Rifqy Tenribali Eshanasir,pengamat hubungan internasional, alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Beppu, Jepang (International Relations and Peace Studies) membagikan perspektifnya terkait situasi baru di Pasifik Selatan dengan adanya ‘manuver’ relasi China dan Kepulauan Solomon. Intim tapi mengkhawatirkan banyak kalangam Seperti apa motif dan implikasinya? Mari simak.
PELAKITA.ID – Sejak 24 Maret bulan lalu, beberapa negara Barat termasuk Amerika Serikat (AS) dan Australia telah menyuarakan kekhawatiran terhadap kemitraan keamanan baru yang dibuat antara Kepulauan Solomon dan China.
Kesepakatan itu memungkinkan China mengirim polisi, personel militer, dan angkatan bersenjata lainnya ke negara kepulauan Pasifik Selatan itu untuk ‘menjaga ketertiban sosial’. Ini terjadi menyusul kerusuhan sipil besar di Kepulauan Solomon November tahun lalu.
Banyak rumor mengenai kemitraan ini, termasuk kemungkinan pemberian izin kapal laut China untuk berlabuh di Kepulauan Solomon untuk pengisian bahan bakar logistik dan bahkan dugaan ‘peluang’ membangun pangkalan angkatan laut. Hal ini telah menyebabkan keresahan bagi Australia dan Selandia Baru, dua negara sekutu AS di tengah semakin sengitnya persaingan AS-China di kawasan Pasifik.
Terkait hal di atas, Perdana Menteri (PM) Australia, Scott Morrison, menyatakan kekhawatirannya, “Saya pikir peristiwa yang Anda lihat baru-baru ini hanya menyoroti tekanan terus-menerus yang datang ke kawasan dari kepentingan yang tidak selaras dengan Australia dan tidak selaras dengan Pasifik secara lebih luas. ”
Namun PM Kepulauan Solomon, Mannasseh Sogavare, ketika berbicara kepada parlemen negara itu, menyangkal tekanan dari China dan dugaan meminta China ‘membangun pangkalan militer’ di dalam perbatasan mereka.
Lebih lanjut, Sogavare bahkan mengkritik bahwa kekhawatiran Australia dan Selandia Baru merupakan penghinaan terhadap kedaulatan Kepulauan Solomon, kemampuan negara tersebut untuk mengelola dirinya sendiri dan menyelesaikan masalah keamanannya sendiri.
“Kami merasa sangat terhina karena dianggap tidak mampu mengelola urusan kedaulatan kami atau memiliki motif lain dalam mengejar kepentingan nasional kami. Kesepatakan keamanan ini dilakukan atas permintaan pemerintah Pulau Solomon. Kami tidak ditekan dengan cara apa pun. Dan tidak ada niat apapun untuk meminta China membangun pangkalan militer di Kepulauan Solomon,” belanya.
“Kami juga tidak memiliki niat untuk terlibat dalam perebutan kekuasaan geopolitik. Kami akan terus berkolaborasi (dengan China) untuk memastikan bahwa apa yang dibutuhkan Kepulauan Solomon di ruang keamanan ditangani secara kolektif”, tegas PM Sogavare.
Penting untuk dicatat bahwa Australia sudah memiliki kesepakatan keamanan dengan Kepulauan Solomon sejak 2017.
Di bawah pakta itu, polisi Australia dan Selandia Baru bahkan dikirim untuk mengakhiri kerusuhan sipil di Kepulauan Solomon pada November 2021. Sogavare dan pejabat dari China telah menyatakan bahwa kesepakatan bilateral mereka tidak akan menghalangi kesepakatan Australia.
Rentetan peristiwa di atas menunjukkan dugaan sejumlah kalangan bahwa kekhawatiran Australia dan Barat yang sudah ada sebelumnya tentang China agak berlebihan. Namun, harus pula disadari bahwa kekhawatiran Australia dan Selandia Baru itu memiliki sejumlah dasar.
Selain itu, diskusi mengenai hal ini seharusnya dilebarkan bahwa alih-alih mempertanyakan apakah Kepulauan Solomon berdaulat untuk membuat keputusan sendiri, lebih penting untuk bertanya apakah kesepakatan itu dibuat untuk kepentingan terbaik rakyat Kepulauan Solomon.
Terkait hal di atas, Rory Medcalf, profesor dari Australian National University menyatakan “Pertanyaan yang patut diajukan adalah (apakah) ini demi kepentingan terbaik negara-negara pulau kecil? Yang masalah keamanannya lebih terkait erat dengan masalah pembangunan, lingkungan, kesehatan, perikanan, keamanan manusia daripada memiliki kekuatan militer asing di tanah mereka.”
Untuk itu, kita harus melihat lebih dekat kondisi politik di Kepulauan Solomon. Negara kepulauan yang terletak di timur laut dari pantai Australia itu saat ini tidak bersatu, karena ada keretakan politik antara Kabinet dan Partai Oposisi yang tidak menyukai kemitraan baru negara itu dengan China.
Kemitraan itu tiba-tiba lahir pada 2019 ketika Kepulauan Solomon secara bersamaan menarik pengakuan politiknya atas Taiwan, mengakhiri 36 tahun hubungan luar negeri dengan mereka.
Selain itu, Kepulauan Solomon secara signifikan berkontribusi pada dominasi Cina dalam pembalakan hutan (illegal logging), penambangan, dan penangkapan ikan di Pasifik.
Mereka mengekspor lebih dari 90 persen bahan yang diekstraksi ke China dan di antaranya, 70 persen ekspor kayu mereka tampaknya merupakan hasil dari pembalakan liar.
Transaksi sepihak atas sumber daya primer ini telah berdampak negatif terhadap lingkungan Kepulauan Solomon, pembangunan berkelanjutannya, serta memperburuk korupsinya. Keprihatinan atas konsekuensi dari kemitraan China-Kepulauan Solomon sebagian berada di balik kerusuhan sipil yang dialami negara pulau itu akhir tahun lalu, yang diintervensi oleh polisi Australia dan Selandia Baru.
Secara keseluruhan, kesepakatan keamanan baru antara Kepulauan Solomon dan China serta reaksi kekuatan Pasifik Selatan seperti Australia tidak dapat dilihat secara hitam dan putih.
Di satu sisi, dapat dimengerti jika Australia dan Barat melihat peristiwa ini sebagai bagian dari strategi ‘Empire by Stealth’ China, mengingat sejarah baru-baru ini dengan negara kepulauan dan kedekatan geografisnya.
Di sisi lain, kita tidak dapat mengabaikan kepentingan tulus Kepulauan Solomon untuk meningkatkan keamanan nasionalnya sekaligus memperluas hubungan luar negerinya di luar hubungannya dengan negara-negara Barat.
Indonesia yang juga merupakan bagian dari negara-negara Pasifik dan adalah tetangga Kepulauan Solomon, Australia maupun Selandia Baru, tentu tidak dapat mengabaikan implikasi persaingan dan ketegangan di Pasifik Selatan ini. Namun Indonesia secara historis telah dikenal kukuh mempertahankan sikap netral, non-blok antara meningkatnyya persaingan AS-China.
Dalam perspektif Indonesia, negara-negara pascakolonial seperti Kepulauan Solomon bebas dan berdaulat untuk mengejar aspirasinya sendiri.
Upaya Australia untuk membuat mereka memikirkan kembali kemitraannya dianggap oleh sebagian pihak sebagai langkah yang berlebihan, namun Australia tentu memiliki dasar pula dalam kaitannya dengan sikap tersebut.
Sebaliknya, Indonesia tidak dapat mengabaikan kemungkinan bahwa kehadiran China di Kepulauan Solomon dapat membuat dirinya lebih dikelilingi oleh pengaruh strategis China. Dengan demikian, Indonesia kembali ditantang untuk menjaga keseimbangan dan potensi perannya sebagai salah satu ‘Mediator Perdamaian di Pasifik’.
Editor: K. Azis