Tantangan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu di era digital

  • Whatsapp
Ir Abd Ma'bud (dok: istimewa)

DPRD Makassar

Abdul Ma’bud, praktisi pemberdayaan masyarakat yang berpengalaman dalam fasilitasi partisipasi masyarakat mulai dari tingkat desa hingga kota memberikan perspektifnya tentang tantangan pelaksanaan pemilu dari sisi partisipasi pasi masyarakat dalam pengawasan. Mari simak. 

PELAKITA.ID – Pemilu 2019 merupakan pemilihan umum yang digelar secara serentak pertama yang digelas ditengah masyarakat Indonesia yang sadar digital. Mayarakat digital sendiri adalah tantangan baru dalam mewujudkan pemilu yang berintegritas.

Tuntutan untuk transparansi, akurasi, dan kemudahan akses informasi lebih cepat menjadi karakter dari masyarakat digital tersebut.

Mayarakat digital punya ruang public tersendiri yakni media sosial, yang kemudian menjadi public sphere baru bagi masyarakat untuk memperbincangkan segala macam permasalahan termasuk politik.

Tidak salah jika media sosial, sebagai salah satu produk internet yang menjadi pilar ke-5 demokrasi selain eksekutif, legislatif, yudikatif, dalam perkembangannya memiliki peranan khusus, dalam membangun demikratisasi yang sangat strategis.

Pelibatan masyarakat dalam ekosistem politik adalah bagian dari konstitusi, dan pengejawantahan dari demokrasi itu sendiri.

Konteks dan tantangannnya

Pemilu 2019 menyerentakkan pemilihan anggota legislatif dengan pemilihan presiden.

Hal ini dilakukan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang pemilu serentak.(1).

Menurut Mahkamah, penyelenggaraan pilpres harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang.

Selain itu, pilpres yang diselenggarakan secara serentak dengan pileg juga akan mengurangi pemborosan waktu dan mengurangi konflik atau gesekan horisontal di masyarakat.(2).

Fragmentasi penyelenggaraan pemilu dan pemilihan serentak 2024 saat ini masih menggunakan dua regulasi yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Pelaksanaan pemilihan umum presiden, pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah dilaksanakan pada tahun yang sama.

Pemilihan presiden dan pemilihan legislatif dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024, sedangkan Pemilihan kepala daerah akan dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024. Hal ini tentunya akan menjadi tantangan tersendiri dalam proses pelaksanaan pengawasan pemilu.(3).

Partisipasi Masyarakat Digital

Partisipasi menurut Ach. Wazir Ws., et al, diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu.

Dengan pengertian itu, seseorang dapat berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama.

Sedangkan menurut Slamet partisipasi sepadan dengan arti peran serta, ikut serta, keterlibatan atau proses bersama saling memahami, merencanakan, menganalisis, dan melakukan tindakan oleh sejumlah anggota masyarakat.

Tantangan Pengawasan Pemilu

Menurut Hutington dan Nelson yang dikutip oleh Cholisin partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksud untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.

Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, teroganisasi atau spontan, masif atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.(8).

Menurut Conyer, ada tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat penting.

Pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.

Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut.

Ketiga, timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.

Partisipasi masyarakat offline (citizen) dengan masyarakat online (netizen) memiliki kesamaan dalam berpartisipasi, yang membedakan diantara keduanya adalah ruang, untuk citizen mereka berpartisipasi secara langsung dengan bertatap muka satu sama lain, sedangakn netizen mereka berpartisipasi melalui ruang maya.

Melibatkan partisipasi masyarakat baik secara offline maupun online, baik secara individu maupun berkelompok akan membangun atmosfir pengawasan pemilu menjadi lebih berkualitas.

Partisipasi Masyarakat Digital dalam Pengawasan Pemilu

 Partisipasi masyarakat dalam menyukseskan pemilu sangat dibutuhkan. Mereka bisa bergabung ke dalam lembaga pemantau pemilu untuk terlibat dalam pemantauan pemilu.

Namun mereka juga bisa bergerak sendiri baik secara perseorangan atau bergabung dalam organisasi untuk melaksanakan pendidikan pemilih, jajak pendapat, penghitungan cepat bahkan sosialisasi pemilu.

Untuk mencapai target sebagai masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam pemilu, banyak memanfaatkan media sosial sebagai alatnya. Selain karena faktor efisien, media sosial memiliki daya jangkau yang luas.

Media sosial dapat merasuk pada relung-relung sosial terdalam, yang belum tentu bisa dijamah oleh model sosialisasi konvensional.

Media sosial menjadi public sphere baru bagi masyarakat untuk memperbincangkan politik.

Media sosial adalah alat komunikasi paling efektif, murah, dan masif. Dalam perkembangannya media sosial menjadi penting sebagai sarana yang efektif dalam proses komunikasi politik, terlebih mampu membunuh jarak geografis dan psikologis antara calon pemimpin dengan konstituennya..

Partisipasi Masyarakat dalam pengawasan pemilu dapat memanfaatkan media sosial sebagai sarana dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tahapan pemilu, pelanggaran administrasi, kecurangan pemilu, dan kode etik.

Pemanfaatan Media Sosial dapat juga digunakan sebagai media melaksanakan sosialisasi, pengawasan tahapan pemilu, edukasi, dan advokasi kepada calon pemilih, penyelenggara pemilihan, partai politik dan Tim Sukses.         

Tantangan Pengawasan Pemilu di Era Digital

Pengawasan Pemilu adalah kewenangan Badan Pengawas Pemilu. Jika ditinjau berdasarkan  UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tugas Baswaslu meliputi menyusun standar tata laksana pengawasan penyelenggaraan Pemilu; melakukan pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu dan sengketa; mengawasi persiapan penyelenggaraan Pemilu; mengawasi pelaksanaan tahapan penyelenggaraan Pemilu; mencegah terjadinya politik uang; dan mengawasi netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), Tentara Nasional Indonesi (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri)” (11).

Pemilihan Umum serentak 2024 telah resmi diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yakni pada tanggal 14 Februari 2024, yang tertuang dalam Keputusan KPU RI Nomor 21 Tahun 2022.

Hal ini dinantikan oleh banyak pihak, mengingat spekulasi yang berkembang di masyarakat tentang adanya wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

Namun yang menjadi pertanyaan mendasar adalah bagaimana pengawasan yang akan dilakukan agar Pemilihan Umum Tahun 2024 berjalan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai amanah konstitusi.

Era digital saat ini tentu mempunyai konsekuensi yakni adanya potensi pelanggaran pemilu tidak lagi hanya sebatas di ruang publik yang nyata, akan tetapi potensi pelanggaran juga terjadi di dunia maya, khususnya terkait dengan informasi bohong, (hoaks) dan ujaran kebencian (hate speech).

Dalam kaitan Pemilu Tahun 2024 menjadi perhatian serius karena berdampak sangat luas dan mudah menyebar atau viral. Hal ini didukung adanya fakta bahwa pengguna internet di Indonesia pada Tahun 2021 mencapai 212,35 juta jiwa.

Jumlah tersebut setara dengan 73,7 persen jumlah populasi di Indonesia, dan pengguna internet aktif di media sosial sebanyak 170.0 juta jiwa. (internetworldstats).

Tantangan yang dihadapi  dalam penyelenggaraan pengawasan pemilu di era digital antara lain :

Penyebaran informasi bohong (hoaks) dan ujaran kebencian.

Kontestasi dalam pemilihan  presiden, pemilihan legislatif mempunyai kecenderungan untuk menggunakan segala cara untuk memenangkan kontestasi tersebut. Penggunaan Buzzer, seringkali digunakan untuk menjegal lawan politik.

Hal inilah yang berpotensi memecah belah bangsa Indonesia dan merusak tatanan demokrasi. Upaya yang penting dilakukan dalam mengantisipasi ataupun mencegah hal tersebut adalah dengan adanya edukasi dan literasi digital tentang Pemilihan Umum. Literasi digital tidak hanya kepada pengawas Pemilu dan peserta Pemilu tapi juga masyarat secara luas.

Dalam peningkatan literasi digital ini dapat dilakukan dengaan adanya kerjasama yang baik antara pengawas pemilu, platform media sosial dan juga Kemenkominfo.

Sehingga platform yang ditunjuk mempunyai instrumen untuk mencegah terjadinya hoaks dan ujaran kebencian atau sejenisnya.

Kesiapan Sumberdaya Manusia

Dalam pelaksanaan pengawasan pemilu kebutuhan akan Sumberdaya Manusia yang sadar digital.akan sangat dibutuhkan, mengingat tantangan terbesar adalah mewujudkan penyelenggaraan Pemilu 2024 lebih baik sehingga dibutuhkan kemampuan beradaptasi di era transformasi digital secara tepat.

Transformasi digital merupakan fenomena yang benar-benar terjadi dan tidak dapat dihindari oleh berbagai bidang termasuk dunia pemilu. Terlebih pada pemilu tahun 2024 mendatang, banyak pihak yang memprediksi milineal dan generasi Z yang dikenal generasi digital akan mendominasi suara. Oleh karena itu, mau tidak mau penyelenggara pemilu dituntut untuk beradaptasi dengan dunia digital.

Kesiapan Regulasi

Selain upaya pencegahan, hal yang perlu dibenahi adalah terkait penegakan hukum. Hal ini disebabkan oleh, belum adanya regulasi yang spesifik mengenai penindakan pelanggaran atau kejahatan pemilu dalam dunia digital.

Regulasi yang digunakan selama ini untuk menjerat pelaku hoaks dan ujaran kebencian atau sejenisnya merujuk kepada KUHP dan UU ITE.

Sehingga bagi peserta pemilu yang memanfaatkan jasa buzzer untuk menjatuhkan lawan politiknya melalui kampanye hitam di media sosial sulit ditindak dengan hukum pemilu.

Idealnya kepastian hukum atau regulasi tersebut menjadi perhatian untuk menghadirkan ketentuan hukum pemilu yang lebih spesifik di ranah digital. Sehingga bagi peserta pemilu yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam kampanye hitam bisa dijerat sanksi pidana dan juga didiskualifikasi dari peserta pemilu.

Peran masyarakat

Peran masyarakat dalam upaya pencegahan terjadinya pelanggaran pemilu di dunia digital.perlu dilakukan secara terstruktur , sistematis dan massif. Peningkatan pengetahuan tentang Literasi digital perlu dilakukan, ruang partisipasi masyarakat dibuka secara luas sehingga dapat menyampaikan potensi atau terjadinya pelanggaran pemilu.

Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua masyarakat di Indonesia memahami dengan baik berbagai tahapan yang ada dalam pemilu. Bahkan, masih ada pemilih pemula yang masih merasa bingung tentang tata cara pemberian suara dalam pemilu di tempat pemungutan suara (TPS).

Literasi tentang pemilu harusnya menjadi salah satu agenda utama dalam proses pencegahan pelanggaran pemilu. Pembentukan komunitas-komunitas peduli pemilu yang terdiri dari anggota masyarakat dapat membantu melakukan pencegahan pelanggaran pemilu.

Kesiapan Penyelenggara Pemilu

Kesiapan penyelenggara pemilu dalam memanfaatkan teknologi digital sudah dilakukan. Diantaranya adalah Aplikasi Lindungi Hakmu, Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), Sistem Informasi Pencalonan (Silon), dan Sistem Informasi Logistik (Silog), dan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap).

Namun, penggunaan teknologidigital dalam penyelenggaraan Pemilu tersebut perlu perhatian serius, mengingat tidak semua tahapan Pemilu memiliki kompleksitas yang sama, contohnya rekapitulasi suara. Rekapitulasi suara adalah proses yang memakan waktu yang dukup panjang sehingga berpotensi menimbulkan spekulasi diantara pemilih, sejalan dengan keberadaan media sosial. Keakuratan dari keamanan teknologi digital perlu dijamin kualitasnya. Pemanfaatan teknologi digital dalam penyelenggaran pemilu perlu memperhitungkan berbagai aspek yakni ketersedian anggaran hingga keamanannya.

Tantangan partisipasi masyarakat dalam era digital mengharuskan penyelenggara pemilu menghadirkan ruang partisipasi bagi seluruh masyarakat baik secara offline maupun secara online.

Peningkatan pengetahuan pemilih, peserta pemilu, penyelenggara pemilu harus dilakukan dengan melakukan edukasi, advokasi, dan literasi. Literasi dilakukan dengan melakukan sosialisasi tentang seluruh tahapan pemilu, tata cara pemilihan, larangan dalam pemilihan umum, dan kode etik dalam pemilihan.

Upaya pencegahan dengan melibatkan masyarakat dapat pula dilakukan dengan pembentukan komunitas-komunitas peduli pemilu,pembentukan forum bersama peduli pemilu.

Di samping itupula penyelenggara pemilu perlu melakukan Edukasi dan Literasi Digital agar dapat meminimalisir potensi penyebaran berita bohong (Hoax) dan Ujaran kebencian (Hate Speech).          

Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2024  sejatinya terlaksana secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.sehingga keterlibatan seluruh komponen dalam menciptakan suasana yang kondusif, aman dan damai menjadi suatu keharusan.

Pemanfaatan Teknologi Digital dalam Pemilu haruslah dilakukan secara arif dan tidak melanggar aturan dan regulasi serta norma yang ada di masyarakat dengan begitu , pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024 menjadi lebih baik.

Referensi :

  1. Tim Legality, Undang-undang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Legality, Yogyayakarta, 2017, halaman 2
  2. Tim Editor “Memahami Lagi Alasan Pilpres dan Pileg Digelar Serentak Tahun 2019. Diakses dari https://kumparan.com/@kumparannews/memahami-lagi-alasan-pilpres-dan-pileg-digelar-serentak-tahun-2019-154249507612342491 padatanggal 25 Juli 2019 pukul 20.49
  3. Triono, “Menakar Efektivitas Pemilu Serentak 2019”, Jurnal Wacana Politik Vol 2 No. 2, Oktober 2017, hlm.159
  4. Soehada, Metode Penelitian Sosiologi Agama. Teras, Yogyakarta, 2010, hlm 34.
  5. Wazir Ws, et al, ed. Panduan Manajemen Lembaga Swadaya Masyarakat, Sekretariat Bina Desa dengan dukungan AusAID melalui Indonesia HIV/AIDS and STD Prevention and Care, Jakarta, 1999, hlm. 29.
  6. Slamet. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan, IPB Press, Bogor, 2003, hlm. 8
  7. Fernanda Putra Adela dan Dio Safrial Truna, “Partisipasi Rakyat dalam Pengawasan Pilkada, Antisipasi Tingginya Angka Golput di Pilkada Sumut 2018” Jurnal Bawaslu, Vol. 3 No. 1, 2017. Hlm. 110
  8. Cholisin, dkk. Dasar-Dasar Ilmu Politik. UNY Press, Yogyakarta, 2007, hlm, 151
  9. Daud M. Liando, “Pemilu dan Partisipasi Politik Masyarakat (Studi Pada Pemilihan Anggota Legislatif dan Pemilihan Presiden Dan Calon Wakil Presiden di Kabupaten Minahasa Tahun 2014)” Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum, Vol 3 No. 2 Oktober 2016, hlm.9
  10. Ike Atikah Ratnamulyani dan Beddy Iriawan Maksudi, “Peran Media Sosial Dalam Peningkatan Partisipasi Pemilih Pemula Di Kalangan Pelajar Di Kabupaten Bogor” Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 20, No.2, Juli 2018, hlm. 156
  11. Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H. “Tantangan Pengawasan Pemilu Tahun 2024 dalam Acara Webinar secara Daring melalui Zoom Meeting Via Youtube, Bawaslu Wonogiri, 6 Juli 2022.

 

Related posts