PELAKITA.ID – SALAH SATU yang ditakuti mantan aktivis adalah lupa. Atau pura-pura lupa. Karena itu sering kita dengar jargon “Menolak Lupa”. Sesungguhnya itu bagian dari manifestasi “Jas Merah” yang diwariskan Soekarno, founding father kita.
Setiap mantan aktivis mahasiswa tentu punya kisahnya tersendiri. Berbeda-beda. Selalu indah dikenang sebagai romantisme. Ada yang sempat merekam dalam buku catatan, diary atau foto-foto kenangan.
Bagaimana yang tidak sempat? Yah, mau ta mau, harus “menjahit” ulang penggalan kisah heroiknya yang berserak itu.
Beruntung bagi Supriansa, mantan aktivis mahasiswa era Reformasi 98 asal Makassar, Sulawesi Selatan . Tidak lupa. Karena masih banyak saksi hidup.
Mereka penyaji testimoni perjalanan berliku dan terjal semasa dirinya menjadi pelaku demonstrasi dan advokasi membela ketidakadilan dan hak-hak masyarakat yang terabaikan oleh penguasa pada masa itu.
Tentu saja, jangan membayangkan situasi dunia kampus dan Lembaga kemahasiswaan di era tahun 80-an dan 90-an tersebut dengan konteks kekinian. Sangat berbeda. Tidak dapat diidentikkan dengan situasi mahasiswa saat ini.
Namun situasi kelembagaan mahasiswa waktu itu sesungguhnya banyak diwarnai dinamika dan gejolak.
Selain lewat demonstrasi, mahasiswa sering kali juga menggunakan media massa untuk menyatakan protes terhadap kebijakan birokrat kampus dan berbagai kebijakan pemerintah setempat yang tidak pro rakyat.
Pada masa ini, nama Supriansa sudah mulai banyak dikenal karena kerap menghiasi halaman dan headline suratkabar. Pimpinan atau korlap berbagai aksi unjuk rasa mahasiswa kala itu.
Memang, pada dua dekade tersebut di atas, lembaga-lembaga kemahasiswaan diwarnai selain disibukkan persoalan internal kampus juga banyak terlibat secara aktif dalam wacana dan gerakan besar dengan isu reformasi dalam rangka melengserkan rezim Orde Baru yang kemudian mencapai puncaknya pada 1998.
Semasa kuliah, Supriansa adalah seorang aktivis yang menimba ilmu di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.
Tepatnya di Fakultas Hukum.
Pada saat berstatus mahasiswa, ia aktif terlibat pada sejumlah aksi menyuarakan suara rakyat.
Selain itu, juga kerap menggelar dialog dan mendatangkan tokoh tokoh nasional di Makassar. Sebutlah, Bambang Widjoyanto, Adnan Buyung Nasution, Mulyana W. Kusumah serta sederet tokoh kritis pada masa Orde Baru.
Pada masa Reformasi 98, Supriansa bahkan memimpin aksi. Saat itu, dia tercatat sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Hukum UMI. Dan juga Presidium Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia (ISMAHI) yang terpilih di Padang (Sumbar) tahun 1986.
“Pada waktu itu terjadi gejolak dimana-mana. Kami pengurus lembaga di kampus seperti Zakir Sabhara, Supriansa dan lainnya memutuskan berangkat ke Jakarta naik kapal laut bergabung dengan mahasiswa dari daerah lainnya. Kurang lebih seminggu kami di ibukota sampai akhirnya Soeharto dan rezim orde baru tumbang dan dimulailah orde reformasi ,” cerita Muhamad Asram Jaya, mantan aktivis mahasiswa yang kini anggota KPU Sulsel.
Hingga lulus dan mendapat gelar sarjana hukum, Supriansa tetap di jalur aktivis. Ia malah mendirikan Makassar Intelectual Law (MIL) sebagai wadah pergerakan. MIL banyak mengadvokasi dan pendampingan hukum kaum marginal. Ia tampil membela para pencari keadilan yang tidak memiliki uang.
Namanya mulai jadi “buah bibir” ketika menangani sejumlah kasus.
Misalnya pedagang kaki lima dan eceran di sepanjang kawasan Pantai Losari Makassar, pedagang Pasar Sentral, pedagang Pasar Butung, warga Mandai yang tanahnya terdampak perluasan bandar udara (Bandara) Sultan Hasanuddin.
Ia pun mulai dilirik media. Namanya menghiasi surat kabar hampir setiap hari.
Lantas, darimana uang atau dana “menggerakkan” aksi dan advokasi tersebut? Beberapa barang atau milik pribadi Supriansa melayang. Bahkan ia menggadai cincin pemberian orang tuanya.
Dalam pergaulan, “Pak Dewan”, begitu sapaan akrab anggota DPR RI (periode 2019-2024) ini dikenal supel, dermawan dan mendapat pujian dari kawan-kawannya karena pembawaannya yang humble.
Ia masih kerap dijumpai bercengkrama di warkop-warkop, baik di kota Soppeng atau Makassar (Sulsel) saat reses dan kunjungan dapil maupun saat di Jakarta.
“Mangngakua (mengaku,red) saya kalau Supri. Baeki bos, saya saksinya. Suatu ketika, dia rela gadaikan hapenya demi traktir teman-teman ngopinya,” kata Firmansyah seorang sahabatnya.
Ibarat listrik, Supriansa itu adalah ‘loss meter’ yang akan memberikan semua yang akan dibutuhkan temannya. *
Penulis: Rusman Madjulekka
Editor: K. Azis