Di Singkawang, ada Kampung Wajo.
PELAKITA.ID – Konflik hebat antara raja-raja Bugis dan Makassar (Mangkasara’) abad ke 17, 18 dan 19 menjadi latar migrasi orang-orang dari timur jazirah Sulawesi Selatan, dari Wajo hingga Bone. Arung Palakka mewakili perjuangan entitas Bone yang hendak otonom melawan hegemoni Sultan Hasanuddin di kubu Gowa.
Orang Bugis ditemukan di hampir semua pesisir Nusantara, dari Pulau Simuelue di Aceh hingga Pulau Kolepom di Merauke.
Mereka menjadi corak perlawanan dan perjuangan sejak lampau dan menjadi panutan sekaligus pemberi warna sejarah Indonesia.Nama-nama tenar seperti Jenderal M. Jusuf, BJ. Habibie, Jusuf Kalla, Najib Tun Razak. Raja Ali Haji, Erna Witoelar, Syafri Syamsuddin, Akbar Faizal datang dari jazirah timur kaki Pulau Sulawesi itu.
Penduduk Indonesia keturunan Bugis ditaksir 6 juta jiwa. Sebanyak 50 persen berada di Sulawesi Selatan, sekitar 20 persen di Sulawesi Tenggara dan Tengah, 20 persen di Kalimantan Timur, Barat dan Selatan.
Di Malaysia diperkiran bermukim 800 jiwa. Selebihnya di Singapura, Kalimantan Utara, Riau, Jambi , Bangka Belitung dan Riau. Ribuan lainnya tersebar di Maluku, Nusatenggara dan Papua. Di provinsi Seribu Sungai Kalimantan Barat diperkirakan ada 150ribu jiwa sebagaiketurunan Bugis.
Bugis di Kubu Raya
Dari perkiraan 1 juta keturunan Bugis di Pulau Kalimantan, ditaksir 30 persen ada di Kalimantan Barat, dan untuk Kalbar, 50 persen ada di Kubu Raya.
Aroma Bugis di Kubu Raya, Kalimantan Barat tercium saat saya bersua Bupati, H. Rusman Ali. Meski lahir dan besar di Pontianak dia mengaku keturunan Bugis Wajo. Wajo adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan atau berjarak 250 kilometer ke timur. sekampung Akbar Faizal yang disebutkan sebelumnya.
Pada kunjungan ke Kubu Raya tanggal 31 Mei 2016, penulis bertemu dengannya. Darinya terbetik kabar kalau di antara warga Kubu Raya, komunitas Bugis bersama Dayak, Banjar, Jawa dan etnis penting lainnya menjadi pilar pembangunan kabupaten yang bersebelahan dengan Kota Pontianak ini.
“Saya ketua kerukunan keluarga Bugis di sini,” kata Rusman saat kami turun dari lift bersamaan di restoran OZ Pontianak.
Bersama Rusman saya berkenalan pula dengan Abdur Rani, salah seorang pejabat eselon III di Pemda Kubu Raya. Rani begitu saya sebut adalah sosok yang di darahnya mengalir ibu asli Kalimantan dan ayah Bugis Wajo.
“Saya lahir di Pontianak, ayah orang Sengkang, ibu orang sini,” ujar Rani.
Menurut Rani, ayahnya datang dari Wajo saat zaman pendudukan Jepang. Ayahnya menikah kala itu. “Di Singkawang ada kampung Wajo. Bapak saya namanya Abdul Kahar, sering dipanggil Pak Daeng sedang ibunya bernama Baidah,” katanya.
Menurut Rani, dulunya dia malu mengaku orang Bugis sebab ditertawai.
“Dulu kami malu ngaku orang Bugis, malu kalau ke sekolah, dipanggil Daeng. Kalau datang keluarga dari Wajo, mereka sebut pakai bahasa burung. Saya ngerti tapi susah diomongkan. Saya kerap dipanggil Daeng Rani,” ujarnya.
“Orang Bugis dari sini banyak ziarah ke Makam Daeng Manambon di di Mempawah, ada makamnya situ,” ungkpanya.
Daeng Manambon yang disebut adalah Opu Daeng Manambung yang datang ke Sumatera dan Kalimantan sekitar abad ke-17. Manambung bersama tiga saudara lainnya menjadi pilar sejarah Kerajaan Mempawah.
“Halus tuh orang Wajo yah?. Kakek saya namanya Rendeng dari garis ayah.” kata Rani mengenai nenek moyangnya.
Di Kubu Raya, Rani cukup terpandang sebab menjadi pejabat dengan pangkat eselon III. Punya anak tiga. Sulung sebagai anggota kepolisian di bagian Serse, yang kedua lelaki tamat SMA sedang bungsu usia SMP kelas 2. Belum sebulan ini, Rani kehilangan istri karena berpulang karena sakit.
“Di dekat Mempawah ada perkampungan Bugis Wajo. Itu kampung Bugis, di sana tinggal paman dan keluarga saya,” kata Rani yang mengaku mertuanya sebagai orang Ketapang dan punya hubungan keluarga dengan Osman Sapta, pengusaha tenar.
Menurut Rani, Pontianak atau Kalimantan Barat ini dibangun oleh kerjasama antara penduduk transmigrasi, orang Dayak yang bermukim di hulu dan Melayu Bugis yang bermukim di pesisir.
Dari Rani saya mengetahui bahwa Ketua DPRD adalah generasi dari transmigran dan berkarir cemerlang sebagai politisi.
Rani punya abang dan memilih pensiun sebagai pegawai negeri sipil dan memilik fokus di dunia usaha. Rani adalah lulusan S1 di Universitas Muhamadiyah dan pernah bekerja di Sintang selama 5 tahun.
“Dulu saya bekerja sebagai PNS departemen, pernah pula bertugas di Singkawang selama 4 tahun, di Sanggau 4 tahun, lalu ikut ke Kubu. Sebenarnya gelas saya ada dua, S1 di bidang perikanan dan di bidang perdagangan,” kata mantan Kasubag keuangan di perusahaan daerah air minium (PDAM) ini.
Rani lahir tanggal 22 Agustus 1961 dan sekarang menjabat sebagai Kepala Bidang pesisir di Dinas Perikanan dan Kelautan (PPK) Kubu Raya. Tentang pekerjaannya di bidang pesisir ini ternyata mempertemukannya dengan banyak warga Kubu Raya yang merupakan keturunan Bugis
Untuk mendukung pengembangan warga pesisir Kubu Raya, Rani tak sungkan membantu mempormosikan krupuk dan ampalng dari desa-desa pesisir seperti Desa Sungai Nibung hingga Batu Ampar.
“Kami ini harus promosikan ke supermarket. Habis lebaran saya ke Surabaya, mau promosikan produk-produk itu. Bukan hanya itu, kami juga jajaki untuk mempromosikan produk hal perikanan nelayan Kubu Raya ke Kuching, Malaysia” katanya.
Apa yang disampaikan Rani ini bahwa di darahnya mengalir semangat dagang. Juga kesungguhan untuk memberikan yang terbaik bagi Kubu Raya, terutama masyarakat nelayan yang bermukim di pesisir.
Widi, tenaga pendamping desa di Batu Ampar mengatakan bahwa komunitas Bugis banyak pula ditemukan di pesisir Batu Ampar seperti di desa Nipah Panjang dan Muara Tiga. Komunitas Bugis tersebar sepanjang pesisir Kubu Raya hingga sempadan sungai.
Di Desa Nibung, saya iseng menanyakan asal usul warga. Tak perlu waktu lama, pada kesempatan pertama saya bertemu Andi Bahtiar.
Dia anak kesembilan dari pasangan Ambo Upe asal Bone dan Jamerah asal Wajo. Keduanya sudah meninggal.
Dia tidak ingat persis kapan datangnya kedua orang tuanya. Dari namanya dia bergelar ‘Andi’ atau dari garis keturunan bangsawan Bugis. Bahtiar tinggal di Kampung Tepok. Aksenya tak terdengar Bugis tetapi Melayu.
Selain Bahtiar, ada pula Nurdin dan Hafid yang menjadi pengelola pusat ekowisata bahari di Desa Sungai Nibung yang difasilitasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Di Kubu Raya, konsentrasi orang Bugis banyak ditemui di Kecamatan Batu Ampar, Kubu, Telok Pa’kedai hingga Sungai Kakap. Mereka terpantau sebagai nelayan atau pedagang, Rani adalah pengecualian.
Meski begitu, Rani percaya bahwa merangkul warga pesisir untuk membangun daerah Kubu Raya merupakan hal penting. Bukan hanya Bugis, sesiapapun yang ada di pesisir harus menjadi bagian dari pengambilan keputusan pengelolaan.
Penulis: K. Azis