Rusdin Tompo, Koordinator Satupena Sulawesi Selatan membagikan hasil pembacaannya paa realitas makam Raja Raja Tallo di Makassar. Berikut temuannya.
PELAKITA.ID – Di Tallo, tak cuma ada Kompleks Makam Raja-Raja Tallo, tapi juga jejak sejarah lainnya. Di kecamatan dengan luas wilayah 5,83 kilometer persegi ini, terdapat pula bekas-bekas benteng dan makam Raja Bone. Luas Kecamatan Tallo sekira 3,32 persen dari total luas wilayah Kota Makassar yang mencapai 175,8 kilometer persegi. Jumlah penduduknya pada tahun 2024 tercatat sebanyak 127.648 jiwa.
Saya diajak Ferdhiyadi ke Tallo, Minggu, 12 Mei 2024. Ferdhi merupakan pengajar sejarah dan pegiat kebudayaan.
Rasa-rasanya lama baru saya kembali ke sini. Terakhir saya ke Pantai Mangarabombang, biasa disingkat Marbo.
Kami lalu berboncengan menapaki jalan beton sempit yang membelah kampung di situ. Motor kami berjalan pelan karena banyak anak-anak bermain sepeda. Ada pula yang bermain sepeda listrik.
Ferdhi menunjuk ke suatu gundukan tanah yang tertutup belukar dan bongkaran rumah. Sambil menyetir Honda Scoopy, saya menoleh ke arah yang dimaksud. Benar. Terlihat ada bekas-bekas susunan bata, yang oleh Ferdhi disebut benteng.
Di tempat berikutnya juga kami melihat bekas-bekas benteng yang memprihatinkan. Bentuknya hanya berupa susunan bata setinggi lebih satu meter. Bata-bata itu berlumut, dan nyaris akan menyatu dengan tanah.
Kami meneruskan perjalanan menuju bekas lokasi benteng berikutnya. Setelah motor di parkir di dekat pos ronda, saya bertanya pada seorang lelaki paruh baya di situ, tentang bangunan kecil berbentuk rumah. Namun, dia mengaku tidak tahu. Alasannya, dia baru datang dari Nunukan.
Di dalam rumah kecil beratap seng, dengan tiang dicat biru dan tembok semen itu terdapat kuburan. Ujung atap rumahnya mengikuti rumah tradisional Makassar, yang bersilang.
Rumah itu diapit 2 tiang bendera, yang tampaknya sudah lama tidak diganti. Bendera Merah Putih yang berkibar, sore itu, terlihat kusam dan koyak pada ujungnya.
Ferdhi mengajak saya melihat-lihat bekas lokasi benteng tersebut. Menurut, informasi yang dia peroleh, tempat itu dikenal dengan nama Pa’banderang oleh masyarakat setempat. Namun, itu merupakan Petilasan Bastion Maccini Sombala.
Saya berjalan mengikuti bentuk lingkaran benteng itu dan iseng-iseng menghitung ketebalan dindingnya. Masya Allah, terdapat 12 bata disusun berlapis. Saya membayangkan, betapa kokohnya benteng itu di masanya.
Benteng Tallo yang kami kunjungi ini, berdasarkan “A Tale of Two Kingdoms: The Historical Archaeology of Gowa and Tallok, South Sulawesi, Indonesia (Bulbeck, 1992), dilengkapi dengan dua pintu utama, yang terletak di bagian timur dan selatan. Terdapat 9 bastion, 5 di antaranya masing-masing diberi nama, yakni Bastion Maccini Sombala, Bastion Balang Cidi, Bastion Mangarabombang, Bastion Gampangcaya, dan Bastion Bayoa.
Setelah menelusuri jejak Benteng Tallo, kami balik arah, menuju Kompleks Makam Raja Bone. Di salah satu sisi pintu gerbang, ada simbol songkok To Bone, biasa disebut pula songkok recca atau songkok guru.
Ferdhi mengajak saya melihat-lihat dua makam yang letaknya terpisah. Makam itu masing-masing merupakan makam La Tenripale To Akkeppeang Arung Timurung (Raja Bone XII), dan makam La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo Arung Palakka (Raja Bone XXIII).
La Tenripale To Akkeppeang Arung Timurung, memerintah tahun 1616-1631. La Tenripale wafat di Tallo, tahun 1631, dan mendapat gelar anumerta Matinroe ri Tallo. Ia kemudian digantikan oleh keponakannya, La Maddaremmeng Opunna Pakokoe Arung Timurung, sebagai Raja Bone XIII.
La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo Arung Palakka, Sultan Ahmad Saleh Syamsuddin, memerintah sebagai Raja Bone XXIII, sejak tahun 1775 hingga 1812. La Tenri Tappu wafat di Rompegading pada tahun 1812, dan mendapat gelar anumerta Matinroe ri Rompegading. Beliau kemudian digantikan anaknya La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka sebagai Raja Bone XXIV.
Semasa hidupnya, La Tenri Tappu salah satu tokoh penting aristokrat Bugis, yang turut menggerakkan tradisi penulisan, selain dikenal pula sebagai penganut Tarikat Khalwatiah. Salah satu karyanya yang terkenal Nurul al-Hadi atau dalam bahasa Bugis disebut Tajang Paatiroang. Beliau merupakan pengagum ajaran-ajaran Syekh Yusuf Taj Al-Khalwatiah.
Sebelumnya, La Tenripale Sultan Adam, Raja Bone XII, telah mendalami tasawuf Islam. Bahkan beliau dikenal sebagai penganjur Islam dan ajaran tasawuf pada masyarakat Makassar dan Bantaeng.
Beliau memperdalam ilmu agama langsung dari ulama Melayu, yakni Datuk Ditiro dan Datuk Ribandang. Beliau berkali-kali mengunjungi Gowa untuk urusan memperdalam agama Islam, yang kala itu pengajiannya berpusat di Kalukubodoa.
Tulisan Muhlis Hadrawi dan Ramlah Hakim berjudul “Peranan Ulama dan Aristokrat dalam Tradisi Tulis dan Produksi Teks Akkalabineang dan Teks Khalwatiah di Sulawesi Selatan” (Jurnal Al-Qalam, Volume 22 Nomor 1 Juni 2016) membantu saya memahami, mengapa makam kedua Raja Bone itu berada di Tallo.
Selama ini, gambaran tentang makam kalangan bangsawan di wilayah utara Kota Makassar –di benak saya– hanya terkait dengan Kompleks Makam Raja-Raja Tallo. Luas areal makam pada bagian dalam pagar, yakni 7.535,7 meter persegi.
96 Makam
Di komplek makam ini, terdapat 96 makam, terdiri dari 5 makam berukuran besar, 55 makam berukuran sedang, dan 36 makam berukuran kecil.
Makam-makam di sini mewakili bentuk-bentuk makam pada Abad XVII hingga Abad XVIII. Berdasarkan bentuknya, makam di sini memiliki beberapa tipe, antara lain tipe Kubang (susun-timbun). Yakni, tipe makam yang terbuat dari susunan balok batu berbentuk persegi, berundak 3 dan 4.
Sore itu, saya bertemu Aco, lelaki kelahiran 1974, yang mengaku membantu bapaknya membersihkan kompleks makam.
Bapaknya, Daeng Samadong, juga biasa membaca doa kalau ada yang datang untuk ziarah kubur. Makam yang paling sering diziarahi, kata Aco, adalah makam Sultan Mudafar (Imanginyarrang Daeng Makkio), yang merupakan Raja Tallo VII, memerintah pada tahun 1598-1640.
Dalam Komplek Makam Raja-Raja Tallo ini terdapat dua baruga, yang tampak tidak terawat baik. Anak-anak dan remaja memanfaatkan halamannya yang luas untuk tempat bermain layang-layang.
Sebelum meninggalkan kompleks makam, saya menuju papan informasi yang mencantumkan nama-nama raja dan kerabatnya yang dimakamkan di sini. Nama-nama itu juga bisa ditelusuri di platform digital.
Namun bukan itu yang membuat saya tergelitik. Pikiran saya terus terbawa pada sisa-sisa Benteng Tallo yang kini hanya tinggal nama.
Saya khawatir, jangan sampai sejarah di sini telah terkubur oleh waktu, dan kemudian terlupakan secara mengenaskan. Semoga tidak. (*)