Dr. Ir. Aryanto Husain, MMP, Ketua DPW ISKINDO Provinsi Gorontalo menelaah dengan kritis peluang pengembangan potensi maritim melalui konsep Blue Economy. Dia menyebutnya sebagai ‘narasi baru’ untuk kelautan Indonesia. Pesan Aryanto ini relevan dengan pelaksanaan Kongres 3 Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia di Tanjung Pinang dan akan dihadiri Presiden Joko Widodo, Menteri Kemenkomarves, Menteri KKP, Menteri Koperasi dan UKM dan Kepala KSP.
Qua vadis?
PELAKITA.ID – Kehadiran Presiden Jokowi dalam Panel Laut yang beranggotakan 14 Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan menjadi harapan baru mengelola laut kita secara berkelanjutan. Keempatbelas Kepala Negara dan Pemerintahan ini membangun sebuah narasi baru bagi pembangunan ekonomi kelautan.
Pesan inti dari narasi baru tersebut adalah kelola laut secara bijak. Kementerian Kelautan Perikanan mulai mencoba penjabaran pesan narasi baru kelautan melalui implementasi Blue Economy.
Secara prinsip, Blue Economy mengandung sebagai sebuah paradigma melengkapi model green economy. Blue economy bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui berbagai kegiatan yang inovatif dan kreatif dengan tetap menjamin keberlanjutan usaha dan kelestarian lingkungan.
Namun, pesan inti utama penerapan Blue Economy adalah kegiatan yang dilaksanakan harus pro ekosistem. Segala limbah keluaran dari kegiatan di laut harus berada dalam kondisi yang tidak mencemari, namun harus bisa dimanfaatkan untuk subsistim produksi lainnya.
Bank Dunia mendefinisikan blue economy sebagai suatu konsep yang mendorong penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga meningkatkan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan dengan tetap menjaga kualitas ekonomi dan ekosistem laut.
Tantangan kita
Ekonomi laut memang besar, memberi sumbangan terhadap ekonomi dunia dengan nilai mencapai 2,5 trilyun dollar. Sekitar 90 persen perdagangan global melalui laut. Sumberdaya laut menjadi salah bahan makanan utama bagi penduduk bumi.
Laut juga menyediakan sumber energy bagi kegiatan sosial dan ekonomi. Jasa ekosistim lautan memuaskan dahaga masyarakat bumi terhadap kesenangan. Pariwisata bahari diperkirakan akan semakin berkembang seiring berubah prefensi wisata penduduk bumi.
Namun potensi ocean economy ini dikelilingi oleh fragilitas ekosistim perairan yang sangat rentan terhadap tekanan baik yang berasal dari alam maupun karena ulah manusia, anthropogenic factors. Eksploitasi untuk kepentingan social ekonomi menjadi factor utama terhadap environmental pressure.
Bagi Indonesia, laut adalah bagian penting dalam diskursus pembangunan. Luasnya yang mencapai 6,4 juta ha dengan Panjang pantai, 108.000 km menjadikan Indonesia sebagai bangsa bahari terbesar. Indonesia bahkan menjadi negara kepulauan terbesar dengan adanya 17 504 pulau yang kelilingi perairan laut.
Halaman laut yang begitu luas ini baru bisa dibagi dalam jurisdiksi pengelolaan tapi belum maksimal menerima kebijakan pengelolaan yang berkelanjutan. Kelimpahan sumberdaya kelautan yang didukung kesuburan perairan tropis belum maksimal dieksploitasi secara optimal. Sebaliknya degradasi perairan dan deplesi sumberdaya terus terjadi. Gejala overfishing, IUU fishing hingga kerusakan ekosistim bukan hal yang bisa dipungkri, terus terjadi dan mungkin akan masih terjadi.
Karenanya, kehadiran Presiden Jokowi dalam kesepakatan 14 negara yang memiliki sepertiga panjang pantai dunia menjadi sebuah harapan baru bagi keberlanjutan pengelolaan ekonomi kelautan ke depan.
Hal ini tentu tidak mudah mengingat paradigma pembangunan Indonesia masih bertumpu pada pro-growth yang ukuran keberhasilannya dilihat dalam indikator PDB (Product Domestic Brutto).
Orientasi pembangunan ini menjadi produksi dan produktivitas sebagai ukuran keberhasilan program pembangunan sekaligus indikator utama kesejahteraan. Maka tidak heran target meningkatkan pertumbuhan menjadi acuan formulasi kebijakan.
PDB mendorong pertumbuhan semakin tidak berbatas. Simon Kuznets yang mengembangkan PDB sebagai indikator perekonomian menyadari dan mulai merasa skeptis sejak 1960-an, tiga puluh setelah dia mengembangkan instrumen ini.
Kuznets menyadari PDB hanya meng-capture sebagian dari total kesejahteraan sebuah negara, terutama pasar dan mengabaikan lainnya termasuk nilai barang dan jasa diproduksi pada level rumah tangga, masyarakat hingga negara.
Beberapa negara Skandinavia telah meninggalkan pendekatan pertumbuhan berbasis PDB sebagai ukuran kemajuan. Sebaliknya, mereka mengadaptasi kemajuan dari ukuran kebahagiaan warganya yang mencakup dimensi yang lebih luas dari sekedar masalah ekonomi.
Indeks kebahagiaan ini juga digunakan Tibet dalam mengukur kesejahteraan masyarakatnya dan keberhasilan pembangunan.
Strategi pertumbuhan juga vis to vis dengan keberlanjutan. Dengan strategi relative decoupling, kita memang bisa mengejar pertumbuhan sambil mengurangi dampak terhadap lingkungan. Tapi itu tidak selamanya terjadi karena pembangunan selalu memiliki ekstrenalitas negatif.
Sebagai contoh, Reklamasi Teluk Jakarta yang direncanakan menjadi ruang perekonomian baru bagi DKI Jakarta ternyata memiliki ekses negatif pada kondisi sosial masyarakat. Nelayan kerang laut yang sebelunya memiliki pendapatan hingga 20 jutaan sebulan, kini hanya bisa meraup keuntungan di bawah 10 juta setelah reklamasi. Hal ini belum termasuk environmental rent yang terjad. Hilangnya mangrove, padang lamun sebagai barrier pantai memberi kontribusi terhadap banjir pesisir
Ekonom Tim Jakcson, memandang orientasi pertumbuhan hanya menghitung energy pada per unit input ekonomi bukan keseluruhan. Padahal, jika ingin mempertahankan kondisi lingkungan maka efisiensi sumberdaya harus ditingkatkan minimal secepat output ekonomi. Jika tidak justru kondisi sebaliknya bisa terjadi.
Paradigma pembangunan pro-growth ini mendorong industrialiasi secara masif. Pelepasan karbon akibat industrialisasi menyebabkan penurunan kondisi biosfer bumi. Lapisan ozon menipis, terjadi asidifikasi lautan, pelepasan nitrogen dan fosfor, polusi akibat bahan kimia, berkurangnya debit air tawar, polusi udara, perubahan iklim hingga hilangnya keanekaragaman hayati. Ini adalah ecological ceiling, lingkaran terluar yang menjadi pelindung semua proses dalam bisofer bumi.
Kate Raworth dalam bukunya “Donat Ekonomi” mengatakan bumi mengalami shortfall karena sudah melampaui 4 kali dari yang seharusnya dalam hal menipisnya alih fungsi lahan, pelepasan nitrogen dan fospor, perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati. Dan semua itu terjadi karena orientasi mengejar pertumbuhan untuk mencapai kesejahteraan.
Maka, keikutsertaan Indonesia dalam Panel Laut harus didahului kesadaran untuk melakukan strategi decoupling, memutus paradigma pembangunan yang pro-growth menuju konsepsi pembangunan berkelanjutan.
Langkah ini akan memudahkan Indonesia menjabarkan rekomendasi Panel Laut untuk mengintegrasikan perlindungan efektif, produksi berkelanjutan, dan pemerataan kesejahteraan dalam pengelolaan ekonomi kelautan.
Hal ini berarti narasi baru kelautan Indonesia ke depan tidak hanya mendorong pembangunan infrastruktur untuk kepentingan ekonomi namun juga menyediakan ruang bagi kehidupan sosial yang kondusif dan lingkungan perairan yang tetap terpelihara.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri di saat KKP masih fokus dalam mendorong penerimaan PNBP. Target ini bisa menjebak kebijakan dan program KKP terperangkap dalam diskurus ekonomi melalui peningkatan produksi dan produktivitas.
Karenanya, Presiden Jokowi perlu men-drive implementasi model Blue Economy bagi kelautan Indonesia sekaligus menjawab tantangan kebijakan pembangunan yang pro-growth dalam rangka mengadopsi narasi baru kelautan secara utuh.