PELAKITA.ID – Rangkaian waktu membuat rutinitas ngopi bisa menjebak senja. Apatah lagi terkondisi menyongsong larut malam. Materi perbincangan dan obrolan menjelajah secara acak, kerap terbentang jauh membuat ingatan waktu menepi.
Namun lebih dari itu, selalu ada kehendak ideal untuk meniadakan bahwa hidup ini bukan hanya gairah untuk sekadar puaskan tamak pada power belaka, meksipun akan ada sudut penilaian bahwa itu demi jejaring dan relasi kuasa.
Meski begitu, selalu saja ada potret sunyi yang terkuat yang menggetarkan sekaligus memesona. Ini tak selalu berkenaan dengan sikap peduli dan atau kelemahan sebagai modalitas kesuksesan.
Suatu waktu salah seorang sohib penikmat kopi berujar, ‘Ngopi’ adalah semacam “ruang alternatif” untuk mem-by pass segala institusi formal, baik institusi sosial-politik maupun institusi akademik.
Baginya ‘ruang alternatif’ itu menjadi solusi di tengah ruang mampet yang terjadi bahwa sistem’ formal cenderung patuh pada protokol ‘system formal’ yang lebih tinggi dan seterusnya hingga ‘pucuk piramida’ system’ macro di luar jangkauan publik umum, entitas dimana ‘system formal’ seharusnya mengabdi.
Stigma politik berbiaya mahal, selalu tampil menjadi bahan obrolan. Apalagi jika menjelang momen pilkada. Belum lagi jejak kafe atau warung kopi dalam konteks lokal, memanggul peran terciptanya diskursus yang signifikan lebih dari kongkow. Rutinitas ngopi lebih dari sekadar seruput menyeruput rasa dan aroma kopi.
Ngopi itu juga telah melompat jauh dari sekadar bagaimana secangkir kopi ada di depan kita. Ihwal ngopi termuati pergolakan cangkir sejarah.
Jika disimak pernyataan sohib ngopi kami, maka idealnya setiap calon legislatif yang dipilih rakyat sudah memiliki kontribusi publik sebelum masuk dalamĀ sistem sebagai track-record yang menjadi bahan pertimbangan bagi calon pemilih/konstituen.
Di lain pihak, “kontribusi di luar sistem” tidak termasuk ‘tupoksi’ sehingga menjadi tidak relevan jika dijadikan sebagai materi pengenalan seorang politisi memperkenalkan dirinya kepada publik.
Ada celah atau “gap” antara yang “ideal” [sebaiknya] dan yang “real” [yang terjadi]. Gagasan “Parlemen Ngopi” paling tidak punya bermaksud menjadi suatu model dalam menjembatani “gap” tersebut.
Lantas, mengapa ada “Ngopi”? “Parlemen Ngopi” sesuai yang disebutkan di atas, yakni sebagai ” media” atau “wadah” adalah suatu “eksperimen sosial” untuk tujuan-tujuan “social problem solutions” yang tidak/kurang tersentuh oleh system dan institusi formal yang ada selama ini.
Selain itu mengoptimalkan moment “Ngopi” baik itu dilakukan sendiri atau bersama-sama di Kedai Kopi lokal membahas kepentingan dan masalah publik sekitar lingkungan kita masing-masing.
Ada banyak hal yang membutuhkan “ruang simak” – “ruang dialog” – “ruang kreasi” dan masih terjadi celah antara “pengambil kebijakan publik” dan “masyarakat” sebagai end-user dari kebijakan-kebijakan publik tersebut.
“Parlemen Ngopi” terbentuk adalah kolaborasi -setidaknya- 3 komunitas aktif-kreatif yang berbeda dan masing-masing menggunakan “Kedai Kopi” sebagai episentrum kegiatan mereka tersebut.
Dari diskusi berkembang, butuh semacam “wadah antara” untuk menjembatani gap tersebut. Rakyat sebaiknya paham karakter calon wakilnya, apakah kelak calon tersebut “abdi system” atau “abdi publik”. Di akhir perjumpaan dengan sohib ngopi-ngopi tersebut selalu terselip kalimat, segala sesuatu akan ngopi pada waktunya,
Penulis: Wahyuddin Junus
Founder Jurnal Warung Kopi