PELAKITA.ID – Proses Pilkades di Takalar memanas, kantor Desa Sampulungan terbakar. Lalu sekelompok massa menutup jalan di Poros Galesong – Barombong dan Limbung, tepatnya di depan Kantor Camat Galesong.
Mereka beraksi menuntut pembatalan proses seleksi calon kepala desa di beberapa desa di Takalar yang dianggap cacat hukum dan sarat kecurangan.
Ada beberapa cerita yang menyertainya. Seorang warga di Galesong Utara bernama Irvan, yang desanya sedang menyiapkan Pilkades menyebut di desanya ada 9 bacalon, 4 tokoh dari desa asal dan ada 5 berasal dari luar desa. Lima yang lolos itu semuanya dari luar. Itu contoh situasinya.
Meski kemudian tak ada alasan untuk menolak calon luar, atau tidak ada ketentuan yang melarangnya.
Tapi persoalan tidak berhenti di situ, tentang proses seleksi yang menggunakan tes tertulis juga diprotes warga. Ini lalu dikaitkan dengan hasil tes tertulis dan ketidaklolosan.
Sebagai misal, kawan kita itu, menyebut 4 calon dari dalam desa asal itu semuanya masuk besar di skoring berkas. Saat tes tertulis mereka dapat nilai rendah semua.
“Anehnya 2 dari 4 calon dari desa asal itu tamatan S2, sedangkan salah satu yang lolos dari desa luar itu cuma tamatan SMA,” tambah Irvan, alumni Unhas.
Beberapa pihak juga menilai ada beberapa hal yang membuat warga gamang terutama proses keluarnya Perbup yang mengatur pelaksanaan Pilkades serta isi Perbup yang sulit dimengeri.
“Saya kira banyak calon atau panitia tidak memahami isi Perbup itu,” ujar salah seorang mantan Kepala Desa di Galesong Utara.
Jadi perhatian
Suasana memanas di poros Galesong itu sebagai dampak proses seleksi yang dianggap cacat, menjadi perhatian akademisi Unhas, Dr Adi Suyadi Culla.
Kepada Pelakita.ID, pakar sosial politik itu menyebut banyaknya kasus ricuh Pilkades seharusnya jadi perhatian serius pemerintah untuk menjadi bahan evaluasi terhadap aturan Pilkades.
“Ada kelemahan besar dengan sistem Pilkades, tidak ada mekanisme pelembagaan konflik seperti yang dimiliki dalam sistem Pilkada. Kalau di Pilkada ada KPU dan Bawaslu,” ujar salah satu pengurus Majelis Daerah (MD) Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kota Makassar Periode 2021-2026 ini.
“Panwas dari provinsi, kabupaten dan kota yang mewadahi pelembagaan konflik. Sampai pasca Pilkada saat perhitungan suara diumumkan. Konsensus pasca Pilkada menandai bahwa Pilkada selesai dan berarti konflik pun selesai,” sebut Adi.
“Nah, di sistem Pilkades tidak ada kanalisasi konflik sampai-sampai konflik akan terus menjadi api dalam sekam hingga masuk Pilkades berikutnya. Fatal sekali negeri ini, apalagi jumlah Pilkades sedemikian banyaknya menyimpan bara konflik di seluruh pelosok Indonesia ,” katanya.
“Saya kira itu ancaman konflik politik yang tak nampak namun sepertinya dibiarkan tanpa solusi perbaikan sistem Pilkades. Pemerintah ikut bertanggung jawab menurut saya atas masalah tersebut,” tegasnya.
Pemerintah sejatinya tidak sekadar mewadahi demokrasi desa yang punu akar sejarah baik itu dengan penyelenggaran Pilkades, tapi semestiinya unit kerja Pemerintah memfasilitasi dengan aturan yang proporsional juga.
“Terutama terkait perwadahan konflik akibat pertarungan antar kandidat. Seharusnya Pilkades bisa berjalan baik karena justru di desa masyarakat bisa belajar berpolitik lelih santun dibanding dalam Pilkada atau Pileg dan Pilpres ,” tambahnya.
“Mengapa? Karena justru di desa hidup apa yang menjadi nilaii nilai penting demokrasi, local wisdom, ada kearifan lokal, ada tudang sipulung, ada sipitangarri,” tandasnya.
“Saya kira, kejadian di Galesong tersebut hanya salah satu contoh dari potret gunung es penyelenggaraan Pilkades yang menyimpan masalah besar terkait pelaksanaan demokrasi kita dalam penyelenggaran Pilkades yang bermasalah,” ujar Adi.
“Mestinya jadi alamat ancaman politik yang segera diselesaikan akar penyebabnya, jangan dipandang sebelah mata atau diabaikan, ini ancaman,” tegasnya.
Sementara itu, pakar hukum agraria Fakultas Hukum Unhas, Prof Aminuddin Salle Karaeng Patoto menyayangkan situasi yang terjadi di Poros Galesong itu.
Menurutnya, beberapa waktu lalu dia sudah ingatkan potensi konflik ini sehingga berinisiatif bikin ‘Desa Pancasila dan Penyelesaian Perseliisihan’ tingkat desa saat ada kunjuungan Hakim Konstitusi ke Galesong.
“Yang kita inginkan saat itu adalah adanya sistem pencegahan konflik desa, atau Pilkades dengan menyiapkan sistem ‘hearing dan rekonsiliasi’, jadi tidak perlu sedikit-sedikit unjuk rasa, bakar ban, demo. Ini kita sudah biicarakan dengan Mahkamah Konstiusi saat itu,” jelas Prof Aminuddin Salle.
“Saat ini kita perlu tenangkan diri, dengan kepala dingin mencari solusi dan titik temu. Saya percaya selalu ada jalan keluar, untuk Galesong, untuk Takalarta,” kunci pendiri Balla Barakkaka di Galesong ini.
Editor: K. Azis