Marina adalah penggambaran jiwa Maritim ayahnya yang senang ke laut, ke pulau dan berpetualang ke pantai-pantai Nusantara. Juga tentang kesabaran lautan menerima segala yang ada.
PELAKITA.ID – Saat masa SD dan SMP di Galesong, saya merasa banyak berjalan menyusuri kampung-kampung di sekitarnya, dari Boddia hingga Bontonompo, dari halaman rumah di Kampung Jempang hingga pantai Pulau Sanrobengi dan Pulau Laelae.
Perjalanan ‘domestik’ itu bareng kakek Daeng Tora, Daeng Ngalli dan Nenek Aisyah Daeng Baji. Ketiganya telah berpulang.
Bersama Bapak Tora saya diajak naik perahu patorani dalam rangka persiapan melaut: passili hingga bersauh jauh. Lalu bersama Bapak Battu Daeng Ngalli, saya diajak naik balolang bareng Nenek Aisyah Daeng Baji menuju Pulau Laelae. Suasana tahun 80-an awal.
Nenek Baji adalah yang kerap mengajak saya yang masih kanak-kanak jalan kaki dari Kampung Jempang, kediaman kami, ke Kalongkong di utara, Gusunga di selatan hingga diboyong berziarah ke Makam Tuanta Salamaka di Ko’bang Gowa. Bahkan hingga Kampili.
Pendek cerita, kesan semasa usia itu adalah muhibah dan perluasan lanskap ruang jelajah.
Memasuki masa SMA di Smansa Makassar hingga kuliah di Ilmu dan Teknologi Kelautan Unhas, saya hidup serba terbatas. Saat SMA palingan Jalan Mannuruki – Jalan Bawakaraeng, paling jauh Malino, itupun saat penamatan SMA.
Di Kampus Unhas, hingga tahun 93, hidup saya adalah lapangan tenis Tamalanrea, ruang kuliah, Senat ITK dan kantin (itupun semata ditraktir). Memang ada beberapa kali praktik lapang ke pulau-pulau namun itu semata ikut agenda dosen atau Prodi ITK.
Menjelang akhir kuliah, saya dapat tantangan luar biasa berat karena ikut misi penelitian selama satu bulan di Selat Makassar. Berat karena suasana musim barat yang dahsyat serta ini pengalaman pertama naik kapal besi dan mengembara di lautan luas.
Hasilnya tiga hari pertama saya mabuk laut, saya dapat uang tigaratus delapan puluh ribu dan bisa dipakai untuk bayar SPP untuk 2 semester.
Bukan hanya itu, perjalanan berikutnya adalah saat ikut Giant Clam Translocation Project yang dibiayai oleh World Wide Fund – Indonesia Programme. Saya bersama lima mahasiswa Kelautan melaksanakan riset di Taka Bonerate. Perjalanan ke atol itu salam 33 jam, dan juga diwarnai suasana ‘jackpot’ berkepanjangan.
Kesimpulannya, saya jadi semakin terbiasa melakukan perjalanan jauh dan mental terasah sebagai pengembara pesisir. Jadi wajar setelah tamat kuliah, saya menerima tantangan Kakanda Sufri Laude untuk bekerja di LSM LP3M Makassar bersama sahabat saya Andi Nurjaya Nurdin. Itu tahun 1996 awal.
Di sinilah karir dimulai, juga catatan-catatan perjalanan antarpulau yang semakin intens. Makassar, Selayar, Taka Bonerate, Kapoposang, Barrang Caddi, Kondongbali hingga pulau-pulau seperti Kayuadi, Pasitallu.
Menikah di Tahun Krisis
Antara tahun 1997 hingga 1998, saya berkenalan perempuan manis bernama Sumarni G. Ningsih Umar. Kenal lewat single side band. Tahun 1998, di suasana dunia yang krisis, kami menikah.
Saya amat terbantu oleh organisasi tempat saya bekerja saat itu, LP3M Ujung Pandang, terima kasih Kak Sufri dan Kak Nina, dan kawan-kawan yang mendukung niat baik kami.
Desember 1999, anak pertama kami lahir, saya beri nama Intan Marina. Intan adalah simbol kekuatan alam, pada Intan yang selalu bersinar, dalam suasana apapun,
Marina adalah penggambaran jiwa Maritim ayahnya yang senang ke laut, ke pulau dan berpetualang ke pantai-pantai Nusantara. Juga tentang kesabaran menerima yang ada.
Saya masih ingat, pagi itu, sekira 07.30 Wita di Rumah Bersalin Pertiwi Makassar, saya baru saja menyelesaikan salat dhuha, salat penuh doa, dan tidak lama kemudian tangisan Marina meriung di rumah bersalin.
Istri saya Ningsih Umar nampak bersukacita, matanya berkaca-kaca, saya, mertua, tante dan seluruh keluarga dari Kakatua II berbahagia, saya pun mengabari keluarga di Galesong: Lahirmi anakku.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk anakku Intan Marina yang berulang tahun 26 Desember 2025.
Dia pasti tahu bapaknya ini senang bepergiaan, dia tahu ibunya, Ning, yang telaten merawatnya, menjaganya, mengantar ke sekolah, ke tempat belajar, bahkan sampai sekarang saat dia sudah bekerja.
Dia pasti ingat bagaimana ayahnya memandu keluarga ini untuk bisa terbentuk, bertahan, berkembang, cari rezeki, mengembara dan juga mengelola perikehidupan.
Dia pasti tahu bahwa saat dia kanak-kanak, ayahnya sedang di Selat Makassar, di Selayar, hingga ke Pulau Jawa dan Sumatera.
Dia juga tahu hal-hal yang membuat ayah-ibunya waswas, tentang cinta, masa depan dan harapan-harapan sesudahnya.
Hari ini, bapak senang sekali, bisa merayakan ulang tahun bersamamu setelah dua tahun sebelumnya bapak berkelana hingga ke pesisir Arab. Bapak yang mestinya masih di Sorowako pekan ini, pulang lebih awal demi memenuhi harapanmu, merayakan ulang tahun bersama ibu, kedua saudaramu, kolega dan teman-teman terbaikmu.
Happy birthday, my Love, Intan Marina.
Btw, ada puisiku nah.
Puisi untuk Anakku, Intan Marina
(26 Desember 2025)Masih ingatkah engkau
saat kita pulang naik becak dari sekolahmu?
Bapak selalu merindu
rambut pony-mu yang menari,
senyummu yang bening,
dan caramu bersandar tenang
di bahu ayah.Jalan dari sekolah ke rumah kita
berkelok, berlubang, dan menanjak.
Namun selalu ada jalan lain.
Kita berbelok, menyusuri Cambaya,
menyapa sempadan,
mendengar kecipak air
dari ruas-ruas batang Jeneberang
yang mengalir sabar.Marina, anakku,
hidup yang kau lalui tampak tak selalu mudah,
namun kau memilih tetap muda
dalam cara memaknainya.
Kau melangkah dengan semangat,
menjaga gairah,
dan mencintai hidup dengan caramu sendiri.Di sanalah bapak dan mama
selalu menemukan alasan
untuk bangga padamu.Selamat ulang tahun, dongdongku.
Kami mencintaimu,
kini dan selalu.
—
DN & DK
Tamarunang, 26 Desember 2025
