PELAKITA.ID – Guru Besar tetap dalam Bidang Eko-Sedimentologi pada Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Rifardi, menjadi pembicara webinar Ada Apa dengan Sedimentasi Laut yang digelar oleh Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO), Sabtu, 9/6/2023.
Prof Rifardi menamatkan S1 Manajemen Sumberdaya Perairan di Faperika UNRI (1989) dan menyelesaikan S2 Marine Science di University of Rhukyus, Jepang (1993) serta S3 Science of Marine Resource University of the Kaghoshima, Jepang (1999).
Tema webinar ini relevan dengan merebaknya polemik boleh tidaknya mengekspor pasir atau sedimen dari laut Indonesia setelah bertahun-tahun dilarang.
Peraturan Pemerintah PP 23/2023 teranyar yang membolehkan ekspor pasir laut itu.
Memahami Sedimentasi
Dalam penjelasannya, Rifardi menyebut, sedimen bisa dalam bentuk pasir, bisa dalam bentuk lumpur.
“Konsen kita sehubungan dengan PP 23/2023, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah wilayah yang sangat dekat dan terbatas,” ucapnya.
Maksud dia, terbatas dalam hal sumber sedimen, jernis partikel didominasi dari darat dan laut meski jumlahnya sedikit.
Pria yang juga Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan (Faperika) Universitas Riau (UNRI) periode 2023-2027 ini menyatakan, prinsip pengendapan yang terjadi adalah, sedimen yang lebih besar akan diendapkan tidak jauh dari sumbernya.
“Kalau di pantai, arahnya ke laut, dari pantai ke laut berukuran besar lalu semakin halus,” jelasnya.
“Itu natural dari prinsip pengendapan,” tambahnya.
“Sekarang, berdasarkan prinsip pengendapan sedimen, yang berpengaruh ke kualitas lingkungan adalah proses sedimentasinya,” ungkapnya.
“Kalau kita lhat dari atas pesawat, dari pinggiran ke bawah, nampak sekali warna air dari dekat pantai dan jauh pantai, di pantai lebih keruh itulah proses sedimentasi, itulah yang menyembabkan terdegradasinya fungsi ekosistem wilayah pesisir,” jelasnya.
Menurutnya, ketika proses sedimentasi sudah selesai, maka partikel akan mengendap dan tidak ada menjadi masalah bagi lingkungan ketika jadi sedimen.
“Sudah settle, di dasar perairan, proses alamiah inilah yang setiap saat terjadi, ada arus menyapu, mengendap, disapu lagi,” terangnya.
Dia menyebut meski dari kecepatan sedimentasi perairan tidak pernah menjadi daratan dengan cepat, tertimbun, tersapu, terendapkan.
“Persoalan yang muncul, ketika sedimen sudah mengendap dan ada aktivitas yang akan mengambilnya dan itu punya potensi terjadi resedimentasi, atau reproses sedimentasi,” lanjut dia.
“Resedimentasi ini yang mengulang proses sedimen dan menyebakan dam;pak negatif terhadap ekosistem di sekitarnya terutama perairan dangkal,” jelasnya.
Dampak itu pada jumlah tangkapan nelayan tradisional. “Dampak sedimentasi, hampir semua akan terdampak kalau seandainya sedimentasi terlalu tinggi,” tambahnya.
“Dengan konsepsi Blue Carbon atau Blue Economy, kita pernah melakukan penelitian peranan perairan pesisir ini mampu menstabilkan dengan menyerap karbon yang ada, bagaimana degradasinya ketika sedimentasi yang tinggi,” lanjutnya.
Dia menilai tidak jauh beda antara perairan dan karbon di darat dan lautan.
“Yang perlu kita cegah adalah proses sedimentasi yang terjadi, proses yang berawal dari hulu, dari sumber, perlu konsen ke sana,” ucap dia.
Hal tersebut menurut Rifardi agar tingkat berpengaruh pada kekeruhan total sediment suspended, agar tidak mengurangi kesempatan untuk bereproduksi, sehingga produktivitas akan meningkat.
“Memang selama siklus ini selalu terjadi pendangkalan,” katanya.
“Kita tidak boleh juga menutup mata bahwa pendangkalan terjadi, biasanya pendangkalan terjadi mengakibatkan volume perairan berkurang, artinya, produks perairan juga akan berdampak,” terangnya.
“Sedimentasi sering mengakibatkan terganggunya alur transportasi pada daerah tertentu saja,” ucapnya.
“Siklus alamiah ini bisa kita kurangi dengan tidak melakukan resedimentasi dengan mengganggu habitat dasar, kalau terganggu, maka ekosistem dasar perairan akan terganggu juga,” pungkasnya.
Acara webinar dibuka oleh Ketua ISKINDO, M Riza Damanik. Acara berlangsung hingga pukul 1 siang dan diikuti seratusan lebih peserta dari berbagi daerah di Indonesia.
Editor: K. Azis