PELAKITA.ID – Tokka adalah sebuah pedalaman di Kabupaten Maros. Meski jarakanya tak begitu jauh, hanya sekitar 20 km dari Kota Makassar ke arah Timur, namun masih sangat sepi dari pemukiman penduduk. Tetapi siapa sangka di tempat terpencil seperti itu, terdapat sebuah tempat peristirahatan nan indah, dibangun di atas lanskap lereng pegunungan.
Oleh pemiliknya, tempat peristirahatan itu diberi nama Tokka Tena Rata. Sebuah nama yang terkesan nyeleneh, tapi sungguh memiliki panorama alam sekitar yang menakjubkan. Hanya saja, properti pribadi milik Walikota Makassar itu, Danny Pomanto, tak tahu mau disebut apa. Sebab disebut bungalow, villa, ataupun resort, nomenklaturnya tak tepat.
Karena itu kusebut saja Padepokan Tokka Tenarata. Soalnya, sewaktu di sana serasa berada di sebuah padepokan silat, mirip-mirip seperti yang digambarkan dalam buku-buku cerita silat, semisal, Kho Ping Ho? Mungkinkah Danny Pomanto dulu juga penggemar Kho Ping Ho?
Danny, begitu ia dipanggil, membangun tempat itu boleh jadi diinspirasi padepokan silat Bu Tong Pay di Gunung Bu Tong, yang didirikan oleh sang master tai chi, Tio Sam Hong, di masa Dinasti Song sekitar abad 13 silam. Bayangkan, untuk mencapai area utama padepokan, perlu sedikit energi lebih karena jalannya sempit berkelok dan menanjak.
Namun tidak perlu khawatir dengan jalanannya yang sempit, sebab jalan masuk dan keluar berbeda, sehingga tak memungkinkan kendaraan berpapasan. Danny tampaknya telah merancangnya sedemikian untuk menghidari kemacetan.
Lain halnya dengan tanjakannya yang sedikit curam. Sejak dari pintu masuk hingga di pertengahan, sudah harus menggunakan gigi dua. Selebihnya, harus menggunakan gigi satu.
Melihat jalannya begitu, saya lalu terbayang dengan jalan tangga batu yang saban hari dilalui para murid padepokan berkepala plontos, sembari memikul gentong air dan bakul sayuran.
Tiba di area utama padepokan, mula-mula bertemu dengan sebuah bangunan khusus yang merupakan tempat Danny dan keluarga menginap. Sekitar 50 meter ke arah atas, terdapat dua buah rumah kayu khas Bugis Makassar, berdiri berdampingan. Tampaknya semacam guest house.
Antara tempat penginapan Danny dan guest house, terdapat sebuah lapangan futsal terlihat demikian cantik, menunjukkan kalau Danny seorang penggemar futsal. Sedangkan area paling atas berupa pelataran yang cukup luas, seolah pusat kegiatan padepokan.
Sekali waktu, Danny sedang dilanda harap-harap cemas. Ia mencemaskan tamu yang dinantinya tak bakal datang, lantaran hujan yang mengguyur sekeliling padepokan, begitu deras. Tetapi sebenarnya, ia tak perlu cemas. Sebab tamunya kali ini bukanlah sosok cengeng yang takut pada hujan. Apalagi belum bosi panroli – hujan linggis, menurut istilah Orang Bugis.
Benar saja. Tak lama, sebuah mobil Hummer beserta Alphard putih berhenti tepat di depan rumah kayu, dimana Danny menunggu. Ia pun buru-buru mengambil payung lalu turun menyambutnya.
“Salat Ashar dulu, Pak Wali,” ujar sang tamu setibanya di bawah kolong rumah. “Sudah disiapkan di atas, ketua,” balas Danny tak kalah tangkas.
Kira-kira setengah jam kemudian, Danny mengajak sang tamu dan lainnya pindah ke rumah kayu sebelah. Di sana ia suguhkan penganan disertai kopi dan teh hangat buat pengusir dingin.
Kemudian kedua tokoh yang sama-sama berada di usia gemilangannya itu, tampak serius berdiskusi. Gagasan membangun Sulsel dan Indonesia pun menghambur, tak terelakkan.
Danny, misalnya, melontarkan gagasannya membangun Sulawesi Selatan melalui South Sulawesi Initiative. “Kuncinya adalah kolaborasi, tidak bisa tidak,” pungkasnya. Sedangkan sang tamu menggagas peran Indonesia Timur sebagai masa depan Indonesia.
“Ini momentum bagi alumni Unhas untuk tampil sebagai lokomotif penggerak di lini paling depan,” tegasnya.
Saat jarum jam menunjukkan pukul 17 lewat beberapa menit, hujan yang turun sejak sebelum ashar, pun benar-benar berhenti. Persis seperti yang dikatakan Danny 1 jam sebelumnya kepada sang tamu yang ia panggil, ketua. Hebat. Ternyata Danny juga memiliki kemampuan membaca isyarat alam. Tak salah jika gelar Guru Besar Padepokan Tokka Tenarata disematkan kepadanya.
Danny lalu mengajak tetamunya menuju pelataran padepokan. Di sana ia menunjukkan beberapa tempat yang tampaknya punya arti khusus, terutama tempat acara makan malam akan digelar.
Padahal, waktu datang dan melihatnya pertama kali tadi siang, saya pikir tempat itu dipersiapkan untuk kolam pemancingan ikan di atas gunung.
Namun setelah saya amati secara saksama, tempat itu seperti sebuah koloseum mini persegi empat. Ukurannya sekitar 30 x 20 meter dengan kedalaman 2 meter. Kecuali sisi Barat, semua sisi dibuat undakan bak tangga sebagai tempat duduk. Sisi Timur didesain sebagai panggung. Dan, tepat di bagian tengah terdapat semacam saluran yang membelah dari Timur ke Barat.
Tak lama, tiba waktu magrib. Danny lalu memerintahkan agar sajadah karpet digelar di pelataran tempatnya berdiri. Melihat itu, saya pun berinisiatif kumandangkan azan. Namun tak kalah hebat adalah sang ketua sendiri. Kemana-mana tak lupa membawa serta seorang ustadz untuk imam salat. Jadilah salat magrib berjamaah di alam terbuka, seperti layaknya salat ied di tanah lapang.
Usai salat magrib, keheningan alam Tokka malam itu pun pecah di atas pelataran padepokan. Tak kurang 300 anggota IKA Unhas datang memenuhi undangan Danny. Tetapi, di tengah hiruk-pikuk yang terjadi, masih saja ada yang berpikir usil. “Cocok memang tong ini sebagai tempat cokko,” celetuk seseorang saat Danny memberi sambutan.
Boleh jadi celetukan itu terdengar oleh Andi Amran Sulaiman yang tampak melengos sambil tersenyum. Bahkan menyadari bahwa alumni yang datang terdiri dua kelompok, yaitu, pendukung dan penentang musyawarah pembentukan IKA Unhas Sulsel, yang kemudian mengantarkan Danny sebagai ketua.
Menyadari hal itu, maka ketika di panggung memberi sambutan, Amran, begitu Ketum PP IKA Unhas itu dipanggil, mengajak kepada kedua kelompok untuk lebih mengedepankan semangat persaudaraan. Bukan hanya itu, Mulawarman dan saya bahkan diminta naik ke panggung mewakili kelompok penentang, sedangkan Marwan mewakili kelompok pendukung.
Di panggung, Amran kemudian meminta Danny memasangkan kaos rancangannya yang bertajuk “South Sulawesi Initiative” kepada kami berdua. Bersamaan dengan itu, setengah berteriak, ia menyerukan, “Damai di Tokka.”
Tetapi dasar Maqbul Halim, seruan Ketum PP IKA Unhas itu dimaknai berbeda sebagai hanya gencatan senjata. Saya pun terbahak saat ia membisikkannya padaku. Mungkin dia maksud bahwa damai berarti petaka baginya, yaitu “lost job” di sisi Danny. Maqbul memang tidak ada matinya, maqbul terus.