PELAKITA.ID – Enam tahun lalu saat tinggal di Kota Benteng, Selayar, saya tidak pernah berpikir atau diberitahu sekalipun bahwa Gantarang Lalang Bata, adalah kampung pertama yang dijejaki oleh Datuk Ri Bandang. Penganjur Islam yang disebut sebagai orang pertama yang membawa ajaran Muhammad SAW ke jazirah selatan Sulawesi.
Saat itu yang saya tahu bahwa Gantarang Lalang Bata, satu daerah di ketinggian sebelah timur Selayar yang sarat oleh cerita mitos. Ke sananya pun harus berjalan kaki dan mendaki tebing berbatu kapur. Orang-orang yang ke sana, dianjurkan untuk “membenturkan kepalanya” dengan perlahan sebagai pertanda keselamatan.
Saat itu, Gantarang Lalang Bata adalah satu kampung kecil yang masih terisolir.Untuk ke sana kita mesti mendaki tangga batu yang di kelilingi tebing rimbun.
Minggu lalu, adalah kedatangan ketiga saya selama setahun terakhir di Selayar setelah meninggalkan daerah ini tahun 2003. Secara kebetulan, saat itu kami mengadakan praktek lapang di Kampung Cini Mabela, Desa Parak. Utara Kota Benteng. Saat peserta sedang berpraktIk melakukan observasi desa, saya mengajak pak Haji Ashar, Ruslan, Linda, Mastan untuk menyusuri perbukitan belahan timur.
Tidak terlintas bahwa daerah yang kami tuju adalah juga bagian dari wilayah Gantarang Lalang Bata (GLB), Desa Bontomarannu, Kecamatan Bontomarannu.
Di pikiran saya, saat mobil sampai ke ujung jalan utama kami akan berada di puncak Selayar, puncak tertinggi. Tapi tidak, setelah berhenti sejenak di satu kampung, kami mendengar bahwa jika kami berbelok ke kanan maka di situ adalah titik menuju Gantarang Lalang Bata yang terkenal itu.
Setelah berdiskusi dengan kawan akhirnya kami putuskan ke GLB. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 waktu Selayar saat kami mulai melintasi jalan berliku dan curam. Tepatnya, pagi menjelang siang di hari jumat di bulan Desember 2009. Kita masih punya waktu satu jam untuk menengok kampung GLB.
Kami melewati jalan kecil walau sudah di aspal rapi. Di kiri jalan terdapat sungai kecil yang airnya tenang. Saat melewati beberapa meter dari belokan kanan jalan kami mulai mendapat jalan yang masih baru. Jalan beton. Di kiri kanan terlihat jurang. Masih terdapat molen campuran pasir semen. Konon beberapa waktu lalu terdapat satu mobil eskavator yang terjungkal ke jurang.
Di kiri, dari kejauhan terlihat teluk kecil, perairan yang terlihat tenang tergambar dari sela-sela pepohonan. Nampak juga beberapa batang pohon yang sepertinya baru saja dibabat, dibakar. Hitam dengan permukaan rata di sebelah kanan jalan. Mobil yang dikemudikan Pak Agus mesti bergerak cepat saat kami menikung di satu titik. Butiran kerikil dan pasir masih terlihat baru.
Akhirnya kami sampai di ujung jalan. Di sebelah kanan terdapat semacam tempat parkir. Di sana ada 10 motor bebek sedang diam. Motor ini adalah kendaraan warga yang diparkir di situ karena memang mereka tidak bisa membawa motornya ke kampung. Mobilpun kami parkir. Di kiri sekali lagi terlihat tebing curam.
Kami lalu mengikuti seorang warga yang sepertinya dari kota dan membawa barang bawaan menaiki tangga alam, menaiki tangga kapur alami yang dijejali akar-akar pohon dan semak-semakin melingkar. Ada sulur-sulur pohon bergelantungan. Pertanda masih alami.
Haji Ashar di depan, diikuti Linda lalu Mastan. Saya dan Ruslan masih terperangah menyaksikan pemandangan indah di kiri kanan kampung. Saya segera onkan kamera mendokumentasikan pemandangan di kiri kanan titik itu. Ruslan duduk mengaso sesekali mengisap segaretnya, terlihat lelah.
Hingga beberapa jenak, kamipun menyusul kawan-kawan. Setelah berjalan sejauh 30 meter kami melewati pekuburan tua. Nisan berwarna seragam dari batu alam. Ada beberapa kuburan yang sudah tidak utuh.
Pada dua kuburan yang terlihat cukup besar kami saksikan seorang nenek tua berbaju biru muda lengan panjang. Wajahnya terlihat berpupur. Dia sedang duduk santai. Matanya menatap kami yang berjalan ketengah kampung. Ada dua area kuburan yang kami lewati sebelum sampai ke mesjid tua yang hendak kami tuju.
Kami melewati sekumpulan warga yang sedang kerja membangun panggung pesta keluarga. Kami tersenyum dan mereka juga menyambut dengan senyum. Kami terus ke timur dan sebelum sampai ke masjid tua kami mendapati satu meriam tua teronggok di atas beberapa bongkahan batu karang tua. Masjid yang kami tuju atapnya warna hijau tua seperti lazimnya model mesjid tua di tanah Jawa. Terdapat dua lapia atap yang kini terbuat dari seng itu.
Dindingnya terbuat dari batako, sepertinya hasil renovasi. Di kiri mesjid terdapat teras. Inilah mesjid pertama Mesjid Awaluddin,Gantarang. Di belakang mesjid terdapat ruangan luas, sepertinya bangunan tambahan.
Di selatan terdapat tempat wudhu. Bangunan inti mesjid yang berukuran kurang lebih 8×10 meter ini masih terkesan asli. Terdapat tujuh belas tiang penyangga. Empat diantaranya menyangga puncak mesjid yang berbentuk kubus. Kayu penyangganya terhubung dengan pasak kayu.
Di tengah terdapat satu kayu penyangga, lurus ke puncak kepala mesjid. Jika dihitung jumlah tiang termasuk tiang tengah adalah 17 batang. Ada yang bilang ini persis sama dengan jumlah rakaat shalat.
Setelah melihat sekitar mesjid, dan mengawati bagian dalam Haji Ashar menuju tempat wudhu. Beliau siap shalat sunnat. Setelahnya, saya juga melakukan hal sama, shalat sunnat mesjid. Lalu diikuti Mastan dan Ruslan. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.10 waktu Gantarang.
Terasa ada nuansa magis saat mengamati bagian dalam mesjid. Di dekat mimbar khatib terdapat dua kain warna putih, yang dibuat berpasangan selurus arah mimbar. Menurut cerita, ada kepercayaan atau semacam keyakinan bahwa saat ada pembacaan khutbah, “pengaruh” Rasulullah “menyesap” ke dalam alur dan proses khutbah itu.
Selain itu, tiang tengah mesjid yang menopang puncak atap mesjid ujungnya sudah terkelupas. Seperti ada yang sengaja mengelupasnya.
“Ada yang percaya bahwa itu mengandung berkah,” kata seorang kawan.
Tidak cukup kami menghabiskan waktu di mesjid, kami lalu bergerak ke arah titip yang oleh warga setempat disebut sebagai “possi tana”. Tempatnya agak di ketinggian, di sana, yang dicirikan oleh batuan kapur tua, terdapat lubang kecil sedalam 20 meter yang di atasnya terdapat palang kayu. Inilah yang dipercaya sebagai pusat bumi.
Diantar pak Iskandar, imam Mesjid Awaluddin kami menuju satu kubu kuburan “kecil”. Panjang antara kedua nisan tidak sampai 50 meter. Inilah yang dipercaya sebagai kuburan Dato Ri Bandang itu.
Sekilas tidak ada yang istimewa namun, terkesan bahwa kuburan ini dibiarkan begitu saja. Dibiarkan apa adanya. Tidak ada pagar atau sesuatu sebagai penanda. Di sampingnya terdapat pohon besar dan tua.
Juga tidak ada bukti-bukti tertulis atas segala fakta yang kami temui di tempat ini, di Gantarang. Jika membandingkan sejarah lontarak dan berbagai vesri yang menyebutkan bahwa tahun 1605 Masehi, adalah tahun pertama kalinya, Islam diterima secara resmi di Kerajaan Tallo Gowa.
Itu setelah masuknya Raja Tallo I Sultan Abdullah Awwalul Islam dengan Raja Gowa XIV, I Mangarangi Dg Manrabbia Sultan Alauddin pada tanggal 22 September 1605 Masehi.
Versi warga Selayar terkhusus di Gantarang menyebutkan bahwa di Gantaranglah, kali pertama Abdul Makmur alias Datuk Ri Bandang asal Kota Minangkabau menjejakkan kaki. Saat dimana dua tahun kemudian, yakni tahun 1607, seluruh rakyat Tallo dan Gowa telah berhasil diislamkan.
Ada hal lain juga, bahwa masih tidak jelas hubungannya antara Dato Ri Tiro yang terkenal di Bulukumba dan Datuk Ri Bandang yang disebut berdiam di Gowa. Faktanya, terdapat beberapa kampung seperti Gantarang di Bulukumba dan Gantarang di Selayar.
“Konon, menurut cerita warga, setiap ada kampung bernama Gantarang, itu berarti pernah dilalui oleh Datuk Ri Bandang,” kata Ruslan, menirukan warga soal kisah Datuk Ri Bandang.
Saya juga pernah dengar ada gosong pasir di Taman Nasional Taka Bonerate bernama Taka Gantarang. Sungguhkah itu? Juga di Bulukumba.
Namun demikian jika membaca sejarah versi H. Saiful Arif, SH dkk dalam buku “Jelajah Pemerintahan & Pembangunan Selayar, Tumanurung – Akib Patta”, yang (kemudian saya ajak berbincang saat bertemu di Bandara Aroeppala hari jumat tanggal 4), Selayar menyebutkan bahwa tahun 1604 merupakan tahun tahun masuknya Agama Islam di Selayar yang dibawa oleh Datuk Ribandang yang pada masa itu ditandai dengan Islamnya Radja Gantarang Pangali Patta Radja, dan diberi nama oleh Datuk Ri Bandang “Sultan Alauddin” tahun 1605.
Pastinya, banyak versi terhadap ketepatan akan 1605 sebagai tahun masuknya Islam ke Selayar. Persis sama dengan apa yang ditulis di Lontarak.
Menurut pak Saiful juga, ada beberapa kawasan atau daerah yang bersekutu dan menjadi daerah utama siar islam yang menonjol belakangan dan dapat disingkat “Bontomatene”, yaitu Buki, Onto, Batang Mata, dan Tanete.
Keempatnya merupakan wilayah yang menjadi pusat-pusat perkembangan wilayah termasuk syiar islam, yang meneruskan siar pertama di Gantarang Lalang Bata itu. Ini masih bersifat tafsir sejarah.
Saat kami berpikir pulang, ada beberapa kesan yang terbersik dari kunjungan ke Gantarang ini. Jika memang benar Dato Ri Bandang datang ke Gantarang, bisa jadi beliau datang dari arah timur. Dari titik di tengah kampung, menurut Imam Iskandar, terdapat dua jalur jalan setapak yang mengarah ke bukti dan tembus ke pantai.
Agak sulit membenarkan jika Dato datang menetap di Gantarang, Selayar dari barat karena di situ adalah jurang terjal, kalaupun membaca perkembangan kampung, terdapat tiga area kuburan yang terdapat “di belakang” kampung. Adalah tidak lazim jika jalur lalu lalang pada saat itu adalah pekuburan. Jalan yang kemudian menjadi jalan utama menghubungkan Gantarang Lalang Bata dengan ibu kota Kabupaten Selayar, Benteng. Wallahu a’lam bissawab.
Pukul 11.30 kami menuruni jalan setapak di Kampung Gantarang Lalang Bata, kami bergegas menuju Kampung Cini Mabela untuk melaksanakan salat jumat berjamaah.
Benteng, 04/12/2009