Take’ mengaku lahir di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, hanya dua tahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Dia tahu kalau asalnya dari daratan Soppeng, wilayah tanpa laut di Sulawesi Selatan.
PELAKITA.ID – Berkunjung ke wilayah pesisir Nusantara selalu menyenangkan. Saya kerap mengumpulkan informasi dan inspirasi perantau dari jazirah selatan Sulawesi. Menyigi pernak-pernik tradisi Bugis Makassar, kiat bertahan dan berkembang di negeri jauh.
Beberapa tahun lalu, saya ke berkunjung ke beberapa titik pesisir seperti Belitung, Tanah Laut di Kalimantan Selatan, Donggala hingga Indramayu, Pangandaran dan Lamongan di tanah Jawa.
Saya akan becerita tentang sosok dan realitas kampung nelayan di Muara Kintap, Tanah Laut. Tanah Laut telah lama jadi muara perantauan suku di Sulawesi Selatan.
Kata Kintap acap saya dengar di tahun 80-an, kala banyak pelaut dari kampung kelahiran saya, Galesong, Takalar berlayar ke sana. Mereka menyebutnya Kinta’, salah satu pusat pendistribusian kayu asal Kalimantan yang diboyong ke Sulawesi via Galesong sebelum rontok di tahun 2000an.
Berdua Muhammad Rizal Farid, rekan sejawat alumni Ilmu Kelautan Unhas, kami naik minibus dari Kota Banjarbaru.
Butuh dua jam untuk sampai ke ibukota Muara Kintap sebelum dijemput oleh Sahri, tenaga bantu perikanan di kantor dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut. Sahri mengantar ke kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Kintap, lokasi yang telah ada dalam agenda trip kami.
Sore di tanggal 12 November, di PPI, seorang pria yang mengaku asli Madura sedia mengantar kami dengan perahu bermesin tempel. Sebelumnya telah ada Iwan, pemuda asal Buton yang menjemput dan memandu business trip kami.
“Pemilik rumah ini adalah penghubung saya ketika hendak bertemu nelayan-nelayan di Muara Kintap,” kata Iwan saat kami duduk tenang di atas sampan bermesin. Di penyeberangan kami itu Iwan terlihat menderita, ada bisul besar menggelantung di lengannya.
Iwan adalah fasilitator pemberdayaan masyarakat di perkampungan nelayan saat itu. Dia yakin bahwa pemilik rumah tersebut adalah simpul informasi ke nelayan-nelayan di Muara Kintap.
Tidak kurang 10 menit perahu merapat di dermaga yang nampaknya hanya diperuntukkan bagi rumah yang kami tuju itu. Di sisi utara ada kapal tugboat sedang berlabuh, di selatan ruas sungai.
“Dari Jakarta? Makassar?” tanya pria yang kemudian menyebut namanya sebagai Take’, Haji Take’. Kami mengangguk.
‘Iye’, datang dari Jakarta tapi aslinya Makassar,’ jawabku. Tuan rumah lalu menawarkan tempat di lantai dua sebagai tempat istirahat.
“Aku Bugis, dah lama tinggal di sini,” katanya lagi. Ada nada persahabatan dari kalimatanya. Aksennya meliuk, layak aksen suku dari selatan Sulawesi, perpaduan dialek Banjar.
Melihat Take’, saya ingat sosok Haji Syahring di Pulau Jinato, Taman Nasional Taka Bonerate. Keduanya mirip, meski Syahring mengaku datang dari Sinjai. Saya bersua Syahring di tahun 1996, dua puluh tahun silam.
Oleh Take’, kami disilakan duduk di ruang depan. Seteko teh telah siap bersama amplang. Ada meja kerja. Ada pula dua kursi baja panjang seperti yang sering ditemukan di kantor-kantor pemerintah, berhadap-hadapan di antara meja.
“Silakan mandi di belakang kalau mau mandi.” Kata pria kelahiran tahun 1947 ini sembari menunjukkan kamar mandi.
Karena keramahannya, rasa mual yang saya boyong dari Banjarbaru seperti terendap. Rasa mual yang muncul karena goyangan tumpangan minibus sebelumnya di antara jalan-jalan sempit penuh debu khas Kalimantan hilang.
Kami bergerak ke lantai dua melewati tangga kayu ulin. Ada dua kamar di atas, ruang tengah terlihat luas. Pemandangan sungai dan kerlip cahaya di luarnya tak kalah mengasikkan.
Malam itu, meski ditawari ruang depan lantai dua dan beberapa kasur plus bantal, saya memilih duduk selonjoran di kursi panjang di depat pintu, tepatnya di teras gantung depan. Keringat mewujud getah di badan menemukan jawabannya ketika saya baring di kursi itu. Angin laut berpadu dengan angin dari timur siap melenakan.
Saya pulas hingga subuh, membuka mata dan mendengarkan adzan berkumandang dari masjid di balik pangkalan pendaratan ikan Muara Kintap. Tidur di daerah terbuka, di pesisir Kalimantan, di sempadan sungai Kintap, pengalaman tak terlupakan.
***
Pagi yang indah. Semburat cahaya pagi bulan November berpendar di beranda utama rumah kayu itu.
Saya mencangkung tidak kurang 30 menit menikmati pantulan merah saga cahaya timur dari Laut Sulawesi. Pandangan tertuju pada garis-garis cahaya di atas menara masjid di seberang.
Perahu atau pompong, satu persatu melintas. Airnya yang diungkitnya bergerak menyapa tiang-tiang dermaga rumah Take’, mencipta alun, mengungkit kerinduan pada kampung halaman.
Rumah yang kami tempati mengingatkan pada rumah-rumah panggung khas Sulawesi. Saya membayangkan bagaimana pemilik rumah (Take’) secara perlahan mengumpulkan kayu, membuat patok dan tiang rumah dan mewujud seperti saat ini.
Rumah yang dibangun olehnya dan keluarganya di atas rawa-rawa tepian sungai, menata rumah dan masa depan keluarganya. Membayangkan bagaimana leluhur Take’ datang dari Sulawesi hingga bertahan seperti saat ini di muara Sungai Kintap, Kalimantan Selatan. Pastinya, Take’ butuh kayu-kayu kuat dari pedalaman Kalimantan, lahan tempat bermukim dan kenyamanan bersosialisasi.
Saya melamun, mengembara pada tahun kelahiran Take’, 1947. Dia mengaku lahir di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, hanya dua tahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Dia tahu kalau asalnya dari daratan Soppeng, wilayah tanpa laut di Sulawesi Selatan.
Take’ kini adalah pengusaha perpengalaman di sektor perikanan kelautan. Dia nampaknya berhasil meniti potensi dan tantangan di selatan Kalimantan. Layaknya orang-orang Bugis Makassar yang sukses bertahan di Tanah Borneo hingga kini.
“Saya bangun rumah saat tepian sungai ini masih rawa-rawa, hanya ada pohon bakau.Hanya ada satu dua rumah,” katanya atas rumah yang menurutnya telah puluhan tahun didiaminya ini. Tak banyak kisah yang diutarakan Take’ terutama sejak pindah dari Tanah Bumbu ke Muara Kintap.
Segera saya beringsut ke ruang tengah. Ada suara ajakan minum teh dari dalam.
Di sana telah duduk Haji Take’, si pemilik rumah. Ada pula Hajjah Muliana, istri Take’ yang menyodorkan kerupuk ikan tiga bungkus yang menurutnya merupakan buah hasil pelatihan yang diberikan oleh tim Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi.
“Bagus juga sebab di sini banyak ikan tenggiri. Makanya kami bisa bikin kerupuk begini.” ujar Muliana, perempuan beranak 4 dari perkawinannya dengan Take’.
Muliana tahu kalau kami datang untuk menggeledah pengalaman mereka dalam memanfaatkan sumber daya laut dan pesisir Muara Kintap. Iwan nampaknya sudah memberitahu sebelumnya.
“Sebenarnya kami pernah bikin kelompok perempuan, ada namanya cuma kami kira yang penting itu merek produknya aja.” imbuh Muliana sembari berselonjoran di lantai rumah.
Menurut Muliana, kerupuk yang dihasilkannya ini lebih baik dan mulai tertata karena sudah ada nama dan penjelasan bahannya. Muliana menjualnya ke Tanah Bumbu, kabupaten lain yang dipimpin oleh Bupati berdarah Maros, Sulawesi Selatan.
“Biasanya ada yang pesan,” tambah perempuan berusia 60 tahun ini dan telah mempunyai 8 orang cucu dari 4 anaknya. Pemesan bisa datang dari Tabo-tabo dan Asam-Asam.
Muliana adalah contoh istri yang membantu suami dengan memanfaatkan hasil perikanan di Kintap dengan mengubahnya sebagai kerupuk. Kebiasaan warga Banjar makan amplang atau kerupuk membuatnya bersemangat untuk menambah produksinya.
Di rumah Take’ dan Muliana terlihat coldbox berisi ikan tenggiri yang siap jual namun tersedia pula daging tenggiri yang telah dihaluskan sebagai bahan kerupuk.
Kehidupan keluarga Haji Take’ tergolong istimewa. Dengan mempunyai rumah kayu berlantai dua dan mempunyai 5 kamar tidur serta ruang tengah yang lapang, keluarga ini tergolong di atas rerata kondisi ekonominya. Setidaknya jika melihat rumah-rumah di sekitarnya, beberapa meter ke selatan.
Rumah Haji Take’ separuh di darat, separuh di muara sungai. Saat surut tiang-tiang rumah kelihatan, saat pasang air bermain di tepian papan rumah.
Kampung di mana rumah Haji Take’ berada adalah kampung yang didominasi pendatang dari Sulawesi. Selain mereka, terdapat pula Suku Banjar dan beberapa kepala keluarga asal Madura. Mereka membentuk komunitas, bergantung pada hasil perikanan dan menjadi pedagang. Meski disebut komunitas namun mereka terdiri dari beragam suku dan asal usul. Ada Banjar, Madura, Bugis, Makassar, Mandar hingga Jawa meski yang dominan adalah Suku Bugis.
Bisnis hasil laut
Bunyi riak di tiang-tiang rumah jelas terdengar ketika ada perahu yang melintas. Di depan rumah itu, ada tiga bilik yang digunakan digunakan untuk menyimpan alat perikanan. Seperti wadah pemasakan kepiting rajungan, mesin bekas dan jaring-jaring ikan. Dua bilik lainnya digunakan untuk mandi.
“Saya tak begitu tahu melaut tapi hanya bantu permodalan nelayan,” terang Take’ saat kami mengisi pagi dengan obrolan.
Bersama Haji Take’, selain istrinya Hj Murliana, ada pula Pak Mare’ kakaknya Muliana, Mare tinggal di Tanah Bumbu, tempat dimana Take’ dan istrinya dilahirkan.
“Adik ibu kerap datang ke sini, bantu-bantu, ada saja yang bisa dikerjakannya,” ujar Take. Anak-anak Take’ sudah tinggal di tempat berbeda. Salah satunya adik Hajjah Muliana, yaitu Haji Agus yang kini mengelola salah satu perahu milik Haji Take’. Take’ mempunyai 3 armada perahu.
“Bobotnya di atas 10 grosston” katanya.
Mempunyai aset perahu dan sarana prasarana perikanan tidak serta merta Take’ yang kelola, selain diberikan ke iparnya perahu-perahu tersebut diberikan pula ke salah seorang nleayan yang dipercayanya. Selama ini Haji Take telah melaksanakan beragama kegiatan perikanan mulai dari tambak, bagang, hingga purse seine atau pukat cincin.
“Kami juga menjual hasil laut seperti udang ke Haji Amir, di area bandara di Banjarbaru.” tambahnya. Menurut Take, selain itu dia juga menjual ke KML Gresik, salah satu perusahaan jual beli hasil laut.
“Usaha rajungan cukup maju, harga sekarang perkilogram dinilai Rp. 30ribu.” Kata pemilik perahu berbobot 15 ton.
Take’ muda adalah bos nelayan pada tahun 70-80an. Saat itu dia membiayai nelayan setempat mencari ikan dengan alat tangkap jaring.
“Jaring dipakai menangkap ikan peda, kembung atau ikan ruma-ruma.” Kisah pria yang pernah mengoperasikan jaring dasar atau lampara yang kini dilarang itu pada tahun 2000an.
“Saat itu ikannya luar biasa banyak.” kenang pria yang mengaku telah lama menjadi nasabah BRI di Kintap. Dia beruntung sebab bisa naik haji pada tahun 1999 sejak booming bisnis udang. Lalu tahun 2004 melakukan umrah bersama istrinya.
Pengalaman dan minat berusaha Haji Take’ menurun ke 4 anaknya yaitu Maruddin, Sabaruddin, Hasanah dan Baruddin. Dia mengaku menurunkan pengalaman berusaha ini ke anak-anaknya. Tak lupa pula dia sekelolahkan meskipun hanya pada tingkat SMA.
“Sederhana saja. Usaha yang dirintis ini berdasarkan saling percaya. Kalau ada nelayan tertarik berusaha perikanan, kita bicarakan kesanggupannya. Ada potongan 25% pada setiap hasil nelayan, untuk menembus barang yang diberikan.” ungkap Take’.
Barang yang dimaksudkan beragam, mulai dari alat tangkap dan biaya operasional. Sepanjang pengalaman Take’, ikan melimpah di sekitar Muara Kintap hingga di Tana Bumbu pada bulan-bulan Oktober dan November.
“Saya belajar bisnis dari orang Tionghoa di Banjarmasin. Jujur sebagai kuncinya.” kata pria yang mengaku selalu diberi kemudahan dan pertolongan dalam berusaha terutama dari teman-teman pengusaha perikanan. Dari teman-temannya itu dia memperoleh kemudahan memperoleh alat tangkap dan kebutuhan operasional lainnya.
“Visinya ke arah kemajuan saja. Jangan kecewakan mitra usaha,” kiat Take’. Bukan hanya itu, dia membangun komunikasi dengan nelayan-nelayan serta pedagang-pedagang ikan yang masih kerabatnya. Take’ tak lupa membangun komunikasi dengan pedagang-pedagang besar dan punya jaringan luas seperti Haji Amir yang mempunyai gudang di dekat bandara.
“Dengan Haji Amir, kami siapkan udang, bara-bara/ikan kakap merah untuk kepentingan ekspor. Termasuk menyiapkan daging rajungan untuk ekspor keluar negeri,” sebutnya.
***
Malam itu (13/11), belasan orang hadir lantaran diundang oleh Iwan. Hanya ada 1 peserta yang berasal dari Madura selebihnya Bugis Wajo, Maros dan Bone termasuk Take’. Para undangan menceritakan potensi nelayan, pengalaman, dan alat tangkap yang dipunyai.
Menurut mereka, dalam hal usaha perikanan, pekerjaan sebagai nelayan merupakan profesi lama meski dalam perkembangannya selalu berubah-ubah pola dan cara tangkapnya. Mereka pernah mengelola perahu lampara (jaring dasar), menjadi nelayan pancing bahkan pernah mengelola empang atau tambak.
“Sudah sering bikin kelompok, tetapi tak selalu mujur. Kadang dapat bantuan kadang tidak.” kata H. Sabaruddin, peserta pertemuan. Menurutnya, urusan berkelompok ini perlu pengaturan yang tepat sebab selama ini, banyak kelompok yang diberi bantuan oleh pemerintah namun bukan dari kalangan nelayan.
“Kami berterima kasih telah diajak pertemuan, semoga ke depan, kami utamanya di RT kami bisa berkembang lebih baik.” kata Sugeng, anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) peserta pertemuan lainnya dan diamini oleh Haji Norsani dan Haji Busra.
Norsani dan Busra mengaku mempunyai anggota nelayan. Keduanya memodali para nelayan ini untuk kemudian dibantu dalam pemasarannya. Terdapat beberapa kelompok nelayan yang merupakan pilar sosial ekonomi Muara Kintap.
Hal yang sama juga berlaku pada Haji Take’. Bukan hanya saat ini tetapi telah ada sejak lama. Sejak ikan-ikan laut seperti kerapu, kakap, udang dan rajungan diminati pemgusaha dari Banjar Baru, Banjarmasin hingga Surabaya dan Jakarta.
Sebagai kawasan strategis dalam membangun potensi kelautan dan perikanan, kawasan Muara Kintap perlu dikelola secara sungguh-sungguh. Pendekatan program Pemerintah harus mengutamakan konsultasi dengan warga, dengan komunitas termasuk dengan Haji Take’. Mengajak mereka, komunitas nelayan seperti Haji Take dan nelayan lainnya untuk membahas kebutuhan-kebutuhan dan tantangan bersama di bidang perikanan merupakan hal penting untuk menata potensi kelautan dan perikanan ke depannya.
Bukan hanya di antara mereka di dalam desa yang sama namun juga antar desa yang memanfaatkan pelabuhan perikanan Muara Kintap sebagai pusat pengembangan bisnisnya. Ada banyak Take’ Take’ yang lain yang menggantungkan hidupnya pada kelimpahan hasil kelautan dan perikanan Muara Kintap, mereka punya relasi kuat dengan pelaku perikanan, baik tradisional maupun modern.
“Kami akan selalu siap bekerjasama dengan Dinas, masih banyak anggota nelayan di sini yang butuh dukungan, misalnya informasi harga ikan yang lebih baik dan menguntungkan.” pungkas Haji Take’.
***
Dari cerita ini kita kemudian dapat menyimpulkan bahwa dinamika kampung pesisir atau nelayan yang menjadi wahana sosial ekonomi orang-orang dari selatan Sulawesi tidak bisa dilepaskan dari tiga pilar penopang yang ada sejak dahulu; sumber daya alam pesisir dan laut, relasi sosial ‘pemilik modal dan pencari hasil laut’ yang kerap disebut patron client, ada bos atau pinggawa dan sawi atau nelayan.
Mereka juga diikat norma, aturan bersama yang diterima, yaitu kesepakatan atas bagi hasil. Inilah yang menjadi titian hidup Take’ sejak dulu hingga sekarang.
Hal demikian itu pulalah yang menjadi ciri khas kehidupan di pesisir Indonesia terutama yang dipraktikkan oleh pengusaha-pengusaha perikanan dan kelautan khas Bugis Makassar seperti Take’ ini. Mereka bagian dari setidaknya empat ranah, yaitu sebagai bagian dari rumah tangga, dimana ada Take’ dan sanak keluarganya, kemudian berinteraksi dengan komunitas dengan beragam latar belakang dan kapasitas. Mereka juga terhubung dengan Pemerintah Desa, Dinas Kelautan dan Perikanan hingga pasar hasil perikanan.
Dinamika yang menghubungkan antara Take’ dan entitas yang disebutkan ini merupakan hal pokok yang harus didedah jika ingin meningkatkan volume produksi dan memberdayakan relasi tersebut.
Take’ berhasil menempatkan diri di antara nelayan-nelayan di kampungnya dan membangun komunikasi dengan Pemerintah setempat, dipercaya eksportir hasil perikanan, meski menurutnya latar belakang pendidikannya ‘nol’ dibanding anak-anaknya.
Penulis: K. Azis