PELAKITA.ID – Pukul 4 sore setiba di Kota Wawondula, bersama empat kawan lainnya, kami menepi di warung di sisi barat pasar kecamatan Towuti.
Saat yang lain pesan sop saudara, bandeng dan udang bakar, seorang kawan memesan pepesan. Tak lazim, pepes beronang.
Saya yang awalnya berselera pada sop saudara ikut memesan menu serupa.
Jika biasanya yang dipepes ikan teri, usus bandeng atau patin, tapi kali ini beronang, ikan khas ekosistem lamun yang umumnya enak dibakar dan dicocol dengan sambal.
Singkat cerita, suasana ‘late lunch’ tersebut berlangsung sukses. Udang tandas, bandeng habis, sop saudara milik Gani kosong di piring. Sembari mengunyah dan mencabik daging beronang pepes yang nikmatnya tiada tara itu, saya menimbang dalam hati.
“Bagus nih kalau saya sisakan ekor dan pesan nasi bekal pulang malam ke Makassar,” batinku.
Sore itu, kami mengakhiri perjalanan dari Desa Buangin, setelah melewati hamparan perkebunan merica, jalan bergelombang, persawahan dan kampung-kampung di antara Danau Mahalona dan Dana Towuti.
Meski telat makan siang, namun kami beruntung bisa memperoleh banyak pengalaman dan insipirasi dari Buangin.
Tentang daya tahan warga transmigran, isu ketersediaan air bersih dan pentingnya menyiapkan generasi dengan pendekatan ibadah kolektif seperti anak-anak SD di desa itu yang berjamaah di Masjid Al-Azhar. Tidak kurang lima puluh orang menjadi peserta salat dhuhur siang itu.
Sembari menunggu pelayan membungkus ikan beronang pepes sisa berikut nasi, saya membayangkan suasana perjalanan naik Bintang Timur ke kota Makassar, tentang destinasi makan malam, suasana di bus, dan seperti biasanya, ancaman mules atau kembung selama perjalanan.
Jujur saja, saya termasuk insan yang tak mudah untuk tidur di atas bus.
Setelah mandi di homebase kami, dan mencoba duduk di atas kloset – meski nihil hasil – sahabat saya, Gani, gegas mengantar saya ke terminal bus Sorowako.
“Salat magrib di terminal saja,” katanya.
Saya menaruh pepes beronang dan sebungkus nasi sebagai tandemnya di kabin bus. Saya masih dihantui pertanyaan, di manakah gerangan titik berikutnya untuk melepaskan hajat tersimpan itu, amat kesulitan melepasnya saat pagi, mengalami telat makan siang dan ‘kekenyangan’ di sore hari.
“Suatu saat akan lepas ini.” sungutku selepas shalat magrib di pool. Bus melaju pukul 19.30, agak telat. Saya duduk manis sembari menghamburkan postingan di grup WA.
Pukul 24.00, saya matikan gadget dan mencoba tidur.
“Makan, makan, makan…” teriak kernet saat mobil berhenti di Bone-Bone kalau tidak keliru.
Saya turun, mencari ‘dudukan’ dan berharap ada serbuan dinihari tapi nihil. Saya pun tak berani membongkar pepes dan nasi di kabin.
Sebagai pengisi rasa galau, saya beli air mineral botol dan sekotak deppatori, kue khas Toraja berlumur minyak dan wijen. Makan dua biji dan mencoba lelap di kursi nomor 11. Tertidur. Ini perjalanan yang nikmat sesungguhnya sebab saya selalu sulit tidur.
“Subuh, subuh, subuh…” teriak kernet saat bus merapat di Pangkaje’ne, Sidrap.
Setelah salat subuh, drama itu datang. Saat yang lain sudah naik ke bus, saya pihak terakhir yang masuk ke bangunan MCK. Dari tiga kamar yang ada semua terisi. Saya mulai terdesak.
Saya menunggu hingga 5 menit sementara bus mulai bunyikan klakson.
“Biar saja,” sungutku.
Kamar pertama bunyi ceklek, dan seorang pria keluar dengan tas selempangnya.
Agak geram juga sebab dia begitu lama di dalam. Hi-hi. Tidak butuh waktu lama untuk saya mulai prosesi itu sebab saya mengenakan celana ‘trening’. Jebret, jebret, jebret, tapi tetap nihil.
Masih gagal. Hanya angin sisa minuman coke yang lepas. Rencana saya untuk makan pepes, batal.
Ada banyak ketakutan setelah itu. Saya pun naik di bus diantar klakson bus yang aduhai. Tak ada adegan tidur setelah itu. Saya menikmati semburat cahaya di sisi timur Kota Pangkaje’ne hingga Maros.
Memandangi rembulan penuh di barat yang sebentar lagi menepi. Pemandangan yang indah dan luar biasa itu saya sebut sebagai hiburan di ujung nestapa.
Karena bus hanya sampai Daya, saya pun menyambung pete-pete.
Hampir saja ada insiden sebab pete-pete yang saya tumpangi remnya blong. Hampir saja menabrak Escudo. Tak ada orderan ojek atau mobil online kali ini. Saya mencegat pete-pete 07 lalu naik pete-pete merah.
Yang saya pikir, pepes beronang harus segera sampai Tamarunang, di kediaman kami dan betul saja, istri dan anak sulung saya juga sangat menikmati ikan pepes beronang tersebut.
Penulis Denun