan organisasi DFW, perusahaan ini tidak memiliki izin operasional yaitu Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal dari Kementerian Perhubungan dan Surat Izin Perusahan Penempatan Pekerja Migran dari Kementerian Tenaga Kerja. Polisi telah menangkap Direktur dan Komisaris PT MTB.
“Sampai saat ini terdapat 27 orang ABK Indonesia yang menjadi korban dari PT MTB dengan status meninggal, hilang dan selamat,” kata M Abdi Suhufan, koordinator nasional DFW.
Keberadaan Fisher Centre seperti yang diceritakan di atas sungguh berfaedah dan dapat menjadi jembatan bagi kepentingan awak kapal perikanan dalam dimensi yang luas. Tentang bagaimana mereka berbagi informasi, memperoleh informasi, memperoleh edukasi hingga perlilndungan.
“Itu yang menjadi substansi mengapa Fisher Centre ini didorong. Bukan hanya di Sulawesi Utara tetapi kita rintis juga di Jawa Tengah dengan kerjasama Pemprov, dukungan Pemprov Sulut dan Jateng sangat kuat untuk membantu nelayan, ABK atau awak kapal perikanan, warga mereka yang bekerja di kapal ikan terutama kapal ikan asing,” jelas M Abdi.
Abdi ikut mengapresiasi Pemerintah dalam hal ini KKP, Kemenko Maritim dan Investasi, Kementerian Tenaga Kerja terutama Kementerian Perhubungan yang merespon cepat isu-isu terkait nasib awak kapal perikanan ini.
“Baru-baru ini Menteri Kelautan dan Perikanan juga telah meresmikan beroperasinya Fisher Centre di Jateng dan Sulut, jadi ini sangat strategis juga,” imbuhnya. Fisher Centre yang disampaikan Abdi adalah wahana terbuka yang dikelola dan dikoordinasikan oleh pihak terkait di daerah seperti perwakilan ABK, aktivis lingkungan, perwakilan nelayan hingga unit kerja Pemerintah.
“Pengalaman dan fasilitasi di Sulut dan Jateng ini semoga dapat menjadi inspirasi bagi provinsi lain untuk ikut memediasi komunikasi, edukasi dan advokasi awal kapal perikanan yang rentan ini. Bagaimana pun ini tanggung jawab mereka atas keselamatan warganya,” tutup Abdi.