Mahasiswa Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas, Nur Aghni Abika menuliskan pengalamannya menggeledah dampak telemedisin. Hal yang disebutnya sebagai pedang bermata dua. Mari simak temuannya.
PELAKITA.ID – Aspek privasi kaitannya dengan perkembangan teknologi digital saat ini adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Dulu, orang harus bertemu langsung atau berkirim surat untuk berkomunikasi dengan kerabat. Sekarang, semua itu bisa dilakukan dengan mudah meski dari jarak jauh.
Bahkan, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari pun bisa selesai hanya dengan sentuhan jari. Perubahan ini tidak hanya memengaruhi ekonomi dan kehidupan sosial, tetapi juga membawa dampak besar di bidang kesehatan.
Salah satu contohnya adalah telemedis, yang telah membuat layanan kesehatan menjadi lebih mudah diakses oleh masyarakat.
Perkembangan teknologi digital memang membawa banyak kemudahan, termasuk dalam berkomunikasi dan menggunakan layanan kesehatan lewat telemedisin. Tapi, di balik manfaatnya, ada juga tantangan besar yang harus dihadapi, terutama soal keamanan.
Salah satu masalah utama adalah melindungi data pribadi. Dalam telemedisin, informasi kesehatan pasien yang sifatnya sangat pribadi disimpan secara digital. Kalau tidak dijaga dengan baik, data ini bisa bocor dan disalahgunakan.
Kasus pencurian data di bidang kesehatan sudah sering terjadi, dan hal ini bisa membuat orang kehilangan kepercayaan pada layanan kesehatan.
Secara sederhana, telemedisin adalah layanan kesehatan yang memanfaatkan teknologi komunikasi tanpa harus bertatap muka. Layanan ini bisa mencakup berbagai hal, mulai dari konsultasi dokter secara online, pemantauan kesehatan melalui perangkat wearable, hingga aplikasi kesehatan yang mungkin tidak asing lagi bagi masyarakat umum seperti Halodoc, Alodokter, atau KlikDokter.
Pengalaman warga
Ketika ditanya tentang manfaat telemedisin, Selfi Damayanti, seorang mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Hasanuddin, memberikan pandangannya.
”Bagi saya, telemedisin sangat membantu, terutama untuk orang-orang yang tidak memiliki kendaraan atau tinggal jauh dari fasilitas kesehatan. Saat kita benar-benar membutuhkan layanan kesehatan, telemedisin bisa menjadi solusi praktis,” ungkap Selfi.
Ia menambahkan bahwa layanan ini tidak hanya memudahkan, tetapi juga menghemat waktu dan tenaga.
“Apalagi di situasi mendesak, kita bisa langsung konsultasi dengan dokter tanpa harus keluar rumah,” tambahnya.
Pendapat seperti ini menunjukkan bagaimana telemedisin mampu menjangkau masyarakat yang mungkin selama ini kesulitan mengakses layanan kesehatan. Dengan telemedisin, pasien tidak perlu repot-repot datang ke rumah sakit atau klinik, sehingga waktu dan biaya bisa lebih hemat. Sebenarnya, telemedisin sudah ada sebelum pandemi, tetapi popularitasnya meningkat pesat karena kebutuhan akan layanan kesehatan jarak jauh.
Meski membawa banyak manfaat, seperti kemudahan dan efisiensi, telemedisin juga menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu yang paling penting adalah soal keamanan dan privasi data pasien.
Informasi medis, seperti riwayat penyakit, hasil tes, atau resep obat, adalah data yang sangat sensitif dan harus dijaga agar tidak disalahgunakan.
Sayangnya, kasus kebocoran data di Indonesia bukan hal baru. Menurut laporan dari laman Tempo oleh Aulie Postiera, pegiat keamanan siber dari Ciberity, sekitar 6 juta data NPWP pernah diretas dan dijual di dark web dengan harga sekitar Rp150 juta.
Data tersebut bahkan mencakup informasi penting milik pejabat negara. Risiko seperti ini juga mengintai sistem kesehatan digital, termasuk BPJS Kesehatan.
Penelitian tahun 2024 mengungkapkan bahwa pada 2021 terjadi kebocoran data pasien sebesar 720 GB, yang berisi informasi detail seperti nama pasien, rumah sakit, hasil tes Covid-19, dan banyak lagi.
Kebocoran seperti ini sangat merugikan masyarakat. Jika data pribadi jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab, dampaknya bisa berupa penyalahgunaan untuk tindak kejahatan, bahkan kejahatan siber.
Jadi prioritas
Perlindungan data pasien dalam telemedisin harus menjadi prioritas utama. Di sisi lain, masyarakat juga berhak mendapatkan dukungan dan perlindungan jika datanya disalahgunakan.
Telemedisin memang membawa harapan baru dalam dunia kesehatan, tetapi keamanan harus berjalan seiring dengan kemudahannya.
Dalam sebuah wawancara, dr. Andi Khomeini Takdir, seorang dokter yang memiliki ratusan ribu pengikut di aplikasi X, menekankan pentingnya menjaga privasi data pasien.
“Data mengenai pasien itu adalah rahasia medik dan bukan untuk konsumsi publik. Kecuali ada kondisi yang memperbolehkannya dibuka atau pasiennya sendiri yang menyampaikan,” jelas dr. Andi.
Ia juga menambahkan bahwa dalam diskusi medis, menjaga kerahasiaan pasien adalah hal wajib. “Itulah sebabnya, saat dokter membahas sebuah kasus, biasanya nama pasien diganti dengan inisial, foto di-blur, dan informasi lainnya disamarkan,” tambahnya.
Di Indonesia, telemedisin sebenarnya sudah diatur dalam beberapa regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine.
Aturannya jelas: layanan telemedisin hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berizin di fasilitas kesehatan yang sudah ditunjuk. Namun, kenyataannya tidak semua platform konsultasi online mematuhi aturan ini.
Masih ada platform yang tidak terdaftar sebagai fasilitas kesehatan resmi, tetapi tetap beroperasi demi keuntungan pribadi.
Selain itu, ada kekurangan dalam aturan yang ada, terutama soal legalitas praktik, keamanan data, dan perlindungan pasien. Hal ini membuat telemedisin di Indonesia masih jauh dari kata sempurna.
Misalnya, Peraturan Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medik hanya menyebutkan soal data elektronik tanpa memberikan pedoman yang jelas tentang bagaimana melindungi data digital pasien.
Padahal, informasi kesehatan pasien adalah sesuatu yang sangat sensitif dan rawan disalahgunakan. Saat diwawancarai, salah satu mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Hasanuddin yaitu Nabila Lathifa mengungkapkan pendapatnya tentang telemedisin:
“Kalau saya sakit, saya lebih memilih mendatangi fasilitas kesehatan terdekat, seperti puskesmas atau klinik. Saya merasa telemedisin kurang efektif, apalagi sekarang banyak layanan dan obatnya yang harus berbayar,” ujarnya.
Mahasiswi tersebut juga menyoroti perbedaan akses layanan kesehatan bagi pemilik BPJS.
“Kalau kita punya BPJS, bisa mengakses layanan kesehatan terdekat secara gratis. Jadi, buat saya, itu lebih praktis dibandingkan telemedisin,” tambahnya.
Pendapat ini menunjukkan bahwa meskipun telemedisin memberikan kemudahan, masih ada masyarakat yang merasa layanan kesehatan langsung lebih efektif dan terjangkau.
Tantangan besar
Telemedisin memang membawa banyak manfaat, tapi ada tantangan besar yang harus dihadapi, terutama soal privasi dan keamanan data kesehatan. Informasi medis yang sifatnya pribadi harus dijaga dengan baik agar tidak disalahgunakan.
Keamanan data pasien dalam telemedisin harus menjadi prioritas utama. Selain menggunakan sistem keamanan seperti kata sandi dan otentikasi yang kuat, regulasi hukum yang tegas juga sangat dibutuhkan.
Beberapa negara, seperti di Eropa dan Afrika Selatan, sudah memiliki aturan yang lebih lengkap untuk melindungi data pasien. Indonesia juga harus mulai memperbaiki dan memperkuat regulasi terkait agar telemedisin bisa berjalan dengan aman dan tetap memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.
Pemerintah perlu segera membuat aturan yang lebih jelas dan lengkap soal telemedisin.
Harapannya, aturan ini tidak hanya memudahkan pasien mendapatkan layanan kesehatan, tapi juga memberikan kepastian hukum bagi tenaga medis dan memastikan kualitas layanan tetap terjaga.
Dengan begitu, masyarakat bisa merasa lebih aman dan nyaman menggunakan telemedisin.
Jadi, bagaimana menurut Anda, apa langkah terbaik yang bisa dilakukan untuk memastikan telemedisin di Indonesia berjalan aman dan memberikan manfaat maksimal bagi semua pihak?