PELAKITA.ID – Dua Keputusan Menteri (Kepmen) Kelautan dan Perikanan teranyar menghantar dua pelabuhan ‘sttategis’ menjadi domain swasta. Keduanya Pelabuhan Perikanan Benjina dan Tual di Maluku.
Kedua Kepmen itu adalah Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2022 Tentang Penetapan Pelabuhan Tual sebagai pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh pemerintah.
Lalu, Kepmen KKP Nomor 43 tahun 2022 tentang Penetapan Pelabuhan Benjina Sebagai Pelabuhan Perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah.
Pertimbangan keputusan MKP tersebut demi pengembangan perikanan dan melaksanakan ketentuan Pasal 41 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Penetapan Pelabuhan Tual ditegaskan dengan menunjuk PT Samudera Indo Sejahtera sebagai pengelola. Sementara Benjina milik PT Industri Perikanan Arafura, dan mengelola pelabuhan Benjina sebagai pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh pemerintah.
Seperti apa keputusan-keputusan yang menyertai penunjukan itu? Berdasarkan lembaran Kepmen yang beredar disebutkan kedua pelabuhan wajib melaksanakan fungsi pelabuhan perikanan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
Untuk melaksanakan fungsi pelabuhan perikanan, kedua perusahaan harus membentuk lembaga pengelola pelabuhan perikanan dan menetapkan kepala pelabuhan perikanan.
Dalam melaksanakan kegiatannya, kedua perusahaan bertanggung jawab dan menyampaikan laporan kegiatan pelabuhan perikanan setiap bulan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan dengan tembusan Gubernur Maluku.
Keputusan tersebut berlaku pada tanggal 22 Juni 2022 dan diteken oleh MKP Sakti Wahyu Trenggono.
Keluarnya Kepmen tersebut telah dibayangkan setahun lalu kala Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono berkunjung ke Pelabuhan Benjina.
Menurutnya beroperasinya pelabuhan Benjina dapat menggenjot geliat perikanan di Maluku serta mendukung implementasi penerapan kebijakan penangkapan terukur.
Sakti menyebut, beroperasinya Pelabuhan Perikanan Benjina dianggap penting untuk mendukung mata pencaharian masyarakat sekitar sebagai nelayan.
Pelabuhan tersebut memiliki dermaga dengan kapasitas tampung yang cukup besar hingga 300 kapal dengan panjang dermaga hingga 290 meter.
Pelabuhan yang dikelola oleh pihak swasta ini, sempat beroperasi sampai tahun 2014. Namun aktivitas kian meredup seiring terbongkarnya kasus perbudakan anak buah kapal (ABK) asing yang bekerja di salah satu perusahaan perikanan yang beroperasi di sana.
Menurut Trenggono pelabuhan ini juga mampu mendukung implementasi kebijakan penangkapan terukur yang akan mulai diberlakukan awal tahun 2022 dan program Maluku Lumbung Ikan Nasional (LIN).
Melalui kebijakan tersebut, pendaratan ikan nantinya harus dilakukan di pelabuhan yang tidak jauh dari area penangkapan, agar tercipta distribusi ekonomi ke daerah sehingga tidak lagi terpusat di Pulau Jawa.
Implikasinya
Andi Nurjaya, pemerhati dan pelaku usaha perikanan menyebut dengan adanya Kepmen itu, maka pelabuhan perikanan akhirnya dikelola secara eksklusif. Apalagi ini baru untuk dua lokasi, masih ada banyak lokasi yang akan ditunjuk oleh Pemerintah dan dibuatkan Permen ‘pelindung’ perusahaan perikanan swasta.
Pendek kata, setelah Benjina dan Tual akan menyusul pelabuhan perikanan swasta terbarukan.
“Padahal ketentuan dasar pengelolaan pelabuhan sifatnya inklusif. Akhirnya nelayan tidak dapat menggunakan pelabuhan dimana seharusnya mereka mendapat pelayanan. Andaipun bisa, tentu harus seizin pengelolanya,” ucapnya.
Dia juga menyebut bahwa Pelabuhan Khusus apabila pembangunannya dilakukan secara mandiri oleh sektor privat (perusahaan atau perorangan) selanjutnya ditetapkan atau diregistrasi sebagai pelabuhan rakyat atau tangkahan.
“Bukan pelabuhan yang dibangun pemerintah lalu diserahkan pengelolaannya kepada pihak ketiga. Inipun juga aturannya belum solid. Seharusnya kontrak pengusahaan lahan dan sarana pelabuhan saja,” katanya.
“Bentuk kontraknya dapat dilakukan dengan sewa menyewa lahan dan sarana (jika investasinya kecil) atau BOT, jika investasi pengelolaannya besar, ” ucapnya.
Muhammad Nasir, menyebut semangat untuk pengelolaan kedua pelabihan itu untuk merapikan administrasi pelabuhan perikanan, patut didukung.
“Tapi Kepmen dengan model begini yang belum ada panduan penetapannya secara teknis dan detail, potensi masalahnya akan besar. Sebagai contoh, Kepmen ini mengatur pelabuhan, ada wilayah yang dikuasai, tapi tidak diatur di dalam kepmen batas-batas wilayahnya, maka potensi kepmen akan jadi atau justifikasi pelaku usaha hantam rata di lapangan,” tanggapnya.
Menurut pengamatan Nasir, biasanya kalau pelabuhan swasta, itu tunduk patuh sama pelabuhan negara yang ada di dekatnya.
“Harusnya dia ikut aturan pelabuhan perikanan yang terdekat di wilayah tersebut. Tapi, karena sepertinya belum ada aturan teknisnya. Semoga sudah diantisipasi. Intinya, Keputusan Menteri itu perlu lebih rincilagi mengatur mengenai pelabuhan perikanan.” jelasnya.
Meski demikian, saat dihubungi Pelakita.ID, Kalabuh PPS Kendari, Syahril A. Raup menyebut kekhawatiran itu sudah terjawab sebab di Permen Kepelabuhan, telah mengatur tata cara penetapan pelabuhan perikanan.
“Sudah ada SK Dirjen juga tentang SOP penetapan klasifikasi pelabuhan,” tanggapnya.
Dia juga menyebut bahwa hal seperti ini sesungguhnya bukan hal baru. Penetapan atau klasifikasi pelabuhan itu dapat dilihat pada Kepmen Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.08/Men/2012.
“Sebelumnya pemerintah menetapkan pelabuhan sejenis, yakni PP Telaga Pungur dan PP Barelang di Batam,” pungkasnya.
“Umumnya pelabuhan ini seperti Benjina dan Tual sudah eksisting, dibangun swasta, sementara pelabuhan yang dibangun pemerintah belum ada di sana, sehingga perlu ditertibkan, fungsi pemerintahan perlu diaktifkan di sana untuk memudahkan mengawasan,” ucapnya.
Catatan
Pembaca sekalian, ada kekhawatiran bahwa jika Benjina dan Tual jadi milik swasta maka konsepnya bisa jadi seperi bagaimana jalan tol terkomersialisasi. Hanya saja, regulasi penetapan harga jalan tol swasta itu melibatkan pemerintah.
Seorang aktivias LSM yang enggan disebut namanya bertanya. “Apakah pelabuhan semacam ini juga, tarafnya akan melibatkan pemerintah dalam penentuan tarif tambat dan lain sebagainya? Apakah perusahaan-perusahaan swasta yang kelak akan ditunjuk Pemerintah selain untuk Benjina dan Tual itu bisa lebih ‘terbuka’?”
Saat ini yang kita tahu dan telah diatur adalah klasifikasi pelabuhan yang dikelola Pemerintah seperti PPI, PPP hingga PPS.
“Terkait Permen itu, untuk Benjina dan Tual, jika tetap masuk sebagai pelabuhan perikanan, apakah sudah ditetapkan kelasnya? Bagaimana dengan pertimbangan teknis dan operasional pelabuhan?” tanya kawan itu.
Contoh pertimbangan teknis, luas pelabuhan, kedalaman kolam. Pertimbangan operasional seperti jumlah produksinya dan ukuran kapal yang bisa mendarat. Termasuk apa saja syarat-syarat bagi yang tidak berafiliasi pada pemilik perusahaan. Apakah harus operasi dulu baru diatur, atau bagaimana?
Ada beberapa tanya, salah satunya, apakah ini sudah dijelaskan dalam Permen itu? Sebab sesuai yang terjadi di lapangan, regulasi yang mengatur pelabuhan swasta yang dipakai untuk umum nampaknya belum ada. Terutama terkait tarif terhadap berbagai fasilitas yang tersedia di dalamnya.
Demikian pula bagi hasil benefitnya. Buat daerah, pemerintah dan pemilik pelabuhan. Lahan kan tetap milik Pemda atau Pemerintah Pusat?
Jika itu tidak atur maka yang akan menggunakan pelabuhan tersebut kemungkinan besar perusahaan perikanan yang berafiliasi dengen pemilik pelabuhan yang ujungnya jadi eksklusif.
Jadi, yang perlu diantisipasi itu adalah regulasi. Regulasinya perlu disiapkan jangan sampai benar-benar sepenuhnya diatur pemilik pelabuhan. Kasihan perusahaan atau pemilik kapal nelayan perorangan yang susah mengakses pelabuhan tersebut jika regulasinya nanti sepenuhnya dilepas ke pemilik pelabuhan.
Idealnya, kelak pelabuhan tersebut meskipun milik swasta tapi ruang dan peluang pemanfaatannya juga dibuka untuk berbagai usaha perikanan tangkap. Setuju?
Editor: K. Azis